Banda Aceh, pasbana - Teater MATA Banda Aceh kembali menghidupkan panggung seni pertunjukan dengan mementaskan lakon bertajuk “JEEEH!?” (Jalan Pintas), sebuah naskah karya almarhum Maskirbi yang ditulis pada tahun 1996.
Pementasan akan digelar pada 9 Agustus 2025 pukul 20.30 WIB di Indoor Taman Seni dan Budaya Aceh, dan disutradarai oleh Zulfikar Kirbi, yang juga dikenal luas sebagai penyair dan aktivis seni.
“JEEEH!?” bukan sekadar pementasan teater, melainkan bentuk perenungan tajam atas kondisi sosial yang kian mengkhawatirkan. Naskah Maskirbi dinilai masih sangat relevan, menggambarkan realitas negeri yang diselimuti kemunafikan, kehilangan nurani, dan memudar cinta.
Pementasan ini menjadi wadah untuk membangkitkan kembali kesadaran sosial dan refleksi diri masyarakat melalui bahasa artistik.
"Negeri ini seperti yang ditulis Maskirbi: ‘Di sini ternyata tak ada lagi apa-apa. Tak ada lagi siapa-siapa. Snobis dan hypokritsi jadi pahlawan. Wahai, hati nurani telah lenyap, cinta telah terkubur. Di sini tak ada lagi cahaya,’” tutur Zulfikar Kirbi dalam pernyataan resminya.
Pertunjukan ini merupakan kerja kolektif dari berbagai seniman lintas bidang di Aceh. Tim produksi terdiri dari:
Sutradara: Zulfikar Kirbi
Asisten Sutradara: Dede Nasmawati
Pimpinan Produksi: Ichwanul Fitri
Supervisor: Zalsufran
Aktor: Riza Sachfan, Cut Marlita, Sayed Iqbal Tawaqal, Faisal Amir, Mahfud Ridha, Raja Seulaweut
Penata Musik: Denny Syukur
Konsultan Musik: Jamal Taloe
Pemusik: Ardi Sikumbang, Syeh Bran Malisi, Denny Syukur
Penata Artistik: Nasruddin Chek Nas, Iswadi Basri Chek Is
Stage Manager: Yulianti Natalia
Desain Grafis & Efek Khusus: Amondaya Alfanmono
Videografer: Riadhi Zulfahmi Buyong
Fotografer: Mufti
Penata Make-up & Kostum: Sarah Uman
Seksi Tamu & Konsumsi: Tim pendukung lokal
Zalsufran selaku supervisor mengatakan bahwa pertunjukan ini menjadi salah satu agenda reguler Taman Seni dan Budaya Aceh, sekaligus bentuk penghormatan terhadap naskah lawas yang sarat nilai kemanusiaan.
Menurut Zulfikar, pentas ini adalah bentuk pemenuhan janji kepada almarhum Maskirbi, yang sempat diwacanakan sebelum tragedi tsunami Aceh. “Ini bukan sekadar pementasan, tapi janji yang akhirnya terlaksana. Naskah ini bukan tinggalan usang, tapi cermin zaman yang terus berulang,” ujarnya.
Asisten Sutradara Dede Nasmawati mengungkapkan bahwa menggarap naskah ini bukan hal mudah. “Ini kebanggaan sekaligus tanggung jawab besar, karena kami ingin menyampaikan pesan Maskirbi dengan utuh dan jujur,” katanya.
Pementasan “JEEEH!?” akan digelar pada:
Tanggal: Sabtu, 9 Agustus 2025
Waktu: 20:30 WIB
Tempat: Indoor Taman Seni dan Budaya Aceh, Banda Aceh
Acara ini terbuka untuk umum dan diharapkan dapat menjadi ruang interaksi seni yang bermakna di tengah masyarakat yang semakin rindu akan kejujuran ekspresi dan suara nurani.
Menurut pengamat seni lokal, Dr. Sulaiman Juned, “JEEEH!?” adalah pertunjukan yang menggambarkan relasi manusia dengan nuraninya, di tengah kehidupan yang penuh kepura-puraan. “Ini pertunjukan tentang merawat harapan, cinta, dan kasih sayang di tengah negeri yang makin melelahkan,” ungkapnya.
Pimpinan produksi, Ichwanul Fitri, menyatakan bahwa seluruh proses kreatif ini adalah kerja kolektif yang dibangun atas dasar semangat bersama. “Insya Allah semua proses berjalan lancar, meski penuh tantangan,” katanya optimis.
Sinopsis
Naskah ini tak banyak menggunakan narasi verbal panjang, melainkan menggugah perasaan lewat puisi dan metafora:
“Kecuali hanya hati
Selebihnya lautan tak bertepi
Kecuali hanya hati
Selebihnya catatan-catatan
Kecuali hanya hati
Selebihnya ketakberdayaan
Pertunjukan “JEEEH!?” bukan hanya peristiwa seni, tetapi juga ajakan untuk merenung, berdiri, dan bergerak.
Naskah ini tak banyak menggunakan narasi verbal panjang, melainkan menggugah perasaan lewat puisi dan metafora:
“Kecuali hanya hati
Selebihnya lautan tak bertepi
Kecuali hanya hati
Selebihnya catatan-catatan
Kecuali hanya hati
Selebihnya ketakberdayaan
Pertunjukan “JEEEH!?” bukan hanya peristiwa seni, tetapi juga ajakan untuk merenung, berdiri, dan bergerak.
Ia menantang penonton untuk menelusuri jalan hati—bukan jalan pintas. Di tengah dunia yang kerap meminggirkan nurani, pementasan ini hadir sebagai panggilan kesadaran. (*)