Notification

×

Iklan

Iklan

Zuhud: Bahagia Bukan Karena Banyak, Tapi Karena Cukup

16 Juli 2025 | 07:34 WIB Last Updated 2025-07-16T00:34:21Z


Pasbana - Di tengah riuhnya dunia digital, saat “flexing” harta jadi gaya hidup dan standar bahagia diukur dari jumlah nol di rekening atau followers di media sosial, kisah ini seperti tamparan lembut bagi kita semua.

Aku punya segalanya, tapi kenapa tetap gelisah?” tanya seorang saudagar kaya kepada Ibrahim bin Adham.

Sang sufi menjawab dengan tenang, “Karena kau memegang dunia dengan kedua tangan, sementara aku hanya menjadikannya sebagai alas kaki.”

Jawaban sederhana itu menyimpan makna dalam. Bahwa ketenangan bukan soal banyaknya harta, tapi bagaimana kita memperlakukan dunia — apakah di tangan, atau di hati?

Apa Sih, Zuhud Itu? Bukan Soal Miskin, Tapi Soal Tidak Terikat


Banyak orang salah paham: mengira zuhud berarti hidup miskin, menolak dunia, atau menjauhi rezeki. 

Padahal, seperti dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam Uddatush-Shabirin:
“Zuhud bukan berarti tidak memiliki apa-apa, tapi tidak menjadikan apa yang dimiliki menguasai hati.”

Lihatlah Nabi Daud dan Sulaiman. Mereka raja besar dengan kekayaan dan kekuasaan tak terhitung. Tapi hatinya selalu tertambat kepada Allah.

Sebaliknya, Qarun yang hartanya sampai membuat bumi bergetar, justru tenggelam dalam kesombongan. Maka, bukan jumlah hartanya, tapi bagaimana sikap kita terhadapnya.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga pernah ditanya oleh seorang pemuda:
“Apakah zuhud itu harus miskin?”
Ia menjawab, “Tidak. Zuhud adalah ketika engkau kaya, tapi kekayaanmu tidak melalaikanmu dari Allah. Dan saat engkau miskin, kemiskinanmu tidak membuatmu putus asa.”

Zuhud adalah seni menjaga hati tetap merdeka, meski tangan menggenggam dunia.

Bahagia Itu Ketika Hati Merasa Cukup


Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang diberikan-Nya.”
(HR. Muslim no. 1054)

Itulah ruh zuhud yang sebenarnya: cukup itu bukan soal jumlah, tapi perasaan. Orang zuhud tidak menolak rezeki, tapi tahu kapan harus berhenti mengejar. 

Seperti kata Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin:
“Dunia itu seperti air laut: makin diminum, makin haus. Orang bijak hanya minum seperlunya.”

Di zaman serba instan dan penuh distraksi, orang zuhud memilih jeda. Mereka tahu: kepuasan bukan pada banyaknya, tapi pada cukupnya.

Zuhud di Era Konsumerisme: Melawan “Racun Ingin Lebih”


Bayangkan dunia seperti ular. Licin, berkilau, tampak memesona. Tapi bisa mematikan kalau digenggam erat-erat. 

Ibnul Qayyim mengingatkan:
Dunia seperti ular — licin disentuh, tapi bisanya mematikan. Orang bijak memegangnya dengan hati-hati, yang bodoh memeluknya erat dan mati karena racunnya.”

Dunia saat ini terus menanamkan bahwa kebahagiaan ada di gadget terbaru, rumah mewah, atau liburan ke luar negeri. Padahal, ketenangan hati tak bisa dibeli. 

Dan benar sabda Rasulullah ﷺ:
Andaikata anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya ia akan mencari lembah yang ketiga. Tidak ada yang memenuhi rongga perut manusia selain tanah...”
(HR. Bukhari no. 6439)

Kita terus merasa kurang, karena lupa bersyukur. Padahal, kebahagiaan itu bisa sesederhana secangkir teh di pagi hari, doa dari ibu, atau senyuman istri dan anak.

Dalil dari Al-Qur’an: Dunia Itu Sementara, Akhirat yang Kekal


Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan bahwa dunia ini hanya kesenangan sementara:
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan..."
(QS. Al-Hadid: 20)

Juga dalam ayat lain:
Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal...”
(QS. An-Nahl: 96)

Itulah sebabnya para pecinta Allah, seperti Rabi’ah al-Adawiyyah, memilih untuk mencintai-Nya bukan karena imbalan surga atau takut neraka, tapi murni karena-Nya:
"Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka atau mengharap surga, tapi karena Engkau layak untuk dicinta."


Saat Dunia Hanya di Tangan, Bukan di Hati


Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Tapi menempatkannya di tempat yang tepat: di tangan, bukan di hati.

Doa indah yang diajarkan Nabi ﷺ menyimpulkan semuanya:
"Ya Allah, jadikanlah dunia ini di tangan kami, bukan di hati kami."

Karena saat dunia merasuki hati, ia berubah menjadi berhala tak kasat mata. Tapi jika hanya di tangan, ia bisa menjadi alat untuk memberi, berbagi, dan mengabdi.

Zuhud adalah jalan sunyi yang menenangkan. Ia bukan anti kaya, tapi pro kesadaran. Bahwa hidup bukan soal memiliki lebih banyak, tapi menjadi lebih cukup.

Dan di tengah dunia yang makin gaduh, zuhud adalah oase yang menyegarkan hati. (Sani Tsaka) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update