Notification

×

Iklan

Iklan

Moehammad Saleh Datoek Orang Kaja Besar: Saudagar Kaya yang Memegang Teguh Etika Dagang

02 Februari 2023 | 15.40 WIB Last Updated 2023-02-02T08:47:28Z
(Sumber foto: Moehammad Saleh 1965: di muka hlm.14) 1


pasbana - Pariaman adalah sebuah kota pelabuhan (entrepot) yang sudah tua usianya. Kota ini pernah melahirkan seorang pedagang besar pada abad ke-19, yaitu Moehammad Saleh Datoek Orang Kaya Besar. tokoh yang cukup terkenal pada jamannya di Minangkabau.

Muhammad Saleh (1841-1920) merupakan pengusaha terbesar di pantai barat Sumatra di akhir abad 19 hingga awal abad 20. Salah satu prestasi terhebatnya adalah mendirikan MDP (Maskapai Dagang Pariaman) pada tahun 1901. MDP merupakan perusahaan pertama milik pengusaha lokal yang terbesar di zamannya yang dikelola secara modern. Pengelolaan secara modern ini maksudnya bahwa MDP dikelola secara profesional dengan sistem manajemen, pengelolaan keuangan, dst. yang jelas dan terukur.

MDP bisa dikelola secara modern berkat usaha Muhammad Saleh mempelajari ilmu berhitung, membaca, dan pengelolaan keuangan secara otodidaktik, tanpa pernah masuk sekolah Belanda pada zaman itu. Saleh mempelajari semuanya dengan sistem berguru langsung kepada orang yang pandai. Dalam hal belajar membaca dan menulis misalnya, ia datang sendiri ke rumah orang yang pandai, dan mengutarakan keinginannya untuk fasih membaca serta menulis. Atau dalam hal berhitung dan pengelolaan uang, ia belajar dari pedagang-pedagang yang keluar-masuk di Pariaman saat itu.

Namun, sebelum mendirikan MDP, usaha Muhammad Saleh untuk belajar tersebut berkaitan dengan berbagai macam jenis pekerjaan yang pernah dicobanya agar tetap bisa bertahan hidup, seperti menjadi penjaga toko, tukang elo pukek, penjaja ikan kering, awak perahu serta nahkoda perahu, penyedia kebutuhan harian Asisten Residen Belanda di Pariaman, sampai “tukang uang” atau akuntan. Pengalaman berniaga di laut dan darat serta hubungan baik dengan berbagai macam orang, baik antar etnis di Sumatra ataupun dengan orang Belanda selama masa kerja serabutan itulah yang menjadi basis kekuataan MDP sebagai pemasok garam, ikan laut, daun nipah, ke daerah darek Minangkabau (darat) sekaligus menjadi pemasok komoditi pertanian seperti sayur-sayuram, gula, tembakau, dan gambir dari darek ke daerah pasisia (pesisir) di kemudian hari.

Muhammad Saleh menuliskan sendiri perjalanan hidupnya tersebut, dari remaja sebagai buruh kasar hingga sampai mendirikan MDP, dari tahun 1904 sampai 1914, menggunakan aksara Arab gundul dalam bahasa Minang. Catatan tersebut diselamatkan oleh cucu Muhammad Saleh, S.M. Latief, dan kemudian dialihaksarakan ke aksara latin, dengan tetap berbahasa Minangkabau, serta diolah sebuah otobiografi dengn judul Hidoeik dan Perasaian Ambo: Moehammad Saleh Datoek Orang Kaja Besar pada tahun 1933. Pada tahun 1965, otobiografi tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan diterbitkan kembali tahun 1975.


Moehammad Saleh lahir tahun 1841 di Desa Pasir Baru, Pariaman. Ayahnya, Peto Rajo, juga seorang pedagang, adalah penduduk Pariaman asli. Namun, ayah Peto Rajo adalah keturunan seorang raja di Rigah, Rantau Duabelas, Aceh Barat. Tarus, Ibu Moehammad Saleh, berasal dari Guguak Ampek Koto, dekat Bukittinggi. Mungkin keluarga Tarus telah hijrah ke Pariaman akibat Perang Padri.

