Notification

×

Iklan

Iklan

"Kita Perempuan Ini Pasti Kuat": Pelajaran dari Nurul Iman dan Umi Waheedah

30 Juni 2025 | 11:30 WIB Last Updated 2025-06-30T04:30:32Z
 


Oleh: Dr. Derliana, M.A
Mudir Pesantren KAUMAN Muhammadiyah Padang Panjang Sumbar 

Pasbana - Saat kaki ini pertama kali menginjakkan langkah ke Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, saya tidak hanya disambut oleh suasana sejuk khas pesantren, tetapi juga oleh semangat yang hangat dan mendalam—semangat perjuangan seorang perempuan yang namanya sudah sering saya dengar dalam berbagai forum: Umi Waheedah. Sosok perempuan kuat, inspiratif, dan penuh cinta dalam mendidik, memberdayakan, dan merangkul ribuan santri dari penjuru negeri.

Kunjungan kami hari itu bukan sekadar studi tiru. Kami datang membawa kerinduan untuk belajar dari pesantren yang hidup dari kemandirian ekonomi, menyelenggarakan pendidikan 100% gratis, dan dipimpin oleh seorang perempuan tangguh yang bukan berasal dari latar belakang keilmuan agama secara formal, tetapi dari Psikologi dan komunikasi.

Sebagai pimpinan Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang, saya telah terbiasa menghadapi dinamika pendidikan Islam: kekurangan dana, keterbatasan tenaga, beban administratif, dan harapan masyarakat yang tak pernah surut. Tapi hari itu, saya belajar satu hal penting: niat yang kuat, amanah yang dijaga, dan cinta yang konsisten, bisa menjadi kekuatan yang menghidupkan ribuan jiwa.

Jejak Langkah Perempuan dari Singapura


Umi Waheedah bukan sosok biasa. Lahir di Singapura dari ayah Melayu dan ibu Indonesia, beliau adalah lulusan Psikologi Universitas Indonesia dan London School of Public Relations. Bukan dari pesantren, bukan dari fakultas syariah, dan tidak memakai gelar “ustazah”—namun hari ini, ia menjadi Ibu dari 15.000 santri dan pemimpin dari 70 unit usaha pesantren yang menopang kehidupan ribuan anak bangsa tanpa dipungut bayaran.

“Awalnya saya tidak siap,” kata beliau kepada kami dengan jujur. “Saya bukan ahli agama, bukan habib seperti suami saya. Tapi ini amanah. Dan saya harus jalankan.” Kalimat itu menohok hati saya. Sebab saya tahu, di balik kalimat sederhana itu, ada pengorbanan, air mata, dan malam-malam penuh doa.

Setelah wafatnya Habib Saggaf bin Mahdi pada tahun 2010, sang pendiri pesantren, Umi melanjutkan seluruh perjuangan ini. Beliau tidak hanya melanjutkan, tapi mengembangkan. Dari 24 unit usaha saat Habib wafat, kini menjadi lebih dari 70 unit usaha produktif. Dari sebuah harapan, kini menjadi kenyataan besar yang membanggakan.

Kemandirian yang Membebaskan


Dalam dunia pesantren, pendidikan gratis seringkali hanya sebatas idealisme. Tapi Nurul Iman menjadikannya kenyataan. Semua santri mendapatkan makan, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan umum dan agama, tanpa sepeserpun membayar. “Kenapa harus gratis?” tanyaku.

“Karena dulu anak-anak pertama yang belajar di sini adalah anak-anak Aceh dan Timor Timur yang tidak punya apa-apa. Masa mereka harus bayar untuk menuntut ilmu?” jawab Umi. Pesantren ini hadir untuk membantu anak2 tak berdaya. Di titik ini, saya tersadar: pesantren ini dibangun bukan di atas strategi bisnis, tapi di atas cinta dan kasih sayang kepada anak-anak bangsa yang tersisih.

Model pendanaan pesantren ini bertumpu pada social entrepreneurship—unit usaha pesantren dikelola dengan prinsip koperasi, produktif, dan partisipatif. Ada pabrik roti, pembuatan pupuk organik, toko serba ada, percetakan, pertanian, peternakan, bahkan pengolahan sampah daur ulang. Semuanya dikelola oleh para santri dan alumni, dengan semangat gotong royong dan tanggung jawab sosial. Tidak ada utang. Tidak ada sponsor asing. Hanya niat dan kerja keras.

