Pasbana - Di tengah rimbun pohon dan udara asin yang membawa aroma laut dari Selat Malaka, berdiri tegak sebuah rumah tua yang bersahaja namun berwibawa. Rumah peninggalan Datuk Laksamana Raja di Laut, atau lebih akrab dikenal sebagai rumah Laksamana Ali Akbar, bukan hanya tempat berteduh dari panas dan hujan—ia adalah penjaga zaman, penyimpan sejarah, dan penutur kisah dari generasi ke generasi.
Berlokasi di Gg. Laksamana, Sukajadi, Kecamatan Bandar Laksamana, Kabupaten Bengkalis, Riau, rumah ini mungkin tampak sederhana bagi mereka yang baru mengenalnya.
Tapi, seperti kata pepatah, “Jangan menilai batang pinang dari kulitnyo, dalamnyo bisa banyak gulo.” Di balik tembok semen dan genting yang mulai dihiasi lumut usia, tersimpan cerita yang lebih manis dan dalam dari sekadar bangunan tua.
Asal Usul yang Menyuratkan Wibawa Lautan
Rumah ini dibangun sekitar tahun 1908 hingga 1928, masa ketika kolonialisme sedang galak-galaknya, tapi jati diri Melayu dan Minangkabau tetap teguh berdiri.Datuk Laksamana Ali Akbar dikenal sebagai tokoh besar di wilayah pesisir, seorang panglima laut yang tak hanya piawai dalam strategi, tapi juga bijak dalam menata hubungan adat dan pemerintahan.
Jabatan Laksamana Raja di Laut bukan sekadar gelar keren yang cocok dijadikan nama gang (dan memang kini jadi nama gang!), tapi merupakan tanda kehormatan yang diberikan kepada penjaga perairan dan pengatur hubungan antarwilayah pesisir dan kerajaan.
Arsitektur: Persilangan Tradisi dan Modernitas Kolonial
Berukuran 17 x 17 meter di atas tanah seluas 21 x 50 meter, rumah ini mengadopsi gaya Belanda: pintu dan jendela besar yang memancarkan cahaya alami dan memudahkan sirkulasi udara. Tapi jangan salah, walau tampilannya “Belando-an”, ruhnya tetap “Melayu”.Beranda depan yang luas bukan sekadar tempat duduk sore sambil menyeruput kopi—itu adalah ruang penerimaan tamu.
Ruang dalam rumah ini seperti alur cerita: ada awal (beranda), tengah (ruang tamu), hingga akhir (kamar-kamar yang tenang). Semuanya tersusun rapi seperti susunan adat, dari keturunan, suku, hingga balai musyawarah.
Adat dan Nilai yang Masih Hidup
Yang paling menarik, rumah ini bukan museum bisu. Ia masih hidup. Masih dikunjungi, masih dirawat, dan kadang masih dipakai untuk acara adat.Tradisi musyawarah, penghormatan terhadap leluhur, dan kebersamaan dalam merawat warisan masih dilestarikan oleh masyarakat sekitar.
Bahkan di zaman ketika anak-anak lebih hafal TikTok daripada silsilah, rumah ini tetap jadi penanda bahwa nilai tidak lekang oleh zaman, asal dirawat dengan cinta dan kesadaran.
Perubahan Zaman dan Relevansinya Kini
Tentu saja zaman sudah berubah. Dahulu, rumah seperti ini menjadi simbol kekuasaan dan pengaruh. Sekarang, ia menjadi penjaga identitas dan pengingat bahwa sejarah bukan sekadar pelajaran, tapi bekal untuk masa depan.Anak muda kini mungkin lebih tertarik pada minimalis, beton expose, atau rumah gaya Korea. Tapi rumah Laksamana ini menyimpan nilai universal yang tak akan usang: hormat kepada leluhur, keterbukaan kepada tamu, dan semangat menjaga warisan.
Pak Bahar, keturunan keempat dari keluarga Laksamana, yang kini menjadi penjaga rumah ini, pernah berkata dengan nada ringan tapi menusuk, “Rumah ini ndak bisa makan nasi, tapi kalau dibiakan, kita yang bisa kelaparan ruh.” Maksudnya? Kalau kita tak peduli warisan budaya, kita akan kehilangan jati diri, dan akhirnya tak tahu lagi arah pulang.
Ia menceritakan bahwa dulu rumah ini selalu ramai tiap kali ada kenduri adat atau pertemuan tokoh masyarakat. Kini, meski lebih sunyi, masih ada yang datang, mencatat sejarah, dan menyerap semangat. Makin tahu Indonesia.
(*)