Notification

×

Iklan

Iklan

Pasar Saham Tak Selalu Soal Angka, Tapi Juga Narasi

03 November 2025 | 23:09 WIB Last Updated 2025-11-03T16:09:30Z


Pasbana - Pasar saham, pada dasarnya, adalah panggung besar tempat cerita-cerita bersaing. Di sana, setiap grafik harga bukan sekadar garis naik turun—melainkan alur kisah yang ditulis oleh ribuan keyakinan, harapan, dan ketakutan investor.

Banyak orang percaya, semakin detail kita membaca rasio keuangan—PBV, PER, EPS—maka semakin akurat keputusan kita.

Padahal, kerap kali semua angka itu baru terasa masuk akal setelah semuanya terjadi. Itulah mengapa pasar saham sering disebut