Pasbana - Dalam sunyi yang dulu hanya didendangkan angin dan desir air batang, berdirilah tiga nama yang sampai kini masih bergaung di celah sejarah Payakumbuh.
Dalam sunyi yang dulu hanya didendangkan angin dan desir air batang, berdirilah tiga nama yang sampai kini masih bergaung di celah sejarah Payakumbuh: Jano Katik di Aia Tabik, Rajo Panawa di Titian Aka, dan Barabih Nasi di Kumbuah Nan Payau. Atau, sebagaimana berkembang versi lainnya: Jeno Kati, Rajo Pandawa, dan Prabu Nasti.
Payakumbuh hari ini—dengan ratusan ribu penduduk dan riuh rendah kulinernya yang mendunia—nyatanya pernah senyap.
Sebuah lembah yang disebut Kumbuah Nan Payau menjadi saksi bisu awal langkah tiga penghuni pertama yang disebut masyarakat adat sebagai Tigo Niniak, nenek moyang masyarakat asli Payakumbuh sebelum datangnya rombongan 50 Kaum dari Pariangan.
Asal Usul yang Bersilang Makna: Nama, Hikayat, dan Warisan
Di balik nama-nama yang tampak jenaka dan menyentil telinga orang sekarang, tersimpan simpul sejarah dan tafsir yang berlapis-lapis. Perdebatan tentang mana yang benar—Barabih Nasi atau Prabu Nasti, Jano Katik atau Jeno Kati—bukan soal semata-mata kesalahan lidah, tapi juga bagaimana sejarah diwariskan dari mulut ke mulut dalam tradisi lisan Minangkabau yang panjang dan kadang saling berbantah.Menurut Syamsir Alamsyah Dt Marajo Indo Mamangun, "Barabih Nasi" dianggap janggal karena istilah 'nasi' belum dikenal pada masa itu. Ia lebih condong pada “Prabu Nasti” sebagai bentuk lebih arkais.
Namun, masyarakat adat Koto Nan Gadang, yang lebih dekat dengan situs sejarahnya, bersikukuh dengan versi Barabih Nasi. Bahkan, mereka menunjukkan bekas istana Barabih Nasi di Balai Cacang sebagai bukti konkret keberadaan tokoh ini.
Cerita di Balik Nama: Jenaka, Namun Menggigit
Mari kita bayangkan sebentar.Barabih Nasi, apakah ia ahli jamuan yang suka 'barabih' (habis) makan nasi?
Rajo Panawa, adakah ia raja yang membawa penawar damai di masa awal permukiman?
Dan Jano Katik, mungkinkah ia ‘orang pendek’ yang lincah dan lihai membaca tanda alam?
Dalam idiom Minangkabau, nama bukan sekadar penanda identitas. Nama adalah cermin karakter, petunjuk perangai, bahkan kadang satir penuh seloroh.
Ini mengingatkan kita pada "nan lucu bisa jadi pelajaran, nan nampak kecil bisa jadi tuah". Masyarakat Minang terbiasa menyisipkan makna dalam kelakar.
Kawasan Sakral: Aia Tabik, Titian Aka, dan Payau Nan Kumbuah
Ketiga tempat ini bukan sekadar titik geografis—mereka adalah bentang spiritual, pusat-pusat awal tapak kaki sejarah Payakumbuh. Aia Tabik, dengan mata airnya yang jernih dan disakralkan, masih dikenal hingga kini sebagai tempat bermandi adat. Titian Aka, menegaskan pentingnya jembatan komunikasi antarpemukim.Sementara Kumbuah Nan Payau mengandung kesan misterius dan kuat dalam ingatan masyarakat setempat.
Kini, kawasan-kawasan itu telah bersalin rupa, namun jejaknya masih nyata dalam ingatan kolektif masyarakat. Anak-anak masih diberi tahu agar "jangan mancaliak baraja karambia" saat bermain di dekat Aia Tabik, pertanda bahwa warisan tetap hidup dalam bentuk tutur.
Relevansi di Masa Kini: Dari Sejarah ke Jati Diri
Apa pentingnya membicarakan Tigo Niniak hari ini, saat Payakumbuh sudah menjadi kota kuliner, dan generasi mudanya lebih mengenal TikTok daripada Titian Aka?Jawabannya sederhana: Identitas.
Di tengah derasnya arus zaman, mengenali asal-usul adalah upaya menambatkan akar. Seperti pepatah: "Pohon nan kuat, akarnyo dalam, buahnyo manis." Anak Payakumbuh yang mengenali kisah Jano Katik atau Barabih Nasi akan merasa memiliki tanah tempat mereka berpijak. Ini bukan sekadar cerita, tapi fondasi kebudayaan.
Maka, kisah tiga penghuni pertama Payakumbuh bukan sekadar legenda, tetapi pelajaran bahwa kita semua adalah hasil dari jejak orang-orang yang dulu berani memijak tanah kosong dan menyebutnya rumah.
Filosofi Hidup Minang: Bertuah dalam Humor, Bijak dalam Petatah
Di Minangkabau, cerita leluhur tak pernah garing. Selalu ada jenaka di balik bijak. Bahkan ketika membahas soal asal muasal, masyarakat adat tetap menyisipkan satir dan seloroh yang menggigit. "Kalau Barabih Nasi, kok namonyo barabih mulu makan?" – celetukan semacam ini justru membuat kisah lebih hidup, lebih membumi.Namun, di sanalah letak keunikan budaya Minangkabau: mengemas kearifan dalam kelakar, dan menyampaikan nilai dalam narasi yang tak menggurui.
Menjaga Api di Bara Sejarah
Menelusuri kisah Tigo Niniak di Payakumbuh bukan untuk menghidupkan masa lalu yang telah jadi abu, tapi untuk menjaga apinya tetap menyala. Kisah ini bukan tentang siapa yang paling benar dalam menyebut nama, tapi bagaimana sejarah itu tetap hidup, menyentil kesadaran kita akan pentingnya asal-usul dan jati diri. Makin tahu Indonesia."Nan lamak indak harus baru, nan baru indak semua barubah. Jo carito niniak, kito manapak jalan baru."
(*)