Pasbana - Pepatah Minang ini bukan hanya sekadar petuah untuk perantau, tapi juga kisah hidup yang menjelma nyata pada banyak komunitas keturunan Minangkabau di luar ranah Minang. Dari Aceh sampai Jambi, dari pesisir hingga pedalaman, jejak orang Minang selalu ada—bukan hanya meninggalkan tapak kaki, tapi juga darah, bahasa, dan budaya yang berpadu dengan suku-suku lain.
Minangkabau, dengan sistem adat matrilinealnya yang unik, selalu punya cara istimewa berbaur dengan dunia luar.
Kalau orang lain merantau untuk sekadar mencari rezeki, urang Minang merantau sambil membawa adat, bahasa, bahkan pepatah. Akibatnya, lahirlah banyak komunitas hasil percampuran: Aneuk Jamee di Aceh, Melayu Batubara di Sumut, sampai Semende di Sumsel.
Semua punya cerita, semua menyimpan filosofi, dan semua adalah bukti bahwa Minangkabau itu bukan hanya “darah daging”, tapi juga “adat nan tak lapuak dek hujan, tak lakang dek paneh.”
Urang Pasisi: Antara Marga Batak dan Lidah Minang
Budayanya pun campuran: ada irama gondang, ada juga rabab pasisia. Seperti orang yang dua kali nikah: adatnya kaya, tapi rumahnya tetap satu.
Aneuk Jamee: Anak Tamu yang Jadi Tuan Rumah
Ke Aceh Selatan, kita bertemu Aneuk Jamee. Dari namanya saja sudah jelas: “anak tamu”, keturunan orang Minang Pariaman dan Pesisir Selatan yang merantau sejak abad lalu. Bahasa mereka perpaduan Minang pesisir dengan kosakata Aceh.
Pernikahannya pun unik, karena harus menyeimbangkan adat matrilineal Minang dengan patrilineal Aceh. Hasilnya? Kalau di rumah, mamak masih dihormati; tapi di surau, teungku tetap disegani.
Seorang tokoh Aneuk Jamee di Tapaktuan pernah berseloroh: “Kalau anak Minang menikah ke Aceh, jangan takut hilang adat. Yang ada, malah tambah adat.”
Melayu Batubara dan Asahan: Cinta Payakumbuh dan Putri Simalungun
Cerita Melayu Batubara di Sumut berawal dari kisah asmara: Datuk Belambangan dari Payakumbuh menikah dengan Boru Damanik, putri kerajaan Simalungun. Dari situlah lahir komunitas Melayu Batubara—bahasa mereka lembut, tapi adatnya tetap kental dengan pengaruh Minang.
Sementara itu, di Asahan, orang-orang masih bermarga Toba seperti Panjaitan atau Sitorus, meski sehari-hari menyebut diri “Melayu.” Pepatah Minang bilang, “Nan sabana indak hilang, hanyolah bajalan ka lain.” Adat Minang memang tak hilang, hanya berbaur.
Orang Sakai: Jejak Minang di Hulu Siak
Sakai, yang hidup di pedalaman Riau, menyimpan cerita panjang. Leluhurnya diyakini berasal dari dataran tinggi Minangkabau, lalu merantau ke hulu Sungai Siak sejak masa Kerajaan Pagaruyung.
Walau hidup sederhana, bahasa mereka masih menyimpan kosakata Minang lama. Sistem kekerabatan matrilineal pun tetap bertahan, meski adatnya tak semegah di ranah Minang.
Mukomuko: Minang di Negeri Bengkulu
Kalau ke Mukomuko, jangan kaget kalau suasananya serupa Pesisir Selatan. Dialek, adat, bahkan nama suku (Caniago, Piliang) sama persis.
Walau secara administrasi masuk Bengkulu, secara budaya mereka bagian dari rantau Minang. Orang Mukomuko suka bilang: “Walau KTP Bengkulu, hati tetap Minang.”
Talang Mamak dan Orang Pekal: Perpaduan Pedalaman
Sementara itu, suku Pekal di Bengkulu lahir dari kawin-mawin Minang pesisir dengan Rejang pedalaman. Hasilnya, bahasa mereka campuran, adatnya pun unik: matrilineal bercampur dengan patrilineal.
Semende dan Skla Brak: Jejak Minang di Selatan
Di Muara Enim, Sumsel, ada Semende. Mereka punya sistem pewarisan “tunggu tubang”—harta keluarga jatuh ke anak perempuan sulung. Mirip benar dengan sistem Minang. Nama Semende sendiri konon dari kata “sumando.” Bukti bahwa di mana pun urang Minang menikah, jejak sumando selalu jadi cerita.
Lalu ada Kerajaan Skla Brak di Lampung, yang ditaklukkan Pagaruyung pada abad ke-16. Sejak itu, empat umpu Minang memimpin negeri tersebut. Maka tak heran, adat Lampung pun ada yang mirip dengan Minang, meski bahasa dan tarinya tetap khas Saibatin dan Pepadun.
Filosofi di Balik Percampuran
Dari semua kisah itu, ada benang merah yang bisa ditarik: Minangkabau adalah budaya yang lentur. Ia bisa berbaur tanpa kehilangan jati diri. “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” tetap jadi fondasi, tapi bentuknya menyesuaikan bumi yang dipijak.
Inilah yang membuat Minangkabau bisa hidup di Aceh, Riau, Sumut, Bengkulu, Jambi, sampai Lampung. Mereka bukan sekadar pendatang, tapi menjadi bagian dari tanah baru, tanpa kehilangan akar.
Relevansi di Masa Kini
Hari ini, Aneuk Jamee masih berbahasa “baiko”, Mukomuko tetap memakai suku Caniago dan Piliang, Talang Mamak masih menjaga adat tua, Semende masih mempraktikkan “tunggu tubang.” Meski modernisasi menggerus banyak hal, spirit percampuran budaya ini tetap hidup.
Di tengah dunia yang makin homogen, percampuran Minang dengan suku lain memberi pesan: identitas itu bukan soal kemurnian, tapi soal kelenturan. Bukan tentang siapa yang paling asli, tapi siapa yang paling mampu berbaur tanpa kehilangan akar.
Hikmah Urang Rantau
Kalau pepatah Minang bilang: “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun; marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun.” Maka kisah komunitas-komunitas ini adalah bukti pepatah itu hidup nyata. Urang Minang merantau, berbaur, bahkan beranak-pinak di tanah baru. Tapi akar adat tetap tumbuh, meski batangnya bercabang ke berbagai arah.
Mungkin inilah makna sejati dari Minangkabau: bukan sekadar suku, tapi filosofi hidup—pandai membawa diri, pandai menanam adat di tanah mana pun. Makin tahu Indonesia. (*)