Pasbana - Perang dagang antara Amerika Serikat dan China telah menjadi salah satu faktor utama yang mengguncang perekonomian global dalam beberapa tahun terakhir. Dari harga barang-barang elektronik hingga mobil, efeknya terasa di kantong kita semua.
Kini, muncul secercah harapan lewat kesepakatan kerangka (framework) perdagangan terbaru. Tapi, benarkah ini solusi jangka panjang atau hanya jeda sementara?
Latar Belakang: Angin Segar dari London
Pada Selasa (10/6), pemerintah AS dan China mengumumkan bahwa mereka telah mencapai sebuah framework agreement baru yang dihasilkan setelah negosiasi intensif di London. Meski masih menunggu lampu hijau dari masing-masing presiden, kesepakatan ini memberi sinyal positif terhadap arah hubungan dagang dua raksasa ekonomi dunia yang selama ini sering bersitegang.Howard Lutnick, Menteri Perdagangan AS, menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut mencakup percepatan ekspor logam rare earth dan magnet dari China ke AS, yang krusial untuk industri otomotif dan pertahanan. Di sisi lain, AS akan melonggarkan ekspor sejumlah komoditas ke China—meski belum dijelaskan secara detail.
Apa Itu Rare Earth dan Mengapa Penting?
Rare earth elements adalah kelompok logam yang digunakan dalam berbagai perangkat teknologi tinggi—dari smartphone hingga jet tempur. China menguasai sekitar 70% produksi global logam ini. Ketika ekspor rare earth dipercepat, industri AS seperti Tesla dan Boeing bisa bernapas lebih lega.Analogi sederhananya: bayangkan rare earth seperti “rempah teknologi modern”. Kalau aliran rempah ini tersumbat, dapur teknologi dunia bisa kelaparan.
Dampak Langsung ke Ekonomi Global: Masih Abu-abu
Meski terdengar menjanjikan, framework ini belum sepenuhnya menenangkan pasar. Reaksi pasar keuangan pun tergolong muted. Berikut ini datanya:S&P 500 Futures: turun -0,28%
SSE (Shanghai Composite): naik +0,52%
EuroStoxx 50: turun -0,22%
DXY (Indeks Dolar AS): flat di +0,03%
Kenapa pasar tidak antusias? Karena detailnya masih sangat minim dan kesepakatan belum final. Ibarat undangan pernikahan yang sudah disebar, tapi pengantinnya belum tentu hadir.
China: Luka Dalam dari Perang Dagang
China saat ini berada dalam tekanan ekonomi yang tidak kecil. Indikator PMI manufaktur jatuh ke level 48,3 pada Mei 2025, angka terendah sejak September 2022. Angka di bawah 50 menandakan kontraksi aktivitas industri.Tak hanya itu, China mengalami deflasi -0,1% YoY selama 4 bulan berturut-turut. Artinya, harga barang terus turun, yang biasanya mencerminkan permintaan lemah—sebuah tanda bahwa konsumen dan bisnis sedang berhati-hati.
Apa Artinya untuk Indonesia dan Negara Berkembang?
Sebagai negara yang ekonominya sangat bergantung pada ekspor dan kestabilan global, Indonesia sangat berkepentingan terhadap arah hubungan dagang AS-China.Stabilitas Harga Komoditas
Jika ketegangan menurun, harga komoditas seperti nikel, batu bara, dan CPO bisa lebih stabil.
Ketahanan Rantai Pasok
Komponen elektronik dari China menjadi lebih lancar, berdampak positif bagi industri manufaktur dalam negeri.
Sentimen Pasar Saham
Investor global cenderung lebih berani mengambil risiko, yang bisa mendorong aliran modal masuk ke negara berkembang seperti Indonesia.
Tips bagi Pembaca
Bagi Anda yang bekerja di sektor ekspor-impor, investasi, atau manufaktur, berikut beberapa langkah bijak yang bisa diambil:Diversifikasi Risiko: Jangan terlalu bergantung pada satu mitra dagang (misal, China atau AS saja).
Pantau PMI dan Harga Komoditas: Dua indikator ini bisa jadi kompas untuk melihat arah ekonomi global.
Gunakan Momentum untuk Hedging: Jika Anda pelaku bisnis yang rawan terkena gejolak harga, gunakan instrumen lindung nilai (hedging) yang tersedia.
Babak Baru, Tapi Belum Final
Framework ini memang membuka jalan menuju meredanya tensi AS-China, tetapi belum cukup kuat untuk disebut “kesepakatan final.” Seperti menonton trailer film yang menjanjikan, kita tetap harus menunggu penayangan penuh—dalam hal ini, persetujuan dari Presiden AS dan China.Pasar akan menunggu aksi nyata, bukan sekadar kata-kata manis dari podium diplomatik. (*)