Notification

×

Iklan

Iklan

Manjujai: Dendang Lembut dari Minangkabau yang Menyusup ke Jiwa Anak-anak

10 Mei 2025 | 17:43 WIB Last Updated 2025-05-10T10:43:39Z



“Anak dipangku kemanakan dibimbiang, adaik diturun budaya dijunjuang”


Pasbana - Di sebuah malam yang hening di nagari Minangkabau, ketika bulan masih malu-malu bersembunyi di balik awan, terdengar suara lirih seorang nenek meninabobokan cucunya:

Jai…jai anak amak… pandai bajalan, pandai bakato, elok perangai nan disuko…

Suara itu bukan sembarang suara, bukan pula nyanyian pengantar tidur biasa. Itulah “manjujai”—tradisi lisan Minangkabau yang sarat makna, lembut dalam tutur, namun kuat dalam pesan.

Asal Usul dan Makna “Manjujai”


Dalam kultur Minangkabau, manjujai lebih dari sekadar lagu nina bobo. Ia adalah “kata-kata bertuah” yang meluncur dari lidah ibu, nenek, atau mamak (paman) ke telinga si kecil, membawa harapan dan nilai hidup. 

Tradisi ini diwariskan turun-temurun sejak dunia belum seramai kini, sejak anak-anak masih bermain galah dan gundu di sawah, bukan sibuk dengan gawai dan TikTok.

Dari segi etimologi, kata “jujai” berasal dari bahasa Minang yang berarti menimang atau menyenandungkan. 

Tapi dalam rasa, jujai adalah siriah dalam carano, simbol kasih sayang yang dibalut petuah, agar anak-anak tumbuh bukan hanya cerdas akal, tapi juga elok budi.

Peran Manjujai dalam Tumbuh Kembang Anak


Tak banyak yang tahu, manjujai diam-diam menyusup ke berbagai aspek perkembangan anak usia dini. Dalam penelitian terbaru, terungkap bahwa tradisi ini mampu menstimulasi:

Kognitif, lewat kata-kata ritmis yang menumbuhkan daya ingat.

Bahasa, karena anak-anak terbiasa mendengar dan merespons.

Motorik, saat anak ditimang sambil menari pelan dalam pelukan.

Sosial-emosional, karena suara lembut orang tua menjadi pengikat emosi yang aman.

Moral spiritual, karena isi syair sarat dengan nilai luhur: hormat pada orang tua, rajin belajar, dan tidak lupa sembahyang.

Bayangkan, satu “jujai” bisa jadi lebih manjur dari setumpuk mainan edukatif yang mahal-mahal itu!

Dari Dulu Sampai Kini, Masih Adakah yang Manjujai?


Pertanyaan klasik dari generasi kopi sachet:

“Apakah manjujai masih relevan di zaman sekarang, Uda?”

Jawabannya, tentu masih. Tapi memang, manjujai hari ini tidak lagi terdengar di setiap sudut rumah gadang. Ia mulai tergeser oleh suara Youtube Kids, atau ocehan boneka digital yang entah berasal dari mana. Padahal, tak ada teknologi yang bisa meniru getar kasih seorang ibu saat berbisik di telinga anaknya.

Namun, secercah harapan itu masih ada. Di Payakumbuh, seorang ibu muda, Uni Sari, dengan bangga berkata:

“Saya jujai anak saya setiap malam. Kata amak saya, biar ia tumbuh jadi urang nan tahu diri.”

Dan ternyata benar, anaknya kini tumbuh sebagai siswa teladan di TK, barasok elok, cakap santun, basurah hati.

Nilai Filosofis Manjujai 


Seperti saluang nan dipupuik janang, manjujai bukan hanya alunan, tapi juga pengingat bahwa membesarkan anak bukan hanya perkara memberi makan, tapi juga menanam nilai.

Anak bajalan ditataran, urang basuaro di ranah; kalau anak disayang, adat dipakai.”

Tradisi ini mengajarkan bahwa pendidikan moral tidak perlu menunggu bangku sekolah. Ia dimulai dari pangkuan, dari kata yang didendangkan dengan kasih, bukan dengan bentakan atau perintah.

Apa yang Bisa Kita Petik?


Tradisi manjujai mengandung nilai-nilai universal: kasih sayang, pendidikan dini, komunikasi emosional. Ia bisa diadaptasi oleh siapa pun, di mana pun, sebagai cara lembut namun mengena dalam membentuk karakter anak.

Menghidupkan kembali manjujai bukanlah sekadar nostalgia, tapi juga strategi jitu di tengah krisis perhatian masa kini. Daripada anak kita “dijujaikan” oleh algoritma aplikasi asing, lebih baik kita sendiri yang “manjujai” dengan petuah dan cinta.

Saatnya Bangkitkan Manjujai


Manjujai adalah warisan—bukan benda, tapi suara; bukan sekadar lirik, tapi jiwa yang tertanam dalam budaya Minangkabau. Jangan sampai ia hanya tinggal dalam buku, atau menjadi bahan skripsi tanpa praktik.

Lamak dek bumbu, elok dek adat. Nan baik duduak, nan elok basuo.”

Mari, kembalikan manjujai ke pangkuan anak-anak kita. Sebab dari sanalah akar budaya Minangkabau tumbuh—dengan lembut, tapi mengakar kuat. Makin tahu Indonesia. (Budi) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update