Payakumbuh, pasbana – Isu kesejahteraan dosen tak lagi menjadi wacana eksklusif di ruang-ruang kampus. Ia telah menjelma menjadi bagian penting dalam perjuangan menciptakan keadilan sosial melalui advokasi kebijakan publik yang inklusif dan berkeadilan.
Dalam Studium Generale bertajuk "Mewujudkan Kesejahteraan Dosen Indonesia: Peran Kebijakan Publik dari Ruang Kampus", para akademisi diingatkan untuk memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan dalam sistem pendidikan tinggi nasional.
Kegiatan yang digelar oleh Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh (PPNP) ini menghadirkan para tokoh penting dari Asosiasi Dosen Akademik dan Vokasi Indonesia (ADAKSI), serta mitra dari dunia usaha, industri, dan ekosistem keilmuan yang turut mendukung gerakan kolektif kesejahteraan dosen.
Ketua Panitia sekaligus Ketua DPC ADAKSI PPNP, Synthia Ona Guserike Afner, SP, M.P., menegaskan bahwa perjuangan kesejahteraan dosen belum mencapai garis akhir.
“Kita harus terus menyuarakan dan memberikan dukungan nyata. Ini bukan hanya perjuangan satu golongan, tapi perjuangan bersama seluruh pendidik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.
Isu kesejahteraan ini mencakup tuntutan yang lebih luas: pengakuan profesi dosen, jaminan penghasilan yang layak, serta partisipasi aktif dalam penyusunan dan pengawasan kebijakan pendidikan nasional.
Prof. Dr. Edi Syafri, ST, M.Si., perwakilan dari PPNP, dalam sambutannya menekankan pentingnya perbaikan kualitas dosen yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan, khususnya bagi dosen muda yang tengah meniti karier akademik.
“Pendidikan tinggi tak akan optimal bila dosennya tidak mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang layak. Sudah saatnya kita serius mengawal ini dari ruang kampus,” tegasnya.
Dr. Fatimah, Ketua Umum ADAKSI, memaparkan bahwa perjuangan panjang atas Tunjangan Kinerja (Tukin) dosen telah berlangsung sejak 2020 hingga 2025.
Ia menekankan bahwa hasil yang mulai dirasakan saat ini adalah buah dari konsistensi gerakan advokasi yang berbasis data dan solidaritas kolektif para dosen di seluruh Indonesia.
“Tanpa tekanan kolektif dan data yang kuat, kebijakan tak akan berpihak,” tandasnya.
Senada dengan itu, Anggun Gunawan, MA, Wakil Ketua Umum ADAKSI, menggarisbawahi pentingnya kapasitas dan kesadaran kritis dosen dalam proses pengambilan keputusan publik.
“Kami tidak hanya mengadvokasi, tapi juga membangun daya tawar para dosen agar dapat bernegosiasi dan berdiri sejajar dalam pembuatan kebijakan,” katanya.
Acara ini dihadiri oleh Ketua DPW ADAKSI Sumatera Barat, Aryoni Ananta, S.Ds., M.Sn., serta perwakilan DPC ADAKSI dari LLDIKTI Wilayah X dan ISI Padang Panjang. Kolaborasi lintas kampus ini menandai bahwa perjuangan kesejahteraan dosen telah melampaui batas institusi formal.
Tak hanya kalangan akademisi, mitra dari Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) juga turut terlibat, seperti Batik Kalincuang, Wirausaha Harba Zumfakeya, dan Pusat Pelatihan Keterampilan Profesional Kompeten. Selain itu, hadir pula komunitas keilmuan seperti Green Engineering Society, Harau Insight, dan Markaz Cyber Syariah, serta pelaku UMKM dari Dangau Abak.
“Kolaborasi ini menunjukkan bahwa perjuangan dosen bukan hanya soal kampus, tapi telah menjadi bagian dari pergerakan masyarakat produktif,” ujar Aryoni.
Kegiatan ini menjadi pengingat bahwa perbaikan sistem pendidikan tidak dapat berjalan tanpa kesejahteraan para pengajarnya. Dosen bukan hanya pengajar, tapi pemikir, penggerak, dan penjaga nilai-nilai bangsa.
Peran mereka dalam kebijakan publik menjadi krusial untuk memastikan arah pendidikan Indonesia berjalan dalam koridor keadilan, profesionalisme, dan kesejahteraan.
Menurut data Forum Dosen Indonesia tahun 2024, lebih dari 60% dosen di Indonesia menyatakan masih menghadapi tantangan kesejahteraan, termasuk ketidakpastian status kepegawaian, rendahnya tunjangan, hingga beban kerja administratif yang tinggi.
Dengan gelombang advokasi yang terus menguat dan partisipasi aktif dari kampus-kampus di seluruh Indonesia, harapan menuju sistem pendidikan tinggi yang berkeadilan kini semakin terbuka lebar.(*)