Perempuan dan Kepemimpinan Spiritual


Di ruang pertemuan yang luas, Umi Waheedah menyapa kami dengan lembut, penuh senyum, dan rendah hati. Tapi ketegasan dan ketelitian dalam manajemen beliau sangat terasa. Beliau tahu semua angka. Beliau paham semua alur. Beliau hafal semua prinsip. Ini bukan hanya figur kharismatik—tapi pemimpin yang membumi.

Dan ketika rombongan kami pamit pulang, beliau menggenggam tangan saya dan membisikkan kata-kata yang menyejukkan:

"Umi Doktor, semangat ya sayang. Kita perempuan ini pastilah orang yang kuat. Aku tahu kamu banyak mengalami masalah dalam pimpin pesantren Kauman ini. Tapi saya akan bantu."

Kata-kata itu menggetarkan. Di tengah semua tantangan yang kadang membuat saya ingin menyerah, ada seorang Umi Waheedah yang pernah mengalami lebih berat, tapi tetap tegar dan penuh cinta. Bagi saya, kalimat itu bukan hanya empati sesama perempuan—tapi doa dan kekuatan spiritual yang menyalur diam-diam, mendalam.

Belajar dari Nurul Iman: Jalan Menuju Islam Berdaya


Dunia pendidikan Islam hari ini butuh contoh nyata, bukan hanya teori. Butuh pesantren yang mandiri bukan dari proposal, tapi dari wirausaha. Butuh pimpinan yang bukan hanya bisa berfatwa, tapi juga bisa menyingsingkan lengan dan turun tangan.

Pesantren Nurul Iman membuktikan bahwa Islam adalah agama pemberdayaan, bukan ketergantungan. Pendidikan yang gratis bukan berarti murah—tapi hasil dari keberkahan dan niat yang tulus. Ekonomi mandiri bukan sekadar target bisnis, tapi cara menjaga harga diri dan menjauhkan lembaga Islam dari ketergantungan struktural.

Dan Umi Waheedah membuktikan bahwa perempuan, bahkan yang tidak pernah bercita-cita memimpin pesantren, bisa menjadi sumbu perubahan jika ia memimpin dengan hati dan niat lillahi ta‘ala.

Refleksi untuk Kita Semua


Kita sering mengeluhkan tentang kekurangan dana di pesantren. Tapi hari ini saya belajar bahwa masalah sebenarnya bukan kurang dana—tapi kurang daya. Daya berpikir. Daya berkreasi. Daya berani. Daya mencintai. Dan Umi Waheedah menunjukkan semua itu dalam satu sosok perempuan.

Saya pulang dari Nurul Iman bukan hanya dengan catatan teknis atau model manajemen. Saya pulang dengan semangat baru sebagai perempuan pemimpin pesantren. Saya tahu jalan ini berat, tidak semua orang memahami, dan kadang kita merasa sendirian. Tapi ada perempuan seperti Umi Waheedah yang telah membuktikan bahwa kita bisa.

Penutup: Perempuan, Cinta, dan Cahaya


Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman:

"Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik, maka itulah yang akan ia dapatkan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Saya percaya, prasangka baik dan niat suci itulah yang membuat Nurul Iman terus hidup dan berkembang. Dan saya percaya, cinta Umi Waheedah kepada amanah suaminya, kepada santri-santrinya, kepada umat, dan kepada Allah—itulah bahan bakar utama dari semua keajaiban ini.

Maka hari ini, saya tuliskan kisah ini untuk siapa saja yang sedang lelah memimpin lembaga, sedang ragu meneruskan perjuangan, atau sedang sendiri dalam jalan sunyi perjuangan pendidikan. Ingatlah, kita perempuan ini pasti kuat. Karena kita memimpin bukan dengan ambisi, tapi dengan cinta.

Terima kasih, Umi Waheedah. Terima kasih, Nurul Iman. Saya belajar bukan hanya tentang manajemen, tapi tentang iman, keikhlasan, dan cinta yang menghidupkan.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update