Pasbana - Bayangkan kamu sedang duduk di bangku taman. Sinar matahari terasa hangat. Angin lembut menggerakkan dedaunan.
Di sekitar, bunga-bunga tumbuh dalam harmoni: yang tinggi melindungi yang pendek, yang rindang memberi naungan, dan yang segar berbagi embun.
Mereka tidak saling sikut untuk tumbuh paling besar. Tapi saling mendukung. Itulah lukisan hidup tentang Itsar—sebuah akhlak mulia yang berarti mendahulukan orang lain, bahkan saat kita sendiri sedang butuh.
Konsep ini mungkin terdengar asing di zaman sekarang, saat media sosial ramai dengan konten "me first" dan hidup seolah perlombaan cepat-cepatan.
Tapi justru di tengah dunia yang kian individualistis ini, Itsar tampil sebagai nilai yang sangat relevan. Sebuah pelajaran tentang bagaimana menempatkan kepentingan bersama di atas ambisi pribadi.
Seni Mengalah untuk Menang
"Tidak sempurna iman seseorang sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya tidak iri, tapi benar-benar ingin orang lain bahagia, meskipun kita harus mundur selangkah. Sulit? Jelas. Tapi justru karena itu nilainya tinggi.
Kita pernah melihat bentuk Itsar dalam sejarah. Misalnya saat Abdurrahman bin Auf hijrah ke Madinah. Ia datang sebatang kara, tanpa harta.
Tapi Sa’ad bin Rabi’, seorang sahabat dari golongan Anshar, langsung menawarkan separuh hartanya—bahkan bersedia menceraikan salah satu istrinya agar bisa dinikahi Abdurrahman. Terdengar tak masuk akal? Ya, tapi itulah puncak kemurahan hati. (HR. Bukhari)
Tetesan Air yang Mengalirkan Surga
Kisah lain yang sering membuat hati terenyuh adalah dari medan Perang Yarmuk. Dikisahkan, beberapa prajurit Islam tergeletak dalam luka dan kehausan. Satu per satu, saat ditawari air, mereka justru menunjuk rekannya yang dianggap lebih membutuhkan.
Hingga akhirnya, tak satupun dari mereka sempat minum, semuanya gugur sebagai syuhada. (Diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah)
Sampai akhir hayat, mereka tetap mengedepankan orang lain.
Sampai akhir hayat, mereka tetap mengedepankan orang lain.
Bukan Soal Siapa Cepat, Tapi Siapa yang Ikhlas
Dalam buku klasik Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim menyebut Itsar sebagai puncak persaudaraan sejati. Bukan karena seseorang kaya atau berlimpah, tapi karena ia berhasil menaklukkan ego dan meletakkan cinta pada sesama di tempat tertinggi.
"Itsar adalah bukti cinta yang utuh, iman yang kuat, dan hati yang bersih dari kepentingan pribadi."
Di dunia modern yang makin kompetitif, kita sering diajari untuk ‘ambis’, ngotot, bahkan tak apa sedikit licik demi bisa maju. Tapi benarkah itu satu-satunya cara?
Masih Adakah Ruang untuk Itsar Hari Ini?
Tentu saja ada. Dan kita bisa memulainya dari hal kecil.
Seperti memberi tempat duduk untuk ibu hamil di KRL. Atau menahan komentar saat ingin menyela di ruang rapat.
Atau sekadar memberi jalan saat antre. Hal-hal sepele itu jika dilakukan terus, bisa menjadi budaya baru—budaya empati dan keikhlasan.
Sebuah studi dari Greater Good Science Center di University of California, Berkeley menyebut bahwa tindakan memberi (altruism) ternyata meningkatkan rasa bahagia dan kepuasan hidup.
Bahkan, otak kita melepaskan hormon dopamin ketika kita menolong orang lain, yang disebut “helper’s high.”
Menghidupkan Taman di Tengah Padang Ego
Jika dunia saat ini adalah padang tandus ego, maka Itsar adalah air yang bisa menyuburkannya. Menjadikannya taman tempat hidup yang lebih manusiawi.
Mulailah dari satu langkah kecil. Satu senyuman. Satu keikhlasan. Siapa tahu, dari sana tumbuh sebuah revolusi batin—yang bukan hanya membuat kita lebih baik, tapi dunia pun ikut berubah.(*)