Notification

×

Iklan

Iklan

Ilmu Tinggi, Andil Rendah? Saatnya Lulusan Bergelar Bersatu untuk Perjuangan Umat

12 Juli 2025 | 08:14 WIB Last Updated 2025-07-12T01:14:02Z


Pasbana - Dalam dunia yang makin terhubung dan kompetitif ini, gelar akademik menjadi lambang kesuksesan banyak orang. S1, S2, bahkan S3 telah menjadi “mahkota” yang dibanggakan. 

Namun di balik kilau prestasi akademik itu, ada pertanyaan reflektif yang perlu kita renungkan bersama: Apakah ilmu yang kita miliki sudah benar-benar memberi andil dalam perjuangan Islam?

Ketika Gelar Tak Seiring dengan Perjuangan


Fenomena menarik (dan menyedihkan) tampak dalam dinamika umat saat ini. Di tengah derasnya lulusan perguruan tinggi yang menyandang berbagai gelar prestisius, ternyata medan amal perjuangan Islam masih kerap kekurangan “pemain inti”. 

Padahal, Islam sangat membutuhkan kontribusi dari para ahli, cendekiawan, teknokrat, dan akademisi yang punya wawasan luas sekaligus integritas spiritual tinggi.

"Setiap hari saya menyaksikan betapa kurangnya kehadiran orang-orang bergelar dalam perjuangan umat. Padahal jumlah muslim berpendidikan tinggi tak sedikit," ujar seorang dai muda asal Bandung, Ustaz Hilmi, dalam sebuah kajian daring bertema “Ilmu dan Pengabdian untuk Umat”.

Ia menambahkan, "Rasanya janggal, jika seorang muslim punya seabrek ijazah tapi tak pernah terlibat membela kebenaran, berdakwah, atau sekadar menyuarakan kebaikan di bidang keahliannya."

Bukan Sekadar Tumpukan Ijazah


Bagi sebagian orang, gelar hanya menjadi alat untuk mengangkat status sosial atau meraih penghasilan tinggi. Tapi bagi seorang muslim, ilmu adalah amanah. Setiap ilmu yang dititipkan Allah kepada kita, sejatinya harus dibayar lunas dengan pengabdian.

Pandangan ini bukan tanpa dasar. Islam memandang tinggi ilmu, namun lebih tinggi lagi nilai amal dari ilmu tersebut. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itulah sebaik-baik makhluk."
(QS. Al-Bayyinah: 7)

Lebih tegas lagi, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
(HR. Ahmad, ath-Thabrani)

Hadis ini seolah menampar kita yang masih merasa cukup dengan gelar tanpa kontribusi.

Penyakit Wahn dan Krisis Cita-cita


Umat Islam pernah berjaya karena kombinasi antara ilmu dan pengabdian. Namun kini, salah satu penyakit paling serius yang menjangkiti kita adalah wahn—cinta dunia dan takut mati, yang berdampak pada melemahnya semangat juang dan cita-cita besar.

Dr. Raghib as-Sirjani dalam bukunya "Apa yang Membuat Umat Islam Terbelakang?" menyebut bahwa salah satu kunci kemunduran umat adalah absennya orang-orang berilmu dalam gerakan pembaharuan. Ilmu mereka hanya berhenti di ruang kuliah, bukan sampai ke ruang dakwah dan pengabdian sosial.

Ilmu untuk Perubahan Nyata
Kini saatnya redefinisi sukses digalakkan. Bukan sekadar karier, gelar, atau popularitas, tapi kontribusi nyata untuk umat. 

Lulusan teknik bisa merancang sistem digitalisasi masjid. Sarjana ekonomi bisa menyusun model koperasi syariah untuk UMKM. Ahli kesehatan bisa menyebarkan gaya hidup islami yang sehat.

Guru besar bisa menulis buku-buku inspiratif yang membumikan nilai-nilai Islam.

Jadi, pertanyaannya bukan lagi, "Sudah sampai mana gelarmu?" tapi, "Sudah sejauh mana ilmumu bermanfaat untuk Islam dan umat?"

Akhir Kata: Saatnya Bangkit, Bukan Hanya Bangga


Menjadi lulusan bergelar bukanlah akhir, tapi awal dari tanggung jawab besar. Jika tidak digunakan untuk menolong agama Allah, maka semua tepuk tangan dan pujian dunia bisa jadi tak berarti di hadapan-Nya.

Mari renungkan firman Allah berikut:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(QS. Muhammad: 7)

Dan sabda Rasulullah SAW:
"Barang siapa yang tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka ia bukan termasuk golongan mereka."
(HR. al-Hakim)

Maka, saatnya para pemilik gelar bersiap bukan hanya menulis CV akademik, tapi juga menulis sejarah pengabdian untuk Islam.
Kalau kamu punya gelar dan keahlian, sekarang waktunya bertanya: “Sudahkah aku ikut memperjuangkan Islam dengan caraku?”

Jika kamu siap menulis lembaran baru, umat sedang menunggumu.
(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update