Pasbana - Di halaman rumah gadang, berdiri anggun bangunan kecil berkaki panjang bernama rangkiang.
Mungkin bagi sebagian orang luar, ia tampak seperti lumbung padi biasa. Tapi bagi masyarakat Minangkabau, rangkiang menyimpan lebih dari sekadar butir padi.
Ia adalah simbol kecerdasan, kearifan lokal, dan bahkan spiritualitas menghadapi masa-masa sulit.
Rangkiang bukan sekadar penyimpanan hasil panen. Ia adalah pesan diam dari para pendahulu Minang tentang bagaimana menyikapi masa paceklik dengan kepala dingin dan strategi yang matang.
Di sinilah warisan budaya bertemu dengan nilai-nilai Islam, yang juga mengajarkan tentang pentingnya perencanaan, penghematan, dan ketahanan ekonomi.
Filosofi Rangkiang: Lebih dari Sekadar Lumbung
Rangkiang Sitinjau Lauik: untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.
Rangkiang Sibayau-bayau: cadangan di masa sulit atau bencana.
Rangkiang Sitinjau Rajo: hasil panen yang dipersembahkan untuk kegiatan sosial atau tamu agung.
Setiap butir padi di dalam rangkiang bukan hanya makanan. Ia adalah harapan. Ia adalah hasil kerja keras, yang tidak dihabiskan sekaligus, tapi ditata rapi untuk keberlangsungan hidup bersama.
Jejak Nabi Yusuf: Strategi Simpan Pangan dari Langit
"Yusuf berkata: 'Kalian akan menanam tujuh tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian panen, biarkanlah dia tetap di bulirnya, kecuali sedikit untuk kalian makan.'” (QS. Yusuf: 47)
Dalam ayat ini, Allah SWT melalui Nabi Yusuf mengajarkan tentang pentingnya menyimpan hasil panen sebagai cadangan untuk menghadapi tahun-tahun krisis.
Seperti rangkiang, Mesir kuno membangun lumbung-lumbung raksasa atas saran Nabi Yusuf untuk menyimpan gandum. Strategi itu menyelamatkan mereka dari bencana kelaparan.
Kearifan Lokal Minangkabau: Mengantisipasi, Bukan Panik
Dalam adat Minang, ada pepatah bijak:
“Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang”
(Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing)
Ini menandakan semangat gotong royong dan keseimbangan antara konsumsi dan cadangan, yang kini sering dilupakan di era konsumtif modern.
Dalil Lain: Islam dan Ketahanan Saat Ekonomi Sulit
Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
"Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu menahan diri ketika marah."
Ini berlaku juga dalam konteks ekonomi—menahan diri dari pemborosan, tetap tenang dalam kesulitan.
Sementara itu, dalam QS. Al-Baqarah: 155-157, Allah berfirman:
"Dan sungguh akan Kami beri cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Menyimpan untuk Masa Depan, Bukan Takut Kemiskinan
Di tengah krisis pangan global dan ekonomi yang tak menentu, bukankah ini pelajaran yang sangat relevan?
Menurut data dari FAO (2023), ketahanan pangan di Asia Tenggara mengalami tekanan akibat perubahan iklim dan geopolitik. Dalam konteks itu, rangkiang bukan sekadar nostalgia, tapi solusi lokal yang bisa dipelajari ulang oleh dunia modern.
Rangkiang Sebagai Simbol Harapan
Kecil, tenang, tapi menyimpan makna yang besar. Di dalamnya, tertanam filosofi, spiritualitas, dan warisan kecerdasan yang tak lekang oleh zaman.
Barangkali, kini saatnya kita belajar lagi dari rumah gadang. Bukan hanya soal arsitektur, tapi tentang cara bertahan dan berbagi dalam masa sulit—seperti yang diajarkan oleh leluhur Minang dan dikokohkan oleh kisah para nabi.(*)