Pernah merasa hidup seperti berjalan di padang pasir tanpa arah?
Pasbana - Di tengah kesibukan dan hiruk pikuk dunia, banyak orang merasakan kehampaan. Harta, jabatan, atau pencapaian sering kali tak cukup menambal rasa hampa itu.
Ada dahaga batin yang tak terpuaskan.
Namun, ada satu momen yang bisa mengubah segalanya: saat kita berani berhenti, menoleh ke dalam diri, lalu kembali pada Sang Pencipta.
Di situlah, kata para ulama, letak kebahagiaan yang sesungguhnya.
Allah Menyambut dengan Sukacita
Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali untanya yang hilang di padang pasir.” (HR. Muslim)
Bayangkan seorang musafir yang kehilangan kendaraan di tengah gurun, kehabisan bekal, dan hampir putus asa. Saat ia menemukan kembali untanya lengkap dengan air dan makanan, kegembiraannya tak terperi.
Tapi kegembiraan Allah menyambut hamba yang bertaubat, jauh lebih besar dari itu.
Al-Qur’an pun menegaskan kasih sayang itu:
“Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Artinya, seberat apa pun kesalahan yang kita bawa, pintu pulang selalu terbuka.
Taubat, Lebih dari Sekadar Penyesalan
Para sufi menyebut taubat sebagai jalan pulang ke kejernihan hati. Imam Al-Ghazali menyebutnya al-‘awdat ilallāh, yaitu kembali kepada Allah setelah jauh dari-Nya.
Jalaluddin Rumi bahkan menggambarkannya dengan puitis: “Taubat adalah bisikan jiwa yang ingin kembali ke pelukan Sang Kekasih.”
Kisah-kisah ulama klasik memperkuat makna ini. Fudhail bin ‘Iyadh, seorang perampok terkenal, berubah total setelah mendengar lantunan ayat Al-Qur’an (QS. Al-Hadid: 16) yang menanyakan, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hatinya?”
Malam itu juga ia bertobat dan kemudian menjadi guru spiritual yang disegani.
Begitu pula Ibrahim bin Adham, seorang raja yang memilih meninggalkan kemewahan hidup setelah mendengar “panggilan langit” untuk kembali beribadah.
Ia menanggalkan mahkotanya dan memilih hidup sederhana hingga dikenang sebagai sufi besar.
Relevan untuk Kita Hari Ini
Di tengah gaya hidup serba cepat dan tekanan mental yang makin tinggi, konsep taubat justru terasa semakin relevan.
Psikolog klinis menyebut refleksi diri dan “rekonsiliasi” dengan kesalahan masa lalu sebagai salah satu cara efektif mengurangi stres dan rasa bersalah yang kronis.
“Rasa bersalah yang berkepanjangan bisa menggerogoti kesehatan mental. Tetapi saat seseorang menemukan cara memaafkan diri dan merasa dimaafkan, ia akan lebih tenang dan sehat secara emosional,” kata Dr. Anna Althoff, psikolog dari University of Melbourne, dalam jurnal Frontiers in Psychology (2023).
Taubat, jika dipahami dengan benar, bisa menjadi terapi jiwa: menumbuhkan harapan, memperbaiki hubungan dengan diri sendiri, dan memulihkan hubungan dengan Tuhan.
Jalan Pulang Selalu Terbuka
Setiap manusia pasti pernah tersesat. Namun, seperti air yang akhirnya mengalir kembali ke laut, jiwa pun akan menemukan jalannya kembali.
Kuncinya adalah keberanian untuk berhenti sejenak, mengakui kesalahan, dan memulai langkah baru.
Taubat bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang masa depan — sebuah tekad untuk hidup lebih baik.
Dan yang paling melegakan, Allah SWT tidak sekadar menerima, tetapi bergembira ketika kita pulang.(*)