Notification

×

Iklan

Iklan

Sidi Bangsa nan Dirajakan: Jejak Gala Pusako di Pariaman yang Tak Luntur Ditelan Zaman

09 Juni 2025 | 17:14 WIB Last Updated 2025-06-09T10:14:22Z



“Nan tuo dihormati, nan mudo disayangi. Nan datang dijapuik, nan lupo diingekkan.”

Pasbana - Di pesisir barat Sumatera, ombak tak hanya membawa garam dan angin, tapi juga riwayat panjang yang kadang lebih kaya dari buku sejarah. 

Di Pariaman, sebuah kisah hidup tentang gelar, adat, dan filosofi tumbuh dalam setiap petatah-petitih, menjalar dari warung kopi sampai ke surau, dari mamak ke kemenakan. Dan salah satu cerita paling menarik—yang jarang diceritakan dengan utuh—adalah kisah Sidi, bangsa nan dirajakan.

Gala Pusako: Dari Mamak ke Kemenakan, Tapi Jangan Lupa Asal Usul Ayah

Bagi urang Minang di dataran tinggi, gala atau gelar pusaka turun dari mamak ke kemenakan. Tapi tidak di Pariaman. Di sini, Gala Pusako bisa berasal dari ayah. Sebuah perbedaan yang kerap jadi bahan diskusi panjang di warung kopi dengan sepiring karupuak lado dan segelas es tebak.

Kala rombongan dari dataran tinggi merantau ke pesisir, mereka menemukan bahwa adat yang dibawa tidak serta merta bisa menggantikan adat setempat. Masyarakat pesisir mempertahankan identitas mereka—terutama dalam hal gelar dan garis keturunan.

Sidi nan Sabatang: Bangsa nan Dirajakan di Tanah Rantau

Di sebuah waktu yang sudah lama lewat, sekelompok perantau dari dataran tinggi Minangkabau mendarat di Bandar Tiku. Mereka mendirikan perkampungan dan menamakannya Kampung Ghasan, sebagai kenangan akan asal-usul mereka: Bani Ghasan.

Yang menarik, salah satu tokoh mereka—Sidi nan Sabatang—bersama keluarganya tidak hanya diterima, tapi dirajakan oleh masyarakat setempat. Dirajakan? Iya, bukan sekadar dihormati, tapi disambut laksana raja.

Dari sinilah muncul panggilan Ajo, yang awalnya berarti abang atau orang yang dituakan. Tapi di Pariaman, Ajo adalah panggilan untuk mereka yang bergelar Sidi, Bagindo, dan Sutan. Ini bukan sekadar sapaan. Ini adalah bentuk pengakuan, penghormatan, dan... ya, sedikit gengsi juga.

“Kalau orang awak dipanggil Ajo, bukan sembarang orang. Bukan pula gara-gara punya mobil atau rumah gadang. Tapi karena ada darah bangsawan, ada kisah dalam darah itu.”

Antara Ajo dan Uda: Sapaan yang Mengandung Hierarki Kultural


Di antara senda gurau orang Pariaman, ada filosofi yang tak main-main: mereka tahu bagaimana menempatkan orang. Kalau di kampung biasa orang memanggil "Uda" kepada abang atau orang yang lebih tua, di Pariaman sapaan itu lebih dalam maknanya. Hanya orang-orang tertentu—misalnya bergelar Marah—yang pantas disapa Uda.

Tapi jika seseorang dari Luhak Nan Tigo datang, mereka tetap dipanggil Uda. Bukan karena tak tahu siapa dia, tapi karena tahu persis: Uda awak tu urang dalam, urang tuo nan indak boleh dipatahkan kata-katonyo.”

Egaliter, Bukan Elit: Sidi yang Tak Sombong


Walau bergelar Sidi dan diangkat laksana raja, masyarakat Pariaman tak mengenal feodalisme gaya Eropa. Tidak ada orang yang harus menunduk karena gelar. 

Filosofi Parpatiah nan Sabatang berbunyi: Duduak sahamparan, tagak sapamatan. Artinya, semua orang sama kedudukannya dalam hukum.

Berbeda dengan sistem Koto Piliang yang lebih sentralistik—raja adalah pusat segalanya. Tapi di Pariaman, meski seorang Sidi nan dirajakan datang, dia tetap turun ke sawah, duduk di lapau, bahkan kadang ikut mangaji di surau. Mungkin ini yang bikin masyarakat pesisir tetap egaliter, tak gampang silau oleh gelar.

Sidi nan Hilang: Ketika Gelar Tak Lagi Dikenal


Zaman berubah, dan gelar pun ikut menguap. Banyak anak muda sekarang yang bahkan tak tahu bahwa kakek buyutnya dulu adalah seorang Sidi. Kenapa bisa begitu?

Pertama, karena sistem gelar di Pariaman tidak otomatis disematkan sejak lahir seperti tradisi Alawy. Gelar Sidi baru akan muncul kalau si anak menikah. Kalau dia betulan jomblo seumur hidup, ya gelarnya pun ikut “jomblo”.

Kedua, ketika Sidi menikah dengan orang luar—misalnya orang Jawa atau suku lain—gelar itu seringkali hilang di ruang sapaan. Mertua dari luar tak paham adat, dan akhirnya memanggil dengan nama biasa.

Ketiga, ini yang agak ngilu: ada juga yang malu menyandang gelar Sidi karena perilakunya tak sesuai. Malu awak dipanggil Sidi, padahal jadi penipu koperasi,” kata seorang bapak dengan senyum masam.

Filosofi yang Relevan di Zaman Sekarang


Di tengah dunia yang serba instan dan mengejar citra, budaya Pariaman mengingatkan bahwa hormat itu bukan karena titel, tapi karena sikap. Gelar tak ada gunanya kalau tak membawa manfaat bagi masyarakat.

Pepatah Minang berkata:
Indak ado gunonyo raso urang Sidi, kalau duduak tak mangaji, tagak tak mamakaki.”
Artinya, gelar itu bukan buat gagah-gagahan. Tapi sebagai pengingat: bahwa hidup adalah titipan, dan kehormatan sejati datang dari tindakan, bukan dari panggilan.


Sidi Bukan Soal Darah, Tapi Soal Harga Diri


Tulisan ini bukan untuk membanggakan satu garis keturunan, apalagi merendahkan yang lain. Justru ini adalah pengingat, bahwa dalam hidup Minangkabau, yang utama adalah amal dan ibadah, bukan marga dan garis darah.

Seorang tetua di Pariaman pernah berkata sambil menyesap kopi:
Kalau kau ingin dihormati seperti Sidi, maka berlakulah seperti Ajo. Hormat pada yang muda, tawaduk pada yang tua, dan lurus pada hati.”
Begitulah kisah tentang Sidi bangsa nan dirajakan. Ia bukan hanya cerita masa lalu, tapi cermin untuk masa kini—bahwa kemuliaan bukan warisan, tapi pilihan. Makin tahu Indonesia.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update