Notification

×

Iklan

Iklan

Kembali ke Penjurusan? Saatnya Kita Bertanya, Siapa yang Siap?

30 April 2025 | 11:32 WIB Last Updated 2025-04-30T04:32:16Z


Jakarta Pemerintah tengah bersiap menggulirkan kembali sistem penjurusan di SMA—IPA, IPS, dan Bahasa—mulai tahun ajaran 2025/2026. Wacana ini datang dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, yang menyebut kebijakan tersebut sebagai upaya penyempurnaan kurikulum. 

Tapi di balik rencana ini, suara kritis mulai bermunculan dari kalangan pakar dan pendidik.
Pasalnya, bukan soal jurusan apa yang dipilih siswa nanti, tapi sejauh mana sistem pendidikan ini benar-benar siap menjalankannya. 

“Kurikulum baru tanpa kesiapan guru dan sistem yang kuat, hanya akan jadi tambal sulam,” ujar Prof. Fasli Jalal, pakar pendidikan dan mantan Wakil Menteri Pendidikan, dalam sebuah webinar yang digelar awal tahun ini.

Kurikulum Berganti, Guru Terlupa?
Sejak 2006, Indonesia sudah berkali-kali berganti kurikulum—KTSP, Kurikulum 2013, Merdeka Belajar—dan kini, penjurusan kembali diangkat. Tapi satu hal yang selalu tertinggal dari wacana perubahan ini: kualitas guru.

Padahal menurut UNESCO Global Education Monitoring Report (2023), kualitas guru merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pembelajaran. Guru yang terlatih secara profesional dan terus-menerus diperbarui ilmunya akan mampu mentransformasi ruang kelas menjadi arena belajar yang inspiratif.

Sayangnya, data menunjukkan bahwa kesejahteraan guru, khususnya guru honorer, masih jauh dari kata layak. Survei nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Pendidikan Nusantara (2024) menyebutkan bahwa 42% guru di Indonesia menerima gaji di bawah UMR—bahkan ada yang hanya digaji Rp500 ribu per bulan.

“Kita bicara tentang mencetak generasi emas, tapi masih banyak guru yang tak bisa memenuhi kebutuhan hidup dasar,” keluh Ibu Ani, guru honorer di sebuah sekolah negeri di Magelang.

Apa yang Dibutuhkan, Bukan Sekadar Penjurusan

Pakar pendidikan Dr. Indra Charismiadji menilai bahwa perubahan kurikulum idealnya dilakukan setiap 10 tahun, bukan setiap pergantian menteri. “Kurikulum harus berbasis pada riset longitudinal, bukan sekadar uji coba tahunan,” tegasnya dalam wawancara dengan media nasional.

Sistem penjurusan sendiri, menurut Indra, memang memiliki manfaat jika dijalankan secara kontekstual dan adaptif. Artinya, siswa diberikan waktu untuk mengenali minat dan bakatnya terlebih dahulu, bukan dipaksa memilih jalur saat mereka masih gamang dengan pilihan masa depan.

Solusi Bukan Sekadar Wacana
Mengembalikan sistem penjurusan boleh saja, asalkan dibarengi dengan:
Peningkatan kualitas guru melalui pelatihan berkelanjutan berbasis data dan riset.
Distribusi anggaran yang adil, terutama untuk guru honorer yang selama ini dipinggirkan.
Pemetaan potensi siswa yang lebih personal dan adaptif, bukan berdasarkan angka semata.
Evaluasi kebijakan berbasis data agar keputusan pendidikan tidak politis, melainkan strategis.

Dengarkan Guru, Dengarkan Siswa
Sistem pendidikan bukanlah arena coba-coba. Dibutuhkan konsistensi, keberanian dalam evaluasi, dan perhatian penuh terhadap aktor utama di ruang kelas: guru dan siswa.
Jika pemerintah serius ingin membentuk generasi unggul, maka investasi terbaik bukan di wacana penjurusan, melainkan pada guru yang berdiri di depan kelas tiap pagi, meski digaji setengah hati.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update