Notification

×

Iklan

Iklan

Mengenal “Bahasa Tubuh” Saat Sakit: Antara Ilham Alami dan Sentuhan Medis

13 Juni 2025 | 08:01 WIB Last Updated 2025-06-13T02:08:49Z
Foto.Ai


Pasbana - Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa saat tubuh kelelahan, kita secara naluriah mencari posisi paling nyaman untuk beristirahat? Atau ketika lapar, tubuh langsung memberi sinyal untuk makan, tanpa perlu resep dokter?

Ternyata, di balik kesederhanaan itu, ada sistem pengobatan alami yang sudah terpasang rapi dalam tubuh manusia—dan bahkan binatang!

Konsep ini bukanlah hal baru. Dalam khazanah pengobatan klasik, dikenal dua pendekatan besar dalam menyikapi penyakit jasmani: pengobatan alami (fitrah) dan pengobatan medis berbasis analisis dan diagnosa.


1. Fitrah Tubuh: Ilham dari Sang Pencipta


Tubuh manusia, sebagaimana makhluk lainnya, dianugerahi kemampuan untuk mengenali dan merespon kondisi dasarnya. Ketika haus, kita minum. Saat kedinginan, kita mencari kehangatan. Ini adalah bentuk pengobatan alami yang tidak memerlukan tenaga medis, namun sangat efektif karena sejalan dengan sistem tubuh itu sendiri.

“Tubuh punya bahasa sendiri,” ujar Dr. Pandu Riono, epidemiolog dari Universitas Indonesia 
. “Jika kita peka terhadap sinyal itu, banyak keluhan ringan bisa tertangani tanpa perlu antibiotik atau obat keras.”

2. Ketika Butuh Tangan Dokter

Namun tak semua bisa diselesaikan dengan air putih atau tidur cukup. Ada kalanya tubuh mengalami gangguan metabolisme, demam tinggi, atau komplikasi karena infeksi. Di sinilah pengobatan berbasis diagnosa diperlukan. 

Melibatkan observasi, tes laboratorium, hingga terapi medis, pendekatan ini menyasar penyakit fisik maupun penyakit kondiktif—istilah yang merujuk pada dampak penyakit yang masih membekas di sistem tubuh meski penyebab utamanya telah hilang.

Contohnya, seseorang yang pernah mengalami tifus mungkin pulih, tapi sistem pencernaannya tetap sensitif hingga butuh penyesuaian jangka panjang.


3. Ketidakseimbangan: Kunci dari Banyak Penyakit

Menurut prinsip kedokteran klasik yang juga dikenal dalam pengobatan Yunani (Thibbun Nabawi), penyakit muncul akibat gangguan keseimbangan unsur dalam tubuh. Ada delapan kategori kondisi tubuh yang jadi tolak ukur: panas, dingin, lembab, kering, serta variasi kombinasi dari keempatnya.

Kondisi ekstrem seperti panas-lembab atau dingin-kering bisa menyebabkan metabolisme terganggu. Misalnya, hawa panas-lembab yang ekstrem sering dikaitkan dengan kelelahan berat, dehidrasi, atau munculnya jerawat dan infeksi kulit.

Pendekatan ini mirip dengan prinsip dalam pengobatan tradisional Tiongkok (TCM) yang mengenal unsur yin-yang dan lima elemen tubuh, serta Ayurveda dari India yang menyeimbangkan tiga dosha: vata, pitta, dan kapha.

4. Tubuh, Organ, dan Relasi Rahasia di Dalamnya

Tubuh kita ibarat orkestra: semua organ harus bergerak selaras. Gangguan kecil di satu bagian bisa berdampak besar. Misalnya, pergeseran posisi organ (dislokasi ringan) atau penyempitan pembuluh darah dapat menimbulkan reaksi berantai—pusing, mual, atau gangguan hormonal.

Kondisi ini sering tidak kasat mata, namun bisa terdeteksi dari perubahan kecil: warna kulit, suhu tubuh, denyut nadi, atau bahkan bentuk kuku. Maka, penting untuk mendengarkan sinyal-sinyal kecil dari tubuh sebelum terlambat.

5. Peran Dokter: Antara Ilmu dan Kebijaksanaan

Dalam konteks ini, seorang dokter tak sekadar "pengobat", melainkan penyeimbang unsur dalam tubuh. Mereka menganalisis zat apa yang perlu dikurangi atau ditambah agar sistem kembali seimbang.
“Dokter yang baik itu tahu kapan harus memberi obat, kapan harus membiarkan tubuh bekerja sendiri,” kata dr. Rina Sadikin, praktisi pengobatan integratif di Bandung.

Lebih jauh, banyak warisan pengobatan dari Nabi Muhammad SAW yang bisa jadi referensi. Misalnya penggunaan habbatussauda (jinten hitam), madu, dan berbekam. Dalam hadis riwayat Bukhari, disebutkan: "Sesungguhnya dalam habbatussauda terdapat obat bagi segala penyakit, kecuali kematian."

Namun para ulama dan ahli kesehatan sepakat, metode ini harus digunakan dengan ilmu dan pemahaman medis modern agar hasilnya optimal. “Tuntunan Nabi bukan bertentangan dengan ilmu kedokteran modern, tapi bisa menjadi pelengkap,” ujar Prof. Dr. Hani Ar-Rahib, pakar Thibbun Nabawi asal Mesir.

6. Kesehatan Itu Dinamis

Tubuh kita tidak hanya dua kondisi: sehat dan sakit. Ada juga zona abu-abu: setengah sehat, setengah tidak. Biasanya terjadi ketika daya tahan tubuh menurun, tapi belum cukup parah untuk disebut sakit. Pada tahap ini, perhatian ekstra, istirahat cukup, dan asupan gizi menjadi ‘obat’ terbaik.

Akhir Kata: Dengarkan Tubuhmu

Di zaman modern ini, kita punya segudang alat canggih dan dokter-dokter hebat. Namun, jangan abaikan kebijaksanaan tubuh yang telah diilhamkan sejak kita lahir. Mendengarkannya, merawatnya, dan menyelarasinya dengan ilmu pengetahuan dan spiritualitas adalah jalan menuju hidup sehat yang hakiki.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update