Pasbana - Langit masih pekat. Jam belum menunjukkan pukul empat pagi. Tapi di beberapa sudut dunia Islam dulu—Madinah, Kufah, Basrah, bahkan Yaman—ada sekelompok manusia tangguh yang justru sedang bersiap: bukan untuk mengejar dunia, tapi mengejar cahaya.
Bukan sekadar bangun pagi, mereka justru memilih hidup dalam denyut fajar.
Mereka disebut tabiin—generasi setelah para sahabat Nabi Muhammad SAW. Dan subuh bagi mereka bukan sekadar waktu salat pertama, melainkan arena spiritual paling sakral.
Tempat mental dan iman diasah, dan tempat sejarah-sejarah kecil tumbuh jadi kisah abadi.
"Barangsiapa salat subuh berjamaah, seakan ia salat semalam suntuk"
(HR. Muslim)
Hadis ini bukan sekadar teks, melainkan napas yang menjiwai para tabiin. Salah satunya Sa’id bin Musayyab, seorang ulama besar Madinah. Ia lebih rela kakinya bengkak karena berjalan cepat ke masjid setiap pagi, daripada ketinggalan takbir pertama.
"Allah bersumpah demi fajar," katanya pada putrinya. "Aku tak ingin tertinggal dari sumpah Tuhan-ku."
Dan ini bukan drama spiritual belaka. Sa’id benar-benar tidak pernah absen dari takbiratul ihram salat subuh selama empat dekade.
Bayangkan: 40 tahun tanpa telat satu rakaat pun. Ini bukan disiplin biasa. Ini semacam cinta yang berakar dari keyakinan mendalam—bahwa fajar adalah waktu paling jujur antara manusia dan Tuhan.
Debu Lebih Mulia dari Permadani
Satu kali, Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang mendengar kesungguhannya, ingin membuatkan jalan khusus agar ia tak lelah dan berdebu.
Tapi Sa’id menjawab halus dan dalam, "Debu di jalan menuju Allah lebih mulia dari permadani istana."
Dan memang begitulah ia hidup—rendah hati tapi penuh keyakinan. Bahkan ketika ajal mendekat, dibunuh oleh algojo Hajjaj bin Yusuf, Sa’id masih sempat berkata:
"Saat paling khusyuk dalam hidupku adalah langkah-langkah menuju subuh."
Lilin yang Tak Pernah Padam
Setiap malam, sebelum fajar, ia menyalakan lilin dan menulis tafsir. Ketika muridnya bertanya kenapa ia tak tidur, ia menjawab:
"Bagaimana aku bisa menafsirkan ayat ‘Demi fajar’ jika mataku malah tertutup?"
"Bagaimana aku bisa menafsirkan ayat ‘Demi fajar’ jika mataku malah tertutup?"
Dari semangat ini lahirlah Tafsir Al-Basri, salah satu tafsir tematik pertama dalam sejarah Islam—yang mengupas al-Quran dari sisi kehidupan sosial, akhlak, dan spiritualitas. Tafsir ini menjadi warisan intelektual yang terus dikaji hingga kini.
Catatan Fajar dari Yaman
Diari subuhnya mencatat:
"Tiga hal yang mengguncangku setiap pagi: rintihan istighfar Umar bin Khattab, tangisan Nabi saat membaca al-Quran, dan suara angin yang membawa tasbih pepohonan."
"Tiga hal yang mengguncangku setiap pagi: rintihan istighfar Umar bin Khattab, tangisan Nabi saat membaca al-Quran, dan suara angin yang membawa tasbih pepohonan."
Bagi Thawus, malam bukan waktu lelap, tapi ruang untuk merenung, berzikir, dan membangun kesadaran. Ketika anaknya bertanya kenapa ia tak pernah tidur setelah lewat sepertiga malam, ia menjawab:
"Bagaimana aku terlelap sementara malaikat Raqib dan Atid tak pernah berkedip?"
Puisi Fajar Sang Sufi
Salah satu syair terkenalnya menyentil hati yang lengah:
"Wahai jiwa yang zalim lagi sombong karena merasa akan diampuni,
Bukankah dosa-dosa itu datang pagi dan petang?"
"Wahai jiwa yang zalim lagi sombong karena merasa akan diampuni,
Bukankah dosa-dosa itu datang pagi dan petang?"
Rabiah mengingatkan kita bahwa fajar bukan hanya soal bangun pagi, tapi soal jujur pada diri sendiri.
Warisan untuk Zaman Sekarang
"Aku mewarisi tiga mutiara dari para tabiin: keteguhan kaki Sa’id bin Jubair, kesetiaan pena Hasan al-Bashri, dan mata Thawus yang waspada terhadap fajar."
Fajar, bagi mereka, bukan sekadar transisi malam ke pagi. Tapi waktu terbaik untuk menempa peradaban. Di saat dunia masih sepi, di saat udara masih jernih, dan pikiran belum terkontaminasi—mereka memilih hadir di hadapan Tuhan.
Mereka tidak menunggu dunia memberi terang, mereka yang datang mengejar cahaya lebih dulu.
Refleksi untuk Kita Hari Ini
Sebuah studi dari University of Toronto (2012) menyebutkan bahwa orang yang bangun lebih pagi cenderung lebih bahagia dan produktif.
Selain itu, salat subuh terbukti memberikan manfaat fisiologis, dari kestabilan ritme sirkadian tubuh, hingga peningkatan kadar hormon endorfin yang memperbaiki suasana hati.
Dalam Islam sendiri, waktu subuh disebut dalam banyak ayat, termasuk QS. Al-Isra: 78:
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan salat Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
Menjadi Pemburu Fajar
Karena pada akhirnya, cahaya—baik itu iman, inspirasi, maupun kejernihan berpikir—hanya diwariskan kepada mereka yang bangkit sebelum fajar, bukan kepada yang tertawan bantal.
Kota bisa runtuh. Peradaban bisa berubah. Tapi jejak para pemburu fajar akan tetap abadi di dinding waktu. (*)