Notification

×

Iklan

Iklan

Menyulam Silaturahmi Lewat Kain: Menyelami Prosesi Mauluan Kain dalam Adat Minangkabau

19 September 2025 | 16:13 WIB Last Updated 2025-09-19T09:13:21Z


Pasbana - Bayangkan sebuah sore di nagari Minangkabau. Dari sebuah rumah gadang, rombongan perempuan keluar dengan penuh khidmat. 

Mereka tidak sekadar membawa hantaran, melainkan lembaran kain, jas, sarawa kampuah, hingga kopiah untuk calon mempelai pria. 

Di tangan lain, terselip pula jinjingan berisi panganan tradisional: lopi, kalamai, lomang biduak, sampai pisang rajo. 

Inilah Mauluan Kain, salah satu prosesi adat Minangkabau yang kaya makna, yang hingga kini masih lestari.

Apa itu Mauluan Kain?


Secara sederhana, Mauluan Kain adalah tradisi mengantar pakaian mempelai pria dari pihak calon pengantin perempuan. 

Namun, jangan bayangkan ini hanya sekadar “mengirim baju.” Di baliknya, tersimpan filosofi dalam.

Kata mauluan sendiri berasal dari kata dasar ulu atau uluan, yang berarti “awal” atau “yang didahulukan.” 

Dalam konteks pernikahan, ia melambangkan sebuah permulaan resmi dari hubungan dua keluarga besar. 

“Bukan sekadar membawa kain, tapi menyulam awal hubungan dengan benang kehormatan,” begitu ungkapan bijak yang sering terdengar di ranah Minang.

Antropolog Minangkabau, Prof. Mestika Zed (Universitas Negeri Padang), pernah menekankan bahwa setiap simbol dalam adat Minang mengandung pesan kolektif: adat bukan hanya seremonial, tapi jalan untuk menjaga harmoni sosial. 

Tradisi Mauluan Kain adalah wujud nyata dari filosofi itu.

Lebih dari Sekadar Kain dan Busana


Dalam prosesi ini, keluarga calon pengantin perempuan dipimpin oleh Bundo Kanduang, figur sentral perempuan Minang yang sarat wibawa. 

Bersama para kerabat perempuan, mereka membawa pakaian lengkap untuk marapulai (pengantin pria): jas, kain bagoba, sarawa kampuah, hingga kopiah.

Namun, yang membuat prosesi ini terasa hangat adalah buah tangan khas Minang yang turut dibawa. 

Lopek beras ketan, kalamai manis legit, sagun gurih, hingga pisang rajo—semuanya hadir bukan hanya sebagai suguhan, tapi sebagai lambang syukur, kehangatan, dan penghormatan.

Ketika rombongan sampai di rumah calon marapulai, mereka disambut dengan jamuan makan. 

Momen inilah yang mempertemukan dua keluarga besar, membuka pintu silaturahmi, sekaligus menjadi tanda keseriusan sebuah ikatan.



Relevansi di Era Modern


Yang menarik, tradisi ini tetap berjalan meski calon pengantin berasal dari nagari yang berbeda, bahkan ketika banyak pasangan Minang kini tinggal di kota besar. 

Di beberapa kasus, Mauluan Kain disesuaikan: pakaian bisa diganti dengan setelan modern, buah tangan dengan kue kekinian, tapi nilai silaturahmi dan penghormatan tetap dijaga.

Tradisi serupa sebenarnya juga bisa ditemui di daerah lain. Di Jawa misalnya, ada seserahan, sementara di Sunda dikenal ngebakan

Bedanya, di Minangkabau, Mauluan Kain bukan sekadar simbol personal, melainkan representasi kuat dari filosofi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah—adat bersendikan agama.

Warisan yang Tak Lekang Waktu


Di tengah derasnya arus modernisasi, prosesi seperti Mauluan Kain menjadi pengingat bahwa pernikahan bukan hanya soal dua individu, tetapi juga tentang dua keluarga, dua suku, bahkan dua nagari yang bersatu. 

Ia adalah ruang untuk meneguhkan kebersamaan, menjaga kehormatan, sekaligus memperkuat akar budaya.

“Adat ibarat akar pada pohon. Pohon bisa tumbuh tinggi, tapi kalau akarnya putus, ia akan mudah roboh,” kata AA Navis, budayawan Minang, dalam salah satu tulisannya. 

Pesan itu relevan hingga kini: modernitas boleh datang, tapi adat jangan sampai hilang.

Menghidupkan Kembali Tradisi


Di beberapa daerah Minangkabau, prosesi Mauluan Kain masih terjaga. Namun, di perkotaan, ada kecenderungan tradisi ini mulai jarang dilakukan. 

Meski begitu, banyak pasangan muda yang kini justru kembali melirik adat ini sebagai cara memperkuat makna pernikahan.
Generasi muda Minang di perantauan, misalnya, mulai menghidupkan kembali prosesi ini meski dengan sentuhan modern. 

Kain yang dibawa bisa beragam: dari kain songket tradisional hingga tekstil kontemporer. Namun, esensi utamanya tetap sama—memuliakan keluarga dan menjunjung tinggi adat.

Menyulam dengan Benang Silaturahmi


Prosesi Mauluan Kain mengajarkan bahwa sebelum pesta meriah digelar, ada niat baik yang harus didahulukan. Bahwa pernikahan bukan semata urusan dua insan, melainkan juga urusan dua keluarga besar yang saling merangkul.

Di tengah derasnya modernisasi, tradisi seperti ini bukan hanya penting untuk dilestarikan, tapi juga untuk terus dimaknai. 

Karena pada akhirnya, yang paling berharga dari sebuah pernikahan bukanlah kemewahan pesta, melainkan kehangatan hubungan yang terjalin di atas kain penghormatan. Makin tahu Indonesia .
(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update