Pasbana – Pernah merasa jantung berdegup kencang saat saldo rekening mendadak menipis? Atau merasa sedih luar biasa ketika usaha merugi?
Reaksi itu wajar. Namun, pernahkah kita merasa cemas saat menyadari jatah hidup kita berkurang setiap hari?
Pertanyaan ini seolah sederhana, tetapi mampu mengetuk hati siapa pun.
“Jika kau gelisah saat hartamu berkurang, maka tangisilah umurmu yang selalu berkurang,” begitu pesan Syekh Sari As-Saqathi, seorang ulama besar abad ke-9.
Umur: Modal Hidup yang Tak Bisa Diisi Ulang
Dalam bahasa sederhana, umur itu seperti lilin. Semakin lama menyala, semakin pendek ia menjadi. Bedanya, lilin bisa diganti, sedangkan umur tidak.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka harapan hidup orang Indonesia pada 2024 mencapai sekitar 74,8 tahun.
Kedengarannya panjang, tetapi jika dikalkulasikan, itu berarti kita hanya memiliki sekitar 27.000 hari di dunia. Dan setiap hari yang lewat tak pernah kembali.
Imam Al-Ghazali, seorang pemikir Muslim terkemuka, pernah berkata, “Anak Adam hanyalah kumpulan hari. Setiap kali satu hari hilang, maka hilanglah sebagian darimu.”
Ungkapan ini terasa relevan di tengah gaya hidup modern yang sibuk, di mana waktu habis untuk rapat daring, mengejar target kerja, atau scrolling media sosial tanpa sadar.
Mengelola Waktu, Mengelola Hidup
Psikolog klinis dr. Andri, SpKJ, menekankan pentingnya kesadaran akan waktu. “Banyak orang baru menyadari berharganya waktu ketika mereka sakit atau kehilangan orang terdekat. Padahal, mengelola waktu dengan baik sejak dini bisa menurunkan risiko stres dan meningkatkan kualitas hidup,” ujarnya.
Rasulullah ﷺ juga sudah mengingatkan lebih dari 1.400 tahun lalu: “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, senggangmu sebelum sibukmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.” (HR. Hakim).
Hidup Lebih Sadar, Kurangi Penyesalan
Kehilangan harta bisa diganti dengan kerja lebih keras, tetapi kehilangan waktu tak ada gantinya. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani pernah mengibaratkan waktu seperti pedang. “Jika engkau tidak memotongnya dengan amal, ia akan memotongmu dengan penyesalan,” pesannya.
Menangisi usia yang terus berkurang bukan berarti larut dalam kecemasan. Sebaliknya, itu menjadi pengingat agar kita lebih fokus pada hal-hal bermakna: menjaga kesehatan, memperbaiki ibadah, mempererat hubungan dengan keluarga, dan berkontribusi pada sekitar.
Saatnya Menghargai Detik yang Berjalan
Dalam era serba cepat ini, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: Apakah saya sudah menggunakan waktu saya dengan baik?
Apakah saya lebih sibuk mengejar angka di rekening dibanding memperkaya jiwa dengan amal dan kebaikan?
Sebab pada akhirnya, ketika dunia ditinggalkan, hanya amal baik yang menemani.
Harta akan tertinggal, nama bisa dilupakan, tetapi waktu yang digunakan dengan benar akan menjadi cahaya di kehidupan selanjutnya.(*)