Pasbana - Di dunia yang bergerak cepat, penuh notifikasi, deadline, dan ambisi, ada satu panggilan yang sering kali kita abaikan: panggilan dari ibu.
Ia tak pernah menuntut banyak. Kadang hanya ingin mendengar suara kita, atau sekadar tahu apakah kita sudah makan. Tapi tahukah kita, dalam kelembutannya, tersimpan sebuah kekuatan yang tak terbayangkan?
Bahkan, Rasulullah ﷺ menegaskan, “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.” (HR. An-Nasai, dinilai sahih oleh Al-Albani).
Ini bukan sekadar ungkapan puitis. Ini adalah petunjuk hidup.
Ibu, Tiga Kali Disebut, Baru Ayah
Dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, ada kisah yang menggugah hati.
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Siapakah yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Jawab beliau tegas, “Ibumu.” Lalu siapa? “Ibumu.” Lalu siapa? “Ibumu.” Baru yang keempat kalinya, beliau menyebut, “Ayahmu.”
Penekanan ini bukan untuk mengecilkan peran ayah, melainkan untuk menyoroti betapa besarnya cinta dan pengorbanan seorang ibu.
Dari mengandung, melahirkan, menyusui, hingga mendidik—semuanya dilakukan tanpa pamrih.
Uwais Al-Qarni: Tidak Dikenal di Bumi, Dikenal di Langit
Sosok Uwais al-Qarni mungkin asing bagi sebagian orang. Tapi namanya harum dalam sejarah Islam. Ia bukan sahabat Nabi, karena tak pernah bertemu langsung dengan beliau.
Tapi Rasulullah ﷺ menyebut namanya dan berpesan kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib: “Jika kalian bertemu dengan Uwais, mintalah doa darinya.”
Apa keistimewaannya? Ia merawat ibunya yang lumpuh dan mengidap kusta dengan penuh cinta dan kesabaran. Bahkan, ia menolak tawaran haji karena sang ibu tak bisa ditinggal. Kisahnya diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim.
Pengorbanan Uwais menjadi bukti bahwa doa ibu bisa menembus langit, bahkan mengangkat derajat seorang hamba di hadapan Allah dan manusia.
Abu Hurairah dan Doa yang Menembus Langit
Pernah satu malam, Abu Hurairah menangis karena ibunya belum juga mau masuk Islam. Ia meminta Rasulullah mendoakannya. Sang Nabi pun berdoa agar Allah memberi hidayah. Esoknya, sang ibu memeluk Islam.
Namun bukan itu yang membuat hati tersentuh, melainkan respons Abu Hurairah: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membalas jasanya?”
Nabi menjawab, “Berikan ia air wudhu saat azan berkumandang. Teduhkan ia dari panas. Suapkan makanan ke mulutnya, sebagaimana ia dulu menyuapimu dengan tangan bergetar.”
Ini bukan tentang ibadah, ini tentang cinta. Tentang balas budi yang tidak bisa dibayar dengan uang, melainkan dengan kepekaan dan kehadiran.
Langkah Kaki Abdullah bin Umar
Pernah suatu hari, ibu Abdullah bin Umar mengidam sesuatu yang hanya bisa didapatkan di tempat jauh. Tanpa pikir panjang, ia berjalan kaki puluhan kilometer, bukan naik unta.
Ketika ditanya mengapa, ia menjawab, “Aku ingin merasakan lelah demi ibuku, agar ridhanya padaku sempurna.”
Pengorbanan itu dicatat dalam banyak kitab sejarah Islam, salah satunya dalam Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim al-Ashfahani.
Tafsir Bakti dari Sang Ulama
Imam Muhammad Al-Ghazali, dalam bukunya Khuluq al-Muslim, menulis dengan penuh perasaan:
"Birrul walidain (berbakti kepada orang tua) adalah hak yang suci, bukan hanya untuk waktu atau keadaan tertentu. Ia adalah utang darah dan air mata."
Tak ada waktu kadaluarsa untuk bakti. Bahkan setelah ibu tiada, kita tetap bisa mengalirkan doa, sedekah atas namanya, dan menghidupkan nilai-nilai yang ia ajarkan.
Bakti yang Mulai Dilupakan?
Di tengah modernitas hari ini, kata “berbakti” sering terdengar usang. Anak-anak sibuk dengan dunia digital, orang tua jadi nomor dua. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, lebih dari 1,8 juta lansia di Indonesia tinggal sendirian atau tanpa anak.
Angka ini naik 7% dibanding tahun sebelumnya.
Ironisnya, di saat mereka mulai melemah, anak-anak justru semakin kuat dan mapan, tapi kerap lupa pada akar tempat mereka tumbuh.
Ironisnya, di saat mereka mulai melemah, anak-anak justru semakin kuat dan mapan, tapi kerap lupa pada akar tempat mereka tumbuh.
Kembali ke Pelukan Ibu
Kadang cukup dengan pulang tanpa diminta, membawa makanan kesukaannya, atau mengajaknya jalan sore.
Psikolog keluarga, Anna Surti Ariani, M.Psi, menyebutkan:
“Kehadiran anak, walau hanya sebentar, memberikan efek positif bagi kesehatan mental orang tua. Terasa seperti vitamin jiwa.”
Menjaga Sungai Rahim
Maka, sebelum suara ibu tak lagi terdengar, sebelum matanya tak lagi bisa memandang, sebelum tangannya tak lagi bisa membelai… temuilah ia.
Duduklah bersamanya. Dengarkan ceritanya yang mungkin diulang-ulang. Genggam tangannya. Dan katakan: “Terima kasih, Ibu. Aku ada karena doamu.”
Bakti Adalah Jalan Sunyi yang Penuh Cahaya
Di dunia yang mencintai pencapaian, kadang kita lupa bahwa meraih surga bisa dimulai dari hal paling sederhana: memijit kaki ibu yang letih.
Sebab pada akhirnya, tidak semua cinta harus didefinisikan dengan kata, tapi bisa dimaknai dengan kehadiran, perhatian, dan pengorbanan. Dan di situlah letak sejatinya bakti.(*)