Notification

×

Iklan

Iklan

Sejarah Berdirinya Masjid Sarik - Sungai Pua

09 Juni 2019 | 16.30 WIB Last Updated 2022-06-30T07:48:29Z
Masjid Sarik - Sungai Pua ( Dok. aswilblog.wordpress.com )

Agam, pasbana -- Nagari Sarik adalah salah satu nagari yang berada di kaki gunung Marapi - Sumatera Barat. Di nagari ini berdiri sebuah masjid yang cukup tua dan bersejarah bernama Masjid Sarik.

Berikut ini sejarah Masjid Sarik  berdasarkan penjelasan dari Angku Ono Dt. Palindih, mengenai sejarah berdirinya masjid Sarik di atas tanah wakaf di lingkungan tanah pusako milik kaumnya.

Alkisah di tahun 1800-an hiduplah tiga perempuan bersaudara, Tuo (nenek) Labu, Tuo Upik dan Tuo Tarimin di desa Sarik, Sungai Puar yang berhawa sejuk.

Tuo Labu dikaruniai dua putra, Haji Sulaiman bergelar Sutan Sulaiman (di kemudian hari lebih dikenal dengan panggilan Inyiak Imam) dan adiknya, Haji Rasyad gelar Sutan Pasia yang belakangan lebih sering disebut Inyiak Pasia.

Tuo Upik mempunyai 6 anak, Latief, Sawiyah, Saribanun, Isam, Abbas dan Insah. Sementara Tuo Tarimin hanya dikaruniai anak tunggal, Ajo yang bergelar Dt Palindih.

Setelah menikah, Tuo Upik bersama sang suami pergi merantau dan menetap di Padang Panjang.

Namun kepergiannya itu tidak berlangsung lama karenaTuo Upik sekeluarga didatangi oleh Inyiak Pasia dan dibujuk untuk pulang ke kampung halamannya, Sarik. Maklum dari ketiga bersaudara, hanya Tuo Upik lah yang memiliki anak perempuan yang diakui dan punya hak terhadap harta pusako kaum Dt. Palindih. Bisa dimaklumi, karena penduduk Minangkabau menganut prinsip matrilinial.

Diantara harta pusako yang dimiliki kaum Dt. Palindih adalah areal tanah/sawah dan sebuah tabek (kolam) dengan mata air jernih yang konon tidak pernah kering. 

Menurut penuturan Ono Dt. Palindih, Inyiak Pasia inilah yang mulai membangun masjid Sarik dengan sepersetujuan Ajo Dt. Palindih. Persetujuan itu menjadi penting karena bangunan masjid didirikan diatas tanah wakaf pemberian keluarga Dt. Palindih. Inyiak Pasia (yang juga dipanggil Buya Angku Pasia) dulunya adalah guru sekolah agama sebuah pesantren di Kecamatan IV Angkat Candung (Tarbiyah Pasir). Kapan persisnya masjid ini dibangun, tidak ada yang  ingat. Tetapi yang jelas, ketika gunung Krakatau meletus di tahun 1883, masjid ini telah lama ada.
Foto Masjid Sarik Tempo Doeloe ( Dok.aswilblog.wordpress.com )
 

Informasi mengenai Masjid Sarik ini bisa kita temui di buku “Masdjid dan Makam Doenia Islam”, cetakan Balai Poestaka–Weltevreden tahun 1926 yang memuat foto serta komentar singkat sebagai berikut:
“Inilah seboeah lagi masdjid jang didirikan menoeroet matjam baroe. Masdjid Sarik ini boekan boeatannja sadja jang bagoes, tetapi letaknja djoega, disisimata air jang besar, di lereng goenoeng Merapi, berpemandangan bagoes ke kaki goenoeng Singgalang dan ke Fort de Kock. Menaranja jang tjantik itoe soedah roboh tatkala gempa boemi jang terdjadi dengan takdir Toehan di Soematera Barat”.

Informasi tambahan tentang masjid Sarik dapat pula kita temui di website rizalbustami.blogspot.com yang menuliskan sebagai berikut:

Didirikan pertama kali tahun 1800-an. Semula bangunannya terbuat dari kayu kemudian diganti dengan tembok. Meski masjid ini berlantai dua, namun tidak menggunakan kerangka besi. Bahan perekatnya bukan pula semen, melainkan dari kapur sirih yang dicampur dengan pasir.Seperempat abad setelah berdirinya masjid, tahun 1926 gempa bumi vulkanik dengan kekuatan 6,5 SR, yang terkenal dengan gempa Padang Panjang, menggoncangkan seluruh bangunan di sekitar Gunung Merapi. Ajaibnya, bangunan masjid tersebut tidak mengalami apa – apa, kecuali menara masjid yang mirip dengan menara masjid Kudus roboh separohnya. Pada sisa bangunan menara, dibangun saja kuncup atap seperti sebelumnya. Sehingga tinggi menara tidak lagi setinggi pertama sekali dibuat. Kubah baru tanpa menggunakan pipa besi untuk penyangganya. Untuk perekat tembok masih menggunakan kapur sirih. Masjid lama berarsitektur asli dengan bentuk atap punden berundak.

Inyiak Pasia, sang pendiri masjid Sarik telah lama tiada. Demikian pula Ajo Dt. Palindih yang tongkat penghulunya digantikan oleh sepupunya, Latief (Dt. Palindih). Ketika gelar Dt. Palindih dipegang oleh Johan (anak Sawiyah, cucu Tuo Upik yang kini juga telah almarhum) di tahun 70 an, beliau mendirikan sebuah surau bergonjong disamping bangunan masjid yang utama. Belum lama ini telah berdiri pula gedung sekolah MDA (diniyah) disamping masjid Sarik.

Masjid Sarik sebagai salah satu masjid tertua di kabupaten Agam di jaman penjajahan cukup sering disebut dalam tulisan dan dokumentasi. Buku Tourism in the Netherlands Indies terbitan Batavia tahun 1938 memuat dua foto masjid tua di Sumatera Tengah yang salah satunya adalah Masjid Sarik.

Mengingat banyaknya turis mancanegara yang tertarik dengan aspek budaya dan seni, seyogyanya masjid Sarik dapat dioptimalkan sebagai salah satu obyek turis di Kabupaten Agam.

Tapi realitanya masjid bersejarah dengan arsitektur antik ditepi kolam jernih ini justru terkesan terbengkalai. Malah bisa  jadi masih ada generasi muda Sarik yang belum tahu akan keberadaan aset pariwisata yang berharga ini. Sementara pemerintah daerah dan masyarakat kita masih tetap saja seperti dulu, belum serius untuk menggalakkan pariwisata di ranah Minang. Jadi makin tahu Indonesia(***)
(Nara sumber: Engku Ono. Dt. Palindih, Hj. Nurlaili Johan)

Dikutip dari : aswilblog.wordpress.com






×
Kaba Nan Baru Update