Notification

×

Iklan

Iklan

Lukah Gilo: Ketika Anyaman Rotan Menari dengan Jiwa yang Tak Terlihat

18 Mei 2025 | 23:37 WIB Last Updated 2025-05-18T16:37:21Z


"Nan indak tampak dek mato, kadang malah mancari angin awak jo badan."

Pasbana - Begitulah pepatah Minang menyindir hal-hal gaib yang sulit dicerna logika, tapi tetap hidup dan menari dalam benak masyarakat—persis seperti Lukah Gilo, warisan budaya Minangkabau yang tak hanya menakjubkan, tapi juga menyentil sisi spiritual dan filosofis kita.

Asal-Usul: Dari Lukah, Terciptalah Gilo

Mari kita mulai dari nama. Lukah Gilo. Kedengarannya seperti orang kampung yang kehilangan akal di tengah ladang jagung. Tapi tunggu dulu, lukah itu alat tradisional untuk menangkap ikan, terbuat dari anyaman rotan. 

Sementara gilo—nah, ini yang seru—berarti gila. Tapi bukan gila karena utang di warung, melainkan gila yang bergerak tanpa kendali, seakan ada roh yang masuk ke dalam tubuhnya.

Kesenian ini berasal dari daerah pesisir dan pedalaman Sumatera Barat, biasanya dimainkan sebagai hiburan dalam pesta rakyat atau acara adat. 

Dulu, ia menjadi salah satu sarana hiburan masyarakat yang belum mengenal Netflix atau TikTok. Tapi jangan salah, Lukah Gilo bukan sekadar tontonan, ia adalah tataruang jiwa masyarakat Minang dalam menertawakan hal-hal mistis dengan penuh hormat.

Pertunjukan yang “Gilo”: Antara Magis dan Jenaka

Secara teknis, Lukah Gilo dimainkan oleh seorang pawang dan beberapa orang yang memegang lukah. Pawang ini bukan orang sembarangan. Ia semacam "CEO spiritual", paham betul mantra, doa, dan tata cara memanggil kekuatan halus yang dipercaya bisa "memasuki" lukah.



Saat permainan dimulai, pawang akan merapal mantra sambil memukul-mukul benda tertentu sebagai pemanggil "isi". 

Tak lama, lukah mulai bergerak sendiri—berjingkrakan, meliuk, bahkan terkadang menyeret pemainnya hingga terjatuh. Para penonton? Sudah pasti tertawa, ngeri, dan terkagum-kagum dalam satu napas.

Yang lucu, kadang pemainnya tak kuat mengikuti gerakan lukah yang mendadak “kesurupan”. Seorang penonton tua pernah bilang:
"Kalau indak kuat iman, lukah tu bisa mambuek badan awak babaliak bagulo-gulo."
(Artinya: Kalau tak kuat iman, bisa-bisa tubuhmu terputar seperti gula-gula!)

Simbolisme dan Filosofi: Lukah yang Menggila, Jiwa yang Tak Terkekang

Di balik kelucuan dan mistisnya Lukah Gilo, tersimpan filosofi mendalam. Lukah yang biasanya diam dan pasif, dalam pertunjukan ini justru menjadi liar dan tak terkendali—seakan menggambarkan sisi manusia yang bisa “gilo” kalau dikuasai nafsu dan kekuatan luar dirinya.

Ini adalah bentuk pengingat halus dari nenek moyang kita: bahwa manusia harus punya kendali, bahkan ketika dunia tampak seperti lukah yang mendadak menari tanpa arah. 

Dalam budaya Minangkabau yang sarat nilai adat dan etika, ini menjadi simbol penting: “Manusia harus menjadi tuan bagi dirinya sendiri, bukan hamba bagi kekuatan luar.”

Dari Arena Permainan ke Panggung Kebudayaan

Walau zaman telah berubah, Lukah Gilo belum punah. Kini, ia tampil dalam berbagai festival budaya, panggung seni, bahkan jadi materi edukasi kebudayaan di sekolah. 

Tapi tentu saja, fungsinya mengalami transformasi—dari pertunjukan spiritual ke hiburan edukatif dan pelestarian tradisi.

Di sinilah tantangannya: bagaimana menjadikan Lukah Gilo tetap hidup dalam makna, bukan sekadar tontonan. Kita tak ingin ia menjadi sekadar “gilo-giloan” tanpa ruh seperti konten viral yang hilang esok hari.

Lukah Gilo dan Kita

Lukah Gilo adalah cermin. Ia mengajak kita tertawa sambil berpikir, menari sambil merenung. Ia adalah lukisan hidup dari budaya Minangkabau yang menyelipkan petuah dalam lelucon, dan nasihat dalam permainan.

Sebagaimana pepatah Minang bilang:
"Jo alek nan gilo, kadang tersimpan urang nan jaleh."
(Di balik yang tampak gila, kadang tersembunyi orang yang bijak.)

Jadi, mari kita tertawa, belajar, dan menjaga. Karena budaya, meskipun bisa “gilo”, selalu menyimpan akal yang waras bagi yang ingin memahami. Makin tahu Indonesia. (*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update