Padang, pasbana — Siapa bilang semarak perayaan ulang tahun kota harus selalu digelar di pusat perbelanjaan atau panggung megah? Di Padang, cara merayakannya jauh lebih “basah”—dan justru itulah daya tariknya.
Lewat “Selaju Sampan”, semangat warga tumpah ruah di atas aliran Batang Arau, seolah mengajak kita kembali menelusuri jejak sejarah Kota Padang dari sisi paling otentik: sungainya.
Memasuki usia ke-356 tahun pada Agustus 2025, Pemerintah Kota Padang kembali menghidupkan semangat kebersamaan lewat ajang lomba dayung tradisional “Selaju Sampan” yang akan digelar mulai 7 hingga 10 Agustus 2025, setiap sore pukul 15.00 hingga 18.00 WIB.
Lokasinya tak lain adalah Batang Arau, kawasan Seberang Palinggam, salah satu titik bersejarah dan saksi bisu geliat perdagangan di masa lalu.
“Kita ingin HJK (Hari Jadi Kota) tahun ini benar-benar dirasakan masyarakat. Selaju Sampan bukan hanya lomba, tapi perayaan kebudayaan,” kata Didi Aryadi, Asisten II Setdako Padang sekaligus Ketua Panitia HJK 2025, Jumat (18/7).
Selaju Sampan bukan sekadar lomba mendayung. Ia adalah warisan budaya yang sempat tenggelam, lalu dibangkitkan kembali dengan semangat pelestarian.
Mengutip catatan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kota Padang, Selaju Sampan sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda, bahkan disebut-sebut telah berlangsung sebelum tahun 1930-an.
Sayangnya, perhelatan ini sempat vakum pada 1938 akibat pecahnya Perang Dunia Kedua.
Saat itu sudah berdiri klub dayung legendaris bernama Seberang Palinggam Sejati (SPS). Klub ini menjadi pionir dan simbol kekompakan warga di kawasan pelabuhan.
Saat itu sudah berdiri klub dayung legendaris bernama Seberang Palinggam Sejati (SPS). Klub ini menjadi pionir dan simbol kekompakan warga di kawasan pelabuhan.
Format perlombaan masa itu sangat menarik: satu sampan diisi oleh 12 orang pendayung, menempuh lintasan sekitar 500 meter di atas Batang Arau. Uniknya, garis finish bukan berupa bendera, tapi labu-labu yang digantung di atas sungai. Si pendayung paling depan yang berhasil menyentuh labu dengan dayungnya, dinyatakan sebagai pemenang.
Agar perlombaan berjalan lancar, Pemko Padang melalui Dinas PUPR melakukan pengerukan sungai Batang Arau. Sedimen dan lumpur di dasar sungai dibersihkan menggunakan ekskavator, demi menciptakan jalur yang aman dan bersih bagi para pendayung.
“Kami ingin memastikan peserta nyaman, dan penonton bisa menikmati lomba dengan leluasa. Ini bukan hanya kompetisi, tapi juga bagian dari atraksi wisata dan edukasi budaya,” ujar Didi Aryadi.
Bagi masyarakat Padang, terutama warga Seberang Palinggam, Selaju Sampan bukan hanya soal siapa yang menang. Ini tentang warisan, tentang semangat gotong royong yang dulu menjadi kekuatan utama komunitas pelabuhan.
Tak heran, kegiatan ini kini mulai menarik perhatian wisatawan lokal hingga mancanegara yang sedang berburu pengalaman autentik selama berkunjung ke Kota Tua Padang.
Direktur Eksekutif Sumatra Heritage Network, Dr. Fitri Nusa, menyebut bahwa lomba Selaju Sampan merupakan bentuk “hidupnya kembali narasi budaya sungai”.
“Di banyak kota tua di dunia, sungai menjadi panggung sejarah. Padang juga memiliki itu. Dan lewat Selaju Sampan, Batang Arau kembali berbicara,” ujarnya.
Selain Selaju Sampan, HJK Padang juga akan diramaikan dengan berbagai kegiatan lainnya seperti pawai budaya, pertunjukan musik tradisional, lomba kuliner khas Minang, hingga pasar rakyat. Semua bertujuan mengajak warga untuk ikut larut dalam semangat cinta kota.
Di tengah gempuran zaman, di saat budaya global begitu mendominasi, Selaju Sampan tampil sebagai pengingat bahwa kebudayaan lokal tak boleh tenggelam. Justru ia harus mendayung melawan arus—dengan semangat, dengan tradisi, dan dengan cinta terhadap tanah kelahiran.
Jadi, kalau kamu sedang berada di Padang pada awal Agustus nanti, jangan lewatkan momen ini. Siapa tahu, dari tepian Batang Arau, kamu menemukan cerita yang jauh lebih deras dari sekadar lomba dayung.(rel)