Pasbana - Di sebuah surau kecil di jantung Minangkabau, azan subuh belum lama berlalu. Kabut tipis masih bergelayut di perbukitan, namun di ruang utama yang sederhana, deretan tikar telah terhampar.
Di atasnya, duduk bersila para lelaki tua dengan wajah penuh keriput dan tatapan yang teduh. Mereka tak sekadar berkumpul—mereka sedang basuluak, sebuah tradisi beribadah bersama yang sarat makna dan hikmah, khas ranah Minang.
Basuluak bukanlah sembarang pertemuan. Ini adalah majelis yang berlangsung selama 40 hari penuh, di mana para orang tua memperdalam ibadah dan mempererat batin.
Lebih dari sekadar rutinitas keagamaan, basuluak adalah ruang belajar, tempat di mana hikmah-hikmah kehidupan ditransfer dari generasi ke generasi.
“Di majelis seperti ini, kita tak hanya mendengar ayat-ayat Tuhan, tapi juga menyimak kisah hidup yang tak tertulis dalam buku mana pun,” ujar Buya Syafrudin, seorang tokoh surau di Agam, Sumatera Barat.
Hikmah di Balik Basuluak
Dalam budaya Minang yang menjunjung tinggi nilai adat basandi syarak, berkumpulnya orang tua dalam basuluak mencerminkan perpaduan antara adat, agama, dan kebijaksanaan hidup.
“Kalau anak muda sibuk mencari sinyal, orang tua di majelis ini mencari sinyal dari langit,” gurau ringan Uda Darman, salah seorang peserta basuluak yang telah lebih dari 60 kali mengikuti kegiatan ini.
Rasulullah ﷺ sendiri menekankan pentingnya duduk dalam majelis dzikir. Dalam sabdanya yang diriwayatkan Muslim:
"Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir kepada Allah, melainkan mereka dikelilingi malaikat, diliputi rahmat, diturunkan ketenangan, dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk di sisi-Nya."
Di sinilah letak kekuatan sebuah majelis orang tua—bukan hanya tempat berkumpul, tetapi ruang sakral yang dipenuhi keberkahan dan ketenangan jiwa.
Warisan Intelektual dari Para Sesepuh
Abdullah bin Mas'ud pernah berpesan, "Barangsiapa ingin meneladani seseorang, teladanilah para sahabat yang telah beruban. Mereka pilihan umat ini."
Begitu pula para ulama besar seperti Imam Malik yang hanya duduk di hadapan gurunya yang sepuh saat menuntut ilmu.
Sementara Imam Syafi’i menulis syair yang hingga kini masih dikutip para santri:
"Jika ilmu ditransfer dari para syaikh (orang tua), maka itu lebih mengena di hati dan lebih bermanfaat."
"Jika ilmu ditransfer dari para syaikh (orang tua), maka itu lebih mengena di hati dan lebih bermanfaat."
Hal ini juga didukung oleh penelitian modern. Psikolog perkembangan dari Universitas Indonesia, Dr. Rika Hartati, menjelaskan bahwa lansia menyimpan kekayaan pengalaman yang dapat menjadi sumber pembelajaran sosial dan spiritual.
“Mereka memiliki perspektif jangka panjang yang jarang dimiliki generasi muda. Mendengarkan mereka sama artinya belajar langsung dari pengalaman hidup yang nyata,” ujarnya.
Menabur Keberkahan Lewat Perjumpaan
“Kami belajar bukan hanya dari kitab, tapi juga dari senyum sabar mereka,” kata Arif, mahasiswa jurusan Syariah yang rutin ikut basuluak di daerah Batusangkar.
Di era digital yang serba cepat, kegiatan seperti ini menjadi pengingat akan pentingnya slow living, kembali ke nilai dasar kemanusiaan: mendengar, memahami, dan saling menguatkan.
Di era digital yang serba cepat, kegiatan seperti ini menjadi pengingat akan pentingnya slow living, kembali ke nilai dasar kemanusiaan: mendengar, memahami, dan saling menguatkan.
Sebuah pepatah Minang berkata, "Indak ado rotan, akar pun jadi", namun dalam basuluak, akar itu sendiri adalah kekayaan: akar budaya, akar agama, dan akar kehidupan.
Hikmah dari Wajah yang Penuh Keriput
Sebagaimana penyair zaman Abbasiyah, Abu al-Atahiyah, pernah menulis:
"Usia yang berlalu bukanlah yang membuat seseorang mulia, tetapi kemuliaan sejati ada pada kebajikan dan hikmah."
Maka, jika Anda hari ini masih memiliki kesempatan untuk duduk bersama orang tua—entah itu kakek, nenek, atau tetangga sepuh di surau—jangan lewatkan. Bisa jadi, satu kisah mereka akan menjadi pelita dalam gelap hidup Anda kelak.
Jika Anda suka aroma kopi di pagi hari dan sinar matahari yang hangat menyapa jendela, barangkali Anda juga akan jatuh cinta pada majelis para orang tua: sederhana, damai, dan penuh makna.
Karena hikmah sering kali tidak datang dari layar, melainkan dari seseorang yang rambutnya telah memutih oleh waktu. (*)