Pasbana - Banyak investor pemula yang terjebak pada euforia sesaat, membeli saham karena “rame” atau ikut-ikutan teman.
Padahal, salah satu kunci sukses dalam investasi saham adalah memiliki “core emiten” — saham utama yang bisa Anda simpan bahkan untuk jangka waktu yang sangat panjang.
Tapi jangan salah kaprah, ini bukan berarti “cinta buta” pada suatu emiten. Kita harus tetap memilih perusahaan yang sehat, murah, dan menghargai pemegang sahamnya.
Mari kita bahas cara memilih emiten untuk jangka panjang dengan bahasa yang sederhana, agar Anda bisa mulai menyusun portofolio “saham seumur hidup” yang benar-benar menguntungkan.
1. Pilih Bisnis yang Produk dan Jasanya Selalu Dibutuhkan
Analogi mudahnya, jangan beli warung yang menjual produk musiman. Pilihlah “warung” yang selalu laris setiap hari.
Emiten yang produknya dibutuhkan terus akan lebih tahan terhadap krisis.
Beberapa sektor yang cenderung terus dibutuhkan:
Energi dan listrik – dari listrik PLN, pembangkit tenaga surya (PLTS), panas bumi, sampai batubara kalori tinggi.
Transportasi dan logistik – jasa pengiriman barang semakin penting di era e-commerce.
Teknologi – penyedia internet, data center, software pendukung bisnis.
Kebutuhan pokok – perusahaan sawit, makanan, minuman, farmasi.
Komoditas penting – seperti aluminium, nikel, yang dibutuhkan industri baterai dan kendaraan listrik.
📊 Contoh nyata: Saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sempat melemah di awal pandemi, tetapi permintaan gas terus meningkat seiring pemulihan industri.
Tahun 2024, PGAS mencatat kenaikan laba bersih lebih dari 20% YoY (sumber: Laporan Keuangan PGAS 2024).
2. Pastikan Perusahaannya “Sehat Wal Afiat”
Tidak peduli seberapa bagus prospek sektor, jika perusahaan keuangannya berantakan, risikonya tinggi.
Gunakan rasio-rasio sederhana:
Quick Ratio & Current Ratio > 1 → artinya perusahaan mampu bayar kewajiban jangka pendek.
Debt to Equity Ratio < 0,5 → hutang tidak lebih besar dari setengah modalnya, jadi risiko gagal bayar rendah.
💡 Tips: Anda bisa cek data ini dengan mudah di aplikasi seperti Stockbit, RTI Business, atau laporan keuangan resmi di IDX.
3. Beli Saat Valuasi Masih “Murah”
Sebagus apa pun perusahaan, jangan beli di harga yang terlalu mahal. Cari saham yang masih “diskon” dari nilai wajarnya.
Indikator yang bisa digunakan:
PER (Price to Earning Ratio) < 12 – harga relatif murah dibanding laba.
PBV (Price to Book Value) < 1,5 – harga di bawah nilai buku.
EV/EBITDA ≤ 6 – valuasi wajar dibanding potensi cashflow.
📌 Contoh: Beberapa saham perbankan besar seperti BBRI sempat diperdagangkan di PBV < 1,5 pada 2020-2021.
Investor yang sabar membeli saat diskon kini menikmati kenaikan harga lebih dari 100% hingga 2025.
4. Pilih Perusahaan yang Menghargai Pemegang Saham
Percuma jika perusahaan untung besar tetapi tidak berbagi dengan pemegang saham. Pilih yang rutin bagi dividen dengan yield minimal 6% atau lebih tinggi dari bunga deposito.
🚩 Waspada jika perusahaan untung tapi dividen hanya 1% atau malah tidak dibagi karena sebagian besar laba habis untuk gaji manajemen yang terlalu besar.
5. Disiplin dan Sabar
Menyimpan “core emiten” berarti Anda siap menghadapi naik turunnya harga. Selama fundamental tidak berubah, jangan panik jual ketika pasar sedang koreksi.
📖 Pelajaran Warren Buffett: “Jika kamu tidak siap menahan saham selama 10 tahun, jangan pikirkan membelinya untuk 10 menit.”
Bangun Portofolio Sehat Sejak Sekarang
Memilih “saham seumur hidup” bukan berarti membeli lalu melupakan.
Anda tetap harus mengecek laporan keuangan setiap kuartal, memantau kebijakan dividen, dan memperhatikan perkembangan industri.
✅ Checklist sebelum membeli:
Produk dibutuhkan jangka panjang
Keuangan sehat (DER < 0,5, Current Ratio > 1)
Valuasi murah (PER < 12, PBV < 1,5)
Dividen rutin & layak
Dengan pendekatan ini, Anda bisa membangun portofolio yang aman, tumbuh, dan memberi pendapatan pasif. (*)