Notification

×

Iklan

Iklan

Anak Penjual Sate Padang Kuliah Gratis di UGM

17 Mei 2019 | 08.28 WIB Last Updated 2019-05-17T01:28:29Z
Roza Febria Diniah Putri, bersama kedua orang tuanya yang berjualan Sate Padang berfoto di depan rumah mereka ( foto : Humas UGM)


Bukitinggi -- Tak ada kata keluhan bagi Suryadi (50 tahun), sebab mengeluh tidak akan mengubah apapun. Meski tinggal di rumah gubuk dan hanya berdinding papan serta beratap seng yang sudah doyong, ia tetap setia melakoni pekerjaannya sebagai penjual sate. Tinggal di  kampung Nagari Taluak IV Suku, Bukittinggi, Sumatera Barat, Suryadi mengaku bersyukur bisa menyewa tanah ukuran 4 x 5 meter persegi sejak puluhan tahun silam. Di atas tanah yang awalnya ia sewa dengan harga 400 ribu hingga sekarang naik 1,5 juta setahun itu, ia mulai membangun sebuah gubuk kecil sebagai tempat bagi dirinya, istri dan kedua anaknya agar bisa berteduh.
Di depan rumah papan polos tanpa cat itu, terdapat gerobak sate yang terparkir di bawah pohon. Gerobak inilah yang menjadi andalan bagi Suryadi sehingga bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Anak pertamanya, Rozi Agus Saputra, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Riau dan kini sudah hampir selesai. Tahun ini, anak bungsunya, Roza Febria Diniah Putri, diterima kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
Sore itu, Rabu (15/5), sebelum berangkat berjualan sate, Suryadi dan istrinya, Desmaiti (44 tahun) menerima kunjungan dari Tim Humas UGM. Desmaiti nampak terharu menceritakan kisah perjuangan hidup bersama suami untuk menyekolahkan kedua anaknya. Ia mengaku hanya bisa menabung dengan menyisihkan dari penghasilan suaminya dengan berjualan sate. “Sehari itu paling dapat penghasilan bersih 40 ribu sampai 50 ribu rupiah,” kata wanita asal Pariaman ini.
Desmaiti bercerita sejak dua tahun terakhir suaminya sering sakit-sakitan karena penyakit prostat sehingga lebih sering tidak berjualan. Selama enam bulan terakhir pekerjaan ayahnya itu diganti oleh anak sulung agar dapur tetap mengepul. Alhasil, kuliah Rozi pun jadi terbengkalai.
Selama bulan puasa ini, Suryadi mulai berjualan sate dari jam lima sore hingga jam 11 malam. Pekerjaannya sebagai penjual sate sudah dilakoninya sejak menikah tahun 1994 silam. Suryadi mengaku tidak tamat sekolah dasar sehingga pekerjaan sebagai penjual sate menjadi satu-satunya pekerjaan bisa didapatkan. Sedangkan istrinya hanya tamatan SMP yang sehari-hari membantunya menyiapkan rempah-rempah untuk meracik bumbu sate. “Soal racikan bumbu sate itu bapak yang bikin,”kata Desmaiti.
Karena merasa tidak memilliki pendidikan tinggi dengan kondisi hidup yang serba pas-pasan, kedua suami istri ini pun bertekad untuk menyekolahkan kedua anaknya ke perguruan tinggi dengan harapan kedua anaknya bisa memiliki masa depan yang lebih baik. “Siapa tahu ada peningkatan, biar kita saja yang hidup susah,”katanya.
Penghasilan suaminya sebagai penjual sate, menurut Desmaiti, tidaklah seberapa, namun ia mengaku bersyukur bisa berhemat menyisihkan hasil jualan sate. Namun, sejak tiga tahun terakhir suaminya tidak lagi berjualan sate menggunakan daging sapi, namun memilih berjualan sate daging ayam karena harga daging sapi yang begitu mahal, sementara ia tidak ingin menaikkan harga satu porsi satenya. “Saya jual sate harga sepuluh ribu rupiah, lebih murah dari yang lain,”kata Suryadi.
Lokasi tempat ia berjualan sate berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Di pinggir jalan raya di atas tanah bekas rel kereta api, Suryadi mendirikan sebuah warung kecil berdinding gedek bambu untuk ruang tempat berjualan. Dengan harga satu porsi sate yang cukup murah, Suryadi pun bisa mempertahankan pelanggan setianya. “Saya tidak ambil untung banyak,”katanya.
Mengetahui si bungsu, Roza, diterima kuliah gratis di UGM dengan beasiswa Bidikmisi, Desmaiti dan Suryadi mengaku senang dan sangat bersyukur. Desmaiti berharap Roza bisa menyelesaikan pendidikan dokter hewannya tepat waktu. Menurut sang ibu, sejak kecil Roza memang selalu berprestasi di kelas. Saat Roza menyatakan akan memilih kuliah di UGM, si ibu mengiyakan meski dengan perasaan hati berat melepas anak perempuan bungsunya tersebut. “Susah juga mau melepas anak ini, tapi kalau kayak gini terus kapan majunya, saya bilang ilmu harus dicari sampai jauh, siapa tahu nasib berubah,”kenangnya.
Roza mengaku memilih jurusan kedokteran hewan. Sejak lama ia ingin kuliah di UGM yang diidamkannya sejak masih SMP. Sejak semester dua kelas X di SMAN 1 Bukit Tinggi, Roza membulatkan tekad agar sebelum lulus mendaftar kuliah lewat jalur SNMPTN jalur bidikmisi agar tidak memberatkan beban ekonomi keluarga.“Sejak semester dua di kelas sepuluh kemarin sudah mikir mau ke FKH UGM,” kata Roza yang sejak kecil suka memelihara kucing di rumahnya.
Cerita singkat dengan keluarga Suryadi ini pun terhenti karena ia akan berangkat berjualan sate. Gerobag sate sudah disiapkannya  di depan rumah. Hujan gerimis yang mengguyur kota Bukit Tinggi sore itu tidak menghalangi Suryadi menjemput rezeki di bulan ramadan ini. Sang istri kemudian membantu mendorong gerobak satenya hingga sampai di ujung gang. Gerobak sate yang menemani keluarga ini selama belasan tahun pun berlalu seiring arah gerobak sate ini berbelok menuju persimpangan jalan Kayu Gadih. (Humas UGM)
×
Kaba Nan Baru Update