Sawahlunto, pasbana - Di tengah lengangnya Museum Lubang Tambang Soero—salah satu saksi bisu masa kolonial di Sumatera Barat—suara tawa, dialog jenaka, dan tepuk tangan riuh terdengar bergema.
Bukan dari para turis, melainkan dari anak-anak sekolah yang tengah beradu akting dalam Lomba Tonil Bahasa Tangsi se-Kota Sawahlunto.
Ya, inilah salah satu cara unik yang dilakukan Pemerintah Kota Sawahlunto untuk merawat sejarah: membiarkan generasi muda "bermain-main" dengan bahasa tua yang dulu tumbuh dari lorong tambang dan barak-barak pekerja.
Bahasa Tangsi: Ketika Belanda Bertemu Minang di Lubang Tambang
Dulu, bahasa ini jadi alat komunikasi para buruh di kompleks tambang Ombilin, sebuah sistem tambang batu bara yang pernah menyuplai energi bagi Hindia Belanda.
Bahasa ini kerap dianggap sebagai bahasa "jalanan" atau "kasar". Tapi justru di situlah kekuatannya. Ia tumbuh secara organik, sebagai bentuk adaptasi dan solidaritas di antara sesama buruh dari berbagai latar belakang.
Tak heran, pada 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkannya sebagai bagian dari Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WTbI).
“Anak-anak kita hari ini bukan sekadar tampil dalam lomba, tetapi mereka sedang menjaga dan menyambung ingatan kolektif serta kekayaan budaya Sawahlunto yang hidup dari sejarah,” ujar Wali Kota Sawahlunto, Riyanda Putra, saat membuka acara.
Tonil: Pentas Seni Rakyat yang Tak Pernah Usang
Tonil sendiri merupakan bentuk teater rakyat yang dulu juga populer di zaman kolonial. Maka ketika bahasa tangsi ditampilkan dalam bentuk tonil, yang terjadi adalah semacam "perayaan kecil" atas kehidupan masa lalu, yang disajikan dalam gaya kekinian dan penuh semangat muda.
Edukasi yang Menghibur dan Berakar
“Saya baru tahu kalau dulu di barak itu orang-orang dari berbagai daerah tinggal bareng dan ngomongnya kayak gini. Seru juga sih, walaupun awalnya sulit,” ujar Rani (15), pelajar SMP yang berperan sebagai ibu barak dalam salah satu pertunjukan.
Menuju Panggung Global: Bahasa Tangsi di Simposium UNESCO
Acara ini akan menghadirkan pengelola situs warisan dunia UNESCO dari berbagai negara.
“Forum ini adalah peluang strategis untuk mendiseminasikan nilai budaya lokal ke kancah global,” kata Riyanda.
“Forum ini adalah peluang strategis untuk mendiseminasikan nilai budaya lokal ke kancah global,” kata Riyanda.
Jika rencana ini terealisasi, maka bisa jadi—untuk pertama kalinya—bahasa tangsi akan bergema dalam forum internasional, sejajar dengan bahasa warisan dari Eropa, Asia, hingga Amerika Latin.
Pelajaran dari Tambang: Warisan Tak Selalu Berbentuk Batu
Tapi, lewat lomba tonil ini, kota kecil itu menunjukkan bahwa warisan budaya bukan hanya soal bangunan dan lorong tua, tetapi juga tentang bahasa, cerita, dan semangat hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Museum Lubang Tambang Soero pun berubah fungsinya, dari sekadar ruang pamer sejarah, menjadi panggung hidup tempat memori masa lalu dipanggungkan ulang oleh anak-anak masa kini. Makin tahu Indonesia.(*)