Oleh: Satria Asmal, SP,CHt,CI,CMT NLP
Direktur Specta Indonesia
Pasbana - Di era modern ini, kata "instan" telah meresap ke hampir setiap aspek kehidupan kita. Dari makanan yang siap saji dalam hitungan menit, layanan digital yang serba cepat, hingga teknologi canggih seperti AI dan mobil otonom yang menjanjikan kemudahan luar biasa.
Awalnya, semua inovasi ini diciptakan untuk mempermudah hidup manusia, menghemat waktu dan tenaga. Namun, di balik kemilau efisiensi ini, muncul pertanyaan mendalam: apakah instanisasi kehidupan ini membawa kita pada kemajuan sejati, atau justru perlahan mendorong kita menuju kemunduran?
Dampak Instanisasi bagi Kehidupan Manusia
Dampak dari "serba instan" ini terasa di berbagai lini kehidupan kita:
* Dampak bagi Akal Pikiran
Kemudahan akses informasi instan melalui internet dan AI dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis dan analitis.
Mengapa harus bersusah payah mencari dan menganalisis informasi jika jawaban sudah tersedia dalam hitungan detik?
Ini berpotensi melemahkan daya nalar dan kemampuan memecahkan masalah secara mandiri. Kita menjadi terbiasa dengan "jawaban cepat" ketimbang proses berpikir yang mendalam.
* Dampak bagi Kesehatan
Fenomena makanan dan minuman instan, meskipun praktis, seringkali tinggi akan gula, garam, dan lemak tidak sehat.
Konsumsi berlebihan berkontribusi pada peningkatan kasus obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. Selain itu, gaya hidup yang semakin pasif karena kemudahan teknologi (misalnya, mobil otonom, belanja daring) turut memicu masalah kesehatan akibat kurangnya aktivitas fisik.
* Dampak bagi Sosial Kemasyarakatan
Interaksi sosial semakin beralih ke ranah digital. Aplikasi pesan instan dan media sosial memungkinkan komunikasi cepat, namun seringkali mengikis kedalaman interaksi tatap muka.
Hubungan antarmanusia menjadi lebih superfisial, dan empati bisa berkurang karena minimnya pengalaman berinteraksi langsung dengan emosi dan nuansa sosial. Adiksi terhadap gawai juga dapat menyebabkan isolasi sosial dan kesepian, meskipun kita merasa "terhubung" secara digital.
* Dampak bagi Kreativitas
AI dan teknologi otomatisasi dapat melakukan banyak tugas yang dulunya membutuhkan kreativitas manusia. Meskipun AI bisa menjadi alat bantu, ketergantungan berlebihan padanya dapat menghambat pengembangan ide-ide orisinal dan kemampuan berinovasi.
Ketika mesin bisa menghasilkan karya dalam sekejap, motivasi untuk berproses, bereksperimen, dan berjuang demi sebuah ide orisinal mungkin akan menurun.
Bagaimana Mengatasi dan Apa Solusinya?
Mungkinkah dunia kembali ke masa lalu? Rasanya tidak mungkin, mengingat laju inovasi teknologi yang tak terbendung. Namun, kita bisa mencari keseimbangan dan mengelola dampak negatif instanisasi.
Beberapa solusi yang bisa diterapkan antara lain:
* Literasi Digital dan Kritis: Mendorong pendidikan yang mengajarkan keterampilan berpikir kritis dalam menyaring informasi dan menggunakan teknologi secara bijak, bukan sekadar menerima informasi mentah.
* Penguatan Hubungan Interpersonal: Secara sadar meluangkan waktu untuk interaksi tatap muka yang berkualitas, terlibat dalam kegiatan sosial, dan membangun komunitas di dunia nyata.
* Gaya Hidup Aktif dan Sehat: Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang dan aktivitas fisik di tengah kemudahan akses makanan instan dan gaya hidup serba duduk.
* Mendorong Kreativitas dan Keterampilan Manusia: Menekankan pentingnya keterampilan non-otomatis seperti pemecahan masalah kompleks, berpikir out-of-the-box, dan kreativitas orisinal yang sulit digantikan oleh AI. Menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti mutlak.
* Batasi Penggunaan Gawai: Menerapkan "detoks digital" secara berkala untuk mengurangi ketergantungan pada perangkat elektronik dan mengalihkan perhatian pada kegiatan yang lebih produktif dan interaktif.
Bagaimana Agama Menyikapi Ini? Dunia yang Hilang?
Agama, dengan ajaran moral dan etika yang kuat, dapat menjadi kompas di tengah arus instanisasi. Banyak ajaran agama menekankan pada kesabaran, proses, kerja keras, dan pentingnya hubungan sosial yang harmonis.
* Pentingnya Proses dan Ikhtiar: Agama mengajarkan bahwa setiap hasil adalah buah dari ikhtiar dan proses yang dilalui, bukan sekadar keinginan instan. Konsep syukur dan sabar menjadi relevan di tengah godaan serba cepat.
* Nilai Kemanusiaan: Agama menyoroti nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, empati, tolong-menolong, dan kebersamaan yang terancam oleh individualisme dan isolasi akibat instanisasi digital.
* Menjaga Keseimbangan: Ajaran agama sering kali menganjurkan keseimbangan dalam hidup, antara urusan dunia dan akhirat, antara material dan spiritual. Ini bisa diinterpretasikan sebagai keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan tetap menjaga esensi kemanusiaan.
* Pentingnya Akal dan Hati: Agama mendorong penggunaan akal untuk kebaikan, namun juga mengingatkan bahwa hati dan nurani harus tetap menjadi penuntun. Ini relevan dalam penggunaan AI dan teknologi, di mana keputusan etis dan moral seringkali diabaikan demi efisiensi.
Bukan "dunia yang hilang" yang harus kita ratapi, melainkan "dunia yang berubah"
Tantangannya adalah bagaimana kita, sebagai manusia, dapat beradaptasi dan mengendalikan perubahan ini agar instanisasi membawa kita pada kemajuan yang beretika dan bermakna, bukan kemunduran yang mengikis kemanusiaan kita. Kita harus menjadi master dari teknologi, bukan budaknya.
Karena satu satunya penghambaan tertinggi kita hanya pada Allah semata. Jangan sampai teknologi mengubah orientasi menjalankan kehidupan ini.
Karena sejatinya kita manusia juga memiliki perangkat luar biasa yang diciptakan Allah untuk menjalani hidup ini.
Ada akal, penglihatan, pendengaran dan hati, jangan sampai kita kehilangan akses ke perangkat ciptaan Allah tersebut karena kita tak lagi menstimulusnya karena telah dimanjakan teknologi instanisasi.
***