Notification

×

Iklan

Iklan

Toleransi ala Minangkabau: Harmoni yang Mengakar dalam Adat dan Iman

02 Agustus 2025 | 10:54 WIB Last Updated 2025-08-02T03:54:12Z


Pasbana - Di tengah gemuruh isu intoleransi yang kerap mencuat di berbagai sudut negeri, masyarakat Minangkabau diam-diam mempraktikkan toleransi dalam bentuk paling nyata—bukan sekadar jargon, tetapi telah membumi dalam denyut nadi kehidupan mereka sehari-hari.

Tak berlebihan jika dikatakan bahwa orang Minang tidak perlu diajari tentang toleransi—mereka mewarisinya. 

Filosofi hidup mereka yang termaktub dalam pepatah adat legendaris Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah telah menjadi fondasi kuat dalam membangun relasi antarmanusia lintas budaya, agama, dan etnis.

Kampung Jawa, Kampung Cina: Bukti Nyata Bhinneka Tunggal Ika di Ranah Minang



Bagi yang pernah menginjakkan kaki di Sumatera Barat, nama-nama tempat seperti Kampung Jawa atau Kampung Cina bukan sekadar penamaan geografis. 

Di balik itu, tersembunyi jejak sejarah panjang penerimaan terhadap pendatang. Ini bukan cerita baru. Sudah sejak dulu, masyarakat Minang membuka tangan untuk siapa saja yang datang membawa niat baik.

“Di kampung saya, kalau ada warga non-Muslim meninggal, warga sekitar ikut membantu proses pemakaman. Itu sudah jadi hal biasa,” tutur Pak Ridwan, seorang penghulu di daerah Payakumbuh.

Tak hanya itu, tanah-tanah hibah dari tokoh adat Minangkabau kepada pemeluk agama lain pun menjadi bukti konkret. Salah satu kisah yang banyak diceritakan adalah pemberian sebidang tanah oleh seorang datuk kepada komunitas Nasrani untuk dijadikan lahan pemakaman.

 
Tanpa syarat. Tanpa pamrih. Hanya didasari pada prinsip hidup bersama yang rukun.

Pepatah yang Bernapas Moderasi


Orang Minang punya segudang pepatah yang menyiratkan nilai inklusivitas, seperti katuju dek awak, lamak dek urang—artinya kira-kira, “enak bagi kita, disenangi orang lain.” 

Ungkapan sederhana ini menjadi pengingat bahwa hidup tak bisa egois. Semua harus mempertimbangkan kepentingan bersama.

Moderasi beragama di Minangkabau bukan barang impor. Ia sudah lama jadi bagian dari sistem sosial. Bahkan, sebelum istilah “moderasi beragama” digalakkan pemerintah, masyarakat Minang sudah mempraktikkannya. 

Di Kota Padang, misalnya, tidak sulit menemukan masjid yang berdiri damai tak jauh dari vihara atau gereja. 

Bahkan, saat perayaan Idul Fitri, halaman vihara sering digunakan sebagai lahan parkir umat Muslim yang hendak salat Ied. Simbiosis sosial yang sangat elegan.

Sistem Mufakat: Demokrasi dalam Balutan Adat


Dalam setiap keputusan penting, masyarakat Minang mengandalkan musyawarah. Ini bukan gaya-gayaan, tapi warisan budaya. 

Mufakat—yang berarti kesepakatan bersama—menjadi mekanisme utama menyelesaikan konflik, menjaga ketertiban, dan memastikan semua suara didengar, dari yang muda hingga yang dituakan.

Penghulu, sebagai pemegang amanah adat, tidak hanya menjadi penentu keputusan, tetapi juga penjaga keharmonisan. Ia ibarat pelita di tengah gelap, memastikan semua pihak merasa dihormati, dilindungi, dan dilibatkan.

Kearifan Lokal: Belajar Menjunjung Langit Dimana Bumi Dipijak


Ada satu pepatah Minang yang paling sering dikutip: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Pepatah ini tak cuma jadi hiasan di spanduk seminar kebudayaan, tapi benar-benar dijalani.

Dalam dunia yang semakin global dan beragam, filosofi ini mengajarkan pentingnya adaptasi dan menghormati adat setempat. 

Bahwa siapapun kita, apapun latar belakang kita, kita tetap bisa hidup berdampingan, saling mengisi dan menghargai. Bukan untuk menyeragamkan, melainkan untuk merayakan keberagaman.

Belajar dari Ranah Minang: Toleransi Itu Nyata, Bukan Retorika


Banyak dari kita hari ini bicara soal toleransi sebagai konsep, debat panjang di media sosial, seminar, dan forum diskusi. Namun masyarakat Minangkabau justru menjalankannya dalam sunyi. Dalam tindakan-tindakan kecil, tapi berarti. Dalam sikap, bukan sekadar kata.

Toleransi di Minangkabau adalah bentuk “praksis sosial” yang tumbuh dari bawah, bukan karena tekanan negara atau tren global. “Itu sudah menyatu dalam sistem sosial dan adat. Bahkan diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” 

Jadi, ketika banyak yang masih mencari-cari format ideal toleransi, masyarakat Minangkabau sudah lama punya jawabannya. 

Tulisan ini mengajak pembaca untuk menengok kembali ke akar budaya bangsa yang justru mengajarkan toleransi secara otentik dan membumi. 

Mungkin inilah saatnya kita belajar dari kearifan lokal—bukan sekadar bicara toleransi, tapi mempraktikkannya seperti orang Minang: ringan, tulus, dan nyata.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update