Pasbana - Konflik berkepanjangan antara Iran dan Israel kembali menyita perhatian dunia. Rudal beterbangan, media sosial penuh dukungan dan kutukan, sementara sebagian umat Muslim malah sibuk bertanya: "Haruskah kita ikut berpihak? Dan jika iya, berpihak kepada siapa?"
Sebagian memilih diam, sebagian bersuara lantang, dan tak sedikit yang justru bingung. Apalagi ketika pernyataan-pernyataan religius mulai beredar: ada yang menolak mendukung keduanya karena dianggap tidak merepresentasikan Islam secara utuh, ada juga yang mengambil sikap berbeda, merujuk pada sejarah Islam itu sendiri.
Lalu, Bagaimana Seharusnya Seorang Muslim Bersikap?
Isu ini bukan hanya soal geopolitik. Ini tentang nilai, iman, dan nurani. Dalam konteks keislaman, dua prinsip penting muncul: al-wala' wa al-bara' — cinta dan loyalitas terhadap keimanan, dan pemutusan dari kekufuran.Namun seperti banyak ajaran lain, prinsip ini bukan untuk dipahami secara hitam-putih. Dalam sejarah Islam, ada contoh menarik yang bisa memberi perspektif lebih luas.
Kilas Balik Sejarah: Saat Muslim Mendukung Kristen
Surah al-Rum dalam Al-Qur’an mengabadikan momen saat Kekaisaran Romawi (yang beragama Kristen) dikalahkan Persia (Majusi) — tapi kemudian menang kembali. Yang menarik, umat Islam saat itu bersuka cita atas kemenangan Romawi, bukan karena mereka Kristen, tapi karena mereka lebih dekat kepada tauhid dibanding Persia penyembah api.
Imam al-Tabari dan Ibnu Kathir sepakat bahwa saat itu, dukungan umat Islam kepada Romawi didasari kedekatan nilai ketuhanan, bukan kesamaan agama secara mutlak. Bahkan tokoh modern seperti Sayyid Qutb menyatakan bahwa kegembiraan ini muncul dari hubungan iman, bukan sekadar identitas kelompok.
Iran vs Israel: Apakah Kasusnya Sama?
Mari kita perjelas.
Iran, meski mayoritas Syiah, tetap mengakui syahadah. Mereka berpuasa, salat, dan menentang keras Zionisme. Menurut pandangan mayoritas ulama Sunni seperti Dr. Yusuf al-Qaradawi dan Syaikh Salman al-Awdah, Syiah tidak otomatis keluar dari Islam, kecuali yang sudah sampai derajat ekstrem (ghuluw).
Iran, meski mayoritas Syiah, tetap mengakui syahadah. Mereka berpuasa, salat, dan menentang keras Zionisme. Menurut pandangan mayoritas ulama Sunni seperti Dr. Yusuf al-Qaradawi dan Syaikh Salman al-Awdah, Syiah tidak otomatis keluar dari Islam, kecuali yang sudah sampai derajat ekstrem (ghuluw).
Sementara Israel secara jelas bersandar pada ideologi Zionisme, yang secara terbuka memusuhi umat Islam, menduduki Palestina, dan menyerang Masjid Al-Aqsa.
Dalam hal ini, pilihan logis bagi umat Islam menjadi lebih terang: bukan karena cinta kepada satu kelompok, tapi karena keadilan dan kemanusiaan.
Ulama Bicara: Dari Ibnu Taymiyyah Sampai Al-Qaradawi
Pandangan moderat dari ulama-ulama besar memberi kita pijakan.Syaikh Salman al-Awdah mengatakan, “Jika ada Muslim yang dizalimi, maka wajib menolongnya, meskipun dia pendosa.”
Dr. Yusuf al-Qaradawi tegas: “Iran, meski Syiah, tetap lebih pantas didukung daripada Zionis yang terang-terangan memusuhi Islam.”
Ibnu Taymiyyah, ulama klasik yang sangat dihormati, menekankan pentingnya berpihak pada kebenaran meskipun dua kelompok Muslim sedang berkonflik.
Bahkan Dr. Muhammad al-Arifi, ulama kontemporer yang dikenal sangat kritis terhadap Syiah, pernah menulis saat Gaza diserang Israel:
“Jika roket dari Syiah menghantam Tel Aviv dan menyelamatkan Gaza, saya akan berdoa untuk mereka, meskipun saya tidak setuju dengan akidah mereka.”
Bersikap dengan Hati dan Hikmah
Pada akhirnya, ini bukan tentang siapa lebih suci, tapi siapa yang lebih menindas. Prinsip al-wala’ wa al-bara’ tak semestinya jadi dalih untuk membiarkan umat yang tertindas tanpa dukungan.Mendukung Iran dalam konteks perlawanan terhadap Israel bukan berarti menyetujui seluruh akidah Syiah, tapi lebih pada keberpihakan terhadap pihak yang lebih teraniaya, sebagaimana prinsip Islam tentang keadilan.
Tentu, semua dengan syarat: dukungan itu tidak menyebabkan kerusakan baru, tidak membutakan nurani, dan tetap mempertahankan keyakinan.
Catatan Akhir: Lihat Kebenaran, Bukan Sekadar Kelompok
Dalam dunia yang serba kompleks ini, fanatisme buta hanya akan menambah luka. Yang kita perlukan adalah ketajaman nurani dan kebijaksanaan iman.
Seperti kata ulama, “Jangan lihat siapa yang bicara, tapi lihat apa yang ia katakan.”
Dan dalam konflik ini, mari kita berpihak — bukan pada label, tapi pada kebenaran dan kemanusiaan. (*)
Oleh: Tim Redaksi