Kisah sukses Moehammad Saleh sebagai pedagang besar Pariaman pada paroh kedua abad ke-19 dapat kita ketahui berkat otobiografi yang ditulisnya sendiri pada tahun 1914 (tulisan Jawi). Pada tahun 1965 otobiografi itu di-Latin-kan oleh cucu beliau, S.M. Latif (lihat gambar sampulnya di atas). 

Tsuyoshi Kato yang merekonstruksi dunia perdagangan pantai di Rantau Pariaman (dalam JSEAS 39.4, 1980:729-52) berdasarkan otobiografi Moehammad Saleh itu mengatakan bahwa autobiografi itu adalah sebuah dokumen yang berharga dalam banyak hal, karena ditulis oleh seorang yang bukan berpendidikan Barat dan nasionalis seperti kebanyakan otobiografi di Indonesia, tapi oleh seorang pedagang yang menjadi kaya berkat usahanya sendiri. 

Secara terperinci Moehammad Saleh menceritakan kegiatannya sehari-hari sebagai pedagang yang mengandung nasihat praktis mengenai kehidupan pada umumnya dan perdagangan pada khususnya, daripada mengemukakan gagasan-gagasan tinggi dan proses kebangkitan politik (Kato 1980:729).

Usaha Moehammad Saleh dirintis dari seorang penghela pukat di Pantai Pariaman sampai akhirnya menjadi seorang pedagang besar yang mempunyai beberapa perahupencalang dan kolek yang berlayar hingga sejauh Rigah di pantai Barat Aceh dan Bandar Sepuluh di selatan. 

Saleh mempunyai beberapa toko di Pariaman dan Padang Panjang. Anak buahnya di darat dan di laut mencapai puluhan orang. Bahan dagangannya berupa macam-macam hasil bumi. Moehammad Saleh juga dipercaya oleh Belanda untuk mendistribusikan garam ke darek.

Selama hidupnya Moehammad Saleh menikah sebanyak 14 kali. Gelar kebesarannya (bahasa Minang: Datuak Urang Kayo Basa) diperoleh pada bulan Oktober 1877, dalam upacara khitanan anak pertamanya, Moehammad Taib (lahir pada tanggal. 6 Syaban 1281 H dari istrinya yang keduanya, Banoe Idah) (Saleh 1965:94). 

Kekayaan Moehammad Saleh dapat dikesan dari dua rumah besar (yang satu bernama rumah batu tinggi) milik keluarga besarnya di Pariaman, masing-masing tahun 1895 dan 1904. Jika kita ke Pariaman, rumah itu masih dapat dilihat sampai sekarang.

Moehammad Saleh meninggal di Pariaman tahun 1922 dalam usia 81 tahun. Sampai sekarang cerita mengenai Moehammad Saleh tetap hidup di kalangan generasi tua di kota Pariaman. Keturunannya telah menyebar kemana-mana: ada yang merantau dan juga ada yang tinggal di kampung menjadi pejabat daerah.

Ada beberapa etika yang diterapkan oleh Muhammad Saleh dalam berdagang. Pertama, persoalan korelasi antara pendidikan dan perdagangan. Dalam persoalan ini, Muhammad Saleh selalu mengutip nasihat ayahnya yang mengatakan bahwa untuk apa bekerja kalau tidak untuk menambah akal budi.

Nasihat ini kemudian menjadi asumsi yang selalu dipakai Saleh ketika bekerja dengan orang lain. Meskipun ia butuh pekerjaan untuk bertahan hidup, namun bila pekerjaan itu hanya membutuhkan tenaganya, maka ia akan berusaha mencari pekerjaan lain yang tak sekedar membutuhkan tenaga, tetapi juga pikirannya.

Etika inilah yang membuat Saleh tak mau menjadi buruh selamanya. Dari buruh kasar ia pelan-pelan beralih menjadi buruh terampil. Usahanya untuk “menambah akal-budi” yaitu dengan belajar membaca dan menulis termasuk belajar mengaji. 
Meskipun sebagai buruh kasar waktu itu ia tak membutuhkan kemampuan membaca-menulis, tapi berkat etika hidup yang diajarkan oleh ayahnya, ia pun dengan kemampuan membaca-menulis dan kemudian berhitung berhasil menaikkan kualitas pekerjaannya dengan cara menjadi nahkoda perahu yang membawa komoditi dari Pariaman ke Sibolga yang saat itu membutuhkan kemampuan berhitung. Etika “bekerja dengan akal-budi” terus dipegang oleh Saleh sampai akhirnya ia berhasil mendirikan MDP.
Karena etika itu pulalah, ketika Muhammad Saleh sudah jadi saudagar, ia memperlakukan pekerjanya dengan cara yang berbeda pada zaman itu. Ia sengaja melakukan apapun bersama-sama dengan pekerjanya, bahkan tak jarang ia turun tangan membantu tugas pekerjanya bila kondisi-kondisi tertentu butuh tambahan orang. 
Ia juga menjaga hubungan baik dengan mereka, memberikan hak mereka tepat waktu dan sesuai hasil, bahkan kemudian banyak pekerjanya yang disuruhnya untuk mendirikan usaha sendiri-sendiri. Dengan kata lain, etika “bekerja dengan akal-budi” ini tak hanya dilakukannya sendiri ketika ia masih menjadi pekerja, tetapi juga dipraktikkannya kepada para pekerjanya di kemudian hari.
Selain itu, yang tak kalah penting dari etika dagang Muhammad Saleh ini adalah sistim “bagi hasil” yang diterapkannya. Saleh tidak menggunakan sistim upah atau gaji, melainkan melalui bagi hasil. Dengan sistim bagi hasil ini, bila usahanya sedang dapat laba besar, maka seluruh pekerjanya mendapat bagian yang juga lebih besar, tetapi bila laba sedang tipis, semua orang—termasuk Saleh sendiri—mendapat bagian yang sedikit juga. 
Cara-cara Saleh memperlakukan para pekerjanya inilah yang membuat banyak orang mau bekerja dengannya. Bahkan ia tak jarang harus menolak beberapa orang yang mendaftar ingin bekerja dengannya karena sudah terlalu banyak orang yang diterimanya.
Terakhir, Saleh adalah tipe pedagang yang tidak menyukai monopoli. Ia justru tipe pedagang yang membangun usahanya lewat cara berkongsi. Pariaman pernah menjadi daerah penghasil garam terbaik di abad 19. Tetapi akibat monopoli Belanda, rumah-rumah produksi garam milik rakyat diberangus. 
Waktu itu Saleh masih belum kuat usahanya, bahkan ia hanyalah pedagang kecil. Namun, ketika ia sudah mulai kuat, ia berhasil melawan monopoli Belanda dengan membalikkan produksi garam rakyat sehingga banyak penduduk yang mempunyai pekerjaan untuk itu. 
Selain itu, ketika terjadi lagi monopoli produksi dan distribusi minyak kelapa oleh pedagang lain di daerah pantai barat Sumatra, Saleh berusaha melawan praktik monopoli itu dengan cara menciptakan sumber-sumber produksi baru atas minyak kelapa itu melalui penyebaran produksinya ke masyarakat, sehingga kemudian monopoli yang dilakukan pedagang lain terhadap minyak kelapa bisa dikalahkan. 
Meski Saleh berkali-kali melakukan persaingan tajam dengan kompetitornya, tapi tak jarang ketika kompetitornya lemah, ia malah mengajak kompetitor tersebut bekerja sama, bahkan tak jarang kompetitornya berhasil dibuatnya sama-sama berjaya dengan dirinya.
Itulah sedikit contoh etika hidup sekaligus etika dagang yang bisa kita rekonstruksi dari perjalanan hidup Muhammad Saleh; prinsip hidup yang mengantarkan Muhammad Saleh mulai dari sebagai buruh sampai berhasil menjadi saudagar; prinsip hidup dari seorang tokoh di abad 19 yang sangat layak kita kontekstualisasikan ke kondisi masyarakat hari ini di abad 21. Jadi makin tahu Indonesia (*)
Sumber : 
- Artikel Minang Saisuak  oleh Suryadi Leiden, Belanda. berjudul Moehammad Saleh Datoek Orang Kaja Besar
buku: Saudagar Pariaman Menerjang Ombak Membangun Maskapai Penulis : Meztika Zed; Jakarta, 2017 ;Penerbit: Pustaka LP3S; ISBN : 978-602-7984-27-1

 

×
Kaba Nan Baru Update