Notification

×

Iklan

Iklan

Rembulan Dan Matahari: Menyapa Dan Merenung

23 Juni 2019 | 11.17 WIB Last Updated 2019-06-23T04:17:48Z

Oleh: Dr. Sahrul N, S.S., M.Si


Pasbana.com --  Antologi puisi Soeryadarma Isman (SI) dan Sulaiman Juned (SJ) yang berjudul Rembulan dan Matahari menyisakan dua pemikiran dari dua generasi yang berbeda. Generasi pertama adalah generasi yang sedang “menyapa” dan generasi kedua adalah generasi yang sedang “merenung”. SI adalah generasi yang sedang menyapa apasaja untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk dirinya. Sedangkan SJ adalah generasi yang membawa realitas kehidupan ke dalam dirinya untuk bahan perenungan dalam menjangkau kebijaksanaan.

“Menyapa” merupakan proses belajar untuk kita bisa berubah. Manusia yang tidak belajar tidak akan pernah berubah. Perubahan adalah suatu keniscayaan tapi tindakan untuk menyikapi perubahan itu adalah pilihan. Perubahan tanpa didukung proses pembelajaran yang terus-menerus adalah omong kosong. Belajar bukanlah suatu masalah atau hal yang dianggap sebagai beban hidup, pada dasarnya dengan belajar harapannya nilai, sikap, tingkah laku, kebiasaan, keterampilan, pengetahuan berubah kearah yang lebih baik.

Berikut adalah contoh puisi SI yang belajar untuk berubah:

MENYAPA GURU

Mengenali kehidupan
Adalah tunjuk ajarmu yang menggoda

Mengenali baik buruk
Karena ajaranmu mengalir tak henti di jiwa

Membawa pulang bulan dan matahari
Seluruhnya ada karena keadaanmu

(Terima kasih telah jadi pelita di malamku)

Puisi di atas dengan tegas memperlihatkan proses pendewasaan seorang manusia dalam melihat dan mengarungi kehidupan. Posisi manusia yang sedang belajar adalah di bawah dari manusia yang memberikan pembelajaran. Sama halnya dengan teko atau ceret, pasti gelas berada di bawah teko arau ceret. Kalau gelasnya lebih tinggi dari teko atau ceret, pasti air tidak akan mengalir ke gelas. Dalam novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata menulis tentang filosofi sang guru, “Guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung.” Pengalaman Hirata yang dituliskan dalam bentuk novel ini membuka hati kita akan peran dan filosofi seorang guru sebagai pendidik dan pengajar untuk membebaskan para peserta didik dari kegelapan menuju pencerahan.

SI belajar pada seluruh gejala alam. Kata “menyapa” dilekatkan pada gejala alam seperti “gerimis”, “pagi”, “siang”, “senja”, “subuh”, “gempa”, “mendung”, “rindu”, “laut”, “angin”,  “jarum”, “puisimu”, dan sebagainya. Kemudian adalagi kata “membaca” yang dalam antologi puisi ini banyak ditulis oleh SI. Kata “membaca” sudah pasti mengarah pada proses belajar mengajar untuk menimba ilmu pengetahuan.

Dalam “menyapa” dan “membaca” peran guru sangat penting. guru memegang peranan penting dalam karir hidup manusia. Ilmu pengetahuan inilah yang menjadi pembeda. Ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan pendidikan, bagaimanapun jenis pendidikan itu. Disinilah peran seorang Guru menjadi sangat vital. Guru berperan sebagai fasilitator, sebagai orang yang wajib bisa menjawab apa saja yang ditanyakan oleh muridnya, dan tentunya sebagai pengayom, pemberi kasih sayang bagi muridnya, serta sebisa mungkin menjadi orang tua kedua bagi murid muridnya.

Disamping belajar dari guru, SI juga belajar dari alam yang selalu ada di sekelilingnya. Alam adalah guru yang baik dalam mengarungi kehidupan. Ini bisa juga disebut dalam filosofi Minangkabau “alam takambang jadi guru”. Dari sisi lain ajaran "alam takambang jadi guru" juga seharusnya dilihat bahwa (jika alam itu material) alam mengajarkan segala sesuatunya tidak sama tinggi dan tidak sama rendah. Rumput sesama rumput pun punya ukuran yang berbeda, apalagi pohon kayu di hutan. Ajaran terhadap alam adalah ajaran terhadap kemutlakan.  Alam itu juga yang mengajarkan manusia harus tergantung kepadanya, kepada alam, kepada material. Untuk itu manusia harus menghargai alam sehingga alam juga akan menghargai manusia.

Jadi SI adalah sosok generasi yang sedang mengarungi proses belajar dan belajar tersebut tidak hanya pada guru tapi juga pada alam. Proses kepenyairan SI terlihat ketika ia belajar pada semua sisi kehidupan. Bertambah usia akan bertambah juga kebijaksanaan yang akan diraihnya. Teruslah belajar SI dan raihlah cita-citamu.
***

Generasi kedua (SJ) dalam antologi puisi ini mengarah pada proses perenungan dalam menggapai kebijaksanaan. SJ memandang kehidupan ini sebagai wahana untuk membagi pemikiran dengan orang lain (pembaca puisi ini). Puisi berkaitan dengan filosofi hidup manusia atau falsafah kehidupan. Istilah filsafat sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar atau tidak disadari. Filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan hidup (masyarakat). Filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup. Filsafat dianggap sebagai cara berpikir yang kompleks. Kondisi inilah yang coba direnungkan oleh SJ dalam puisi-puisinya.

Seperti puisi berikut:

ACEH: MENGENANG GAMPONG

sedang
menghanyutkan jiwa
di krueng Tiro yang meluap. Bercermin
pada keruh air dari gunung merebahkan
duka

aku
saksikan wajahmu –kau—kita
seperti muka hantu. Sedang
gampong dijadikan laut
ah!

Puisi tersebut merupakan catatan dari kenangan tentang sebuah daerah yang mungkin saja sudah ditinggalkan atau hilang akibat bencana. Kebijaksanaan dalam memandang peristiwa tragis merupakan ciri khas SJ dalam menulis syair-syairnya. Disamping itu SJ juga memungut nilai dari sesuatu yang tidak tragis atau dari kehidupan yang natural dan indah seperti “cinta”, “legenda”, dan sebagainya.



Tragedi dalam puisi SJ sering dikaitkan dengan bencana alam yang melanda negeri ini terutama Aceh sebagai pijakan latar budaya SJ. Tragedi adalah peristiwa menyedihkan. Namun tragedi seringkali muncul secara alamiah, seperti yang terjadi di Aceh (gempa dan tsunami) dan bencana-bencana alam lainnya. Manusia tak berdaya di hadapannya. Manusia hanya bisa menerima dengan lapang dada, sambil berusaha yang terbaik untuk mengurangi dampak kerusakan. Pada titik ini tragedi adalah momen untuk menyadarkan manusia akan keberadaannya di alam ini. Manusia tidak sendiri maka ia tidak bisa seenaknya. Manusia perlu melepas arogansi, bahwa ia adalah mahluk paling mulia. Cara berpikir narsistik semacam itu perlu dilepas, jika kita mau hidup secara harmonis dengan entitas lain di dalam kosmos.

Puisi SJ menggambarkan tentang tragedi, bahwa kita tak lebih dari setitik debu di dalam keluasan dan keagungan kosmos yang ada. Arogansi dan sikap narsis di hadapan alam tak lebih dari salah satu kebodohan manusia yang perlu ditinggalkan. Paradigma antroposentrik yang menempatkan manusia sebagai pusat teragung realitas di dalam agama, filsafat, maupun sains adalah paradigma kuno yang sudah tidak lagi pas dengan situasi kita sekarang. Tragedi melepas orang dari isolasi diri, dan mendorongnya untuk menjalin relasi dengan orang lain. Tragedi mengikatkan kita pada kolektivitas itu sendiri. Tidak hanya mendorong untuk membangun relasi, tragedi membuat kita sadar, bahwa eksistensi kita bergantung sepenuhnya pada orang lain. Manusia modern adalah manusia yang terisolasi. Hasil dari isolasi adalah alienasi, atau keterasingan. Orang merasa terasing dengan tetangganya, dan bahkan dengan dirinya sendiri. Di tengah kota-kota gemerlap berisi jutaan penduduk, tingkat kesepian justru sangat tinggi.

Begitulah SJ melihat kehidupan ini untuk ia renungi dan membaginya dengan pembaca. Tragedi kadangkala menjadikan manusia arif dalam mengarungi kehidupan dan tidak sombong serta menghargai proses perubahan alam yang tidak bisa ditolak.
*****


*) Tulisan ini merupakan catatan yang dibacakan pada acara peluncuran buku Antologi Puisi Rembulan dan Matahari karya Soeryadarma Isman dan Sulaiman Juned di Komunitas Seni Kuflet pada tanggal 12 Juni 2019
×
Kaba Nan Baru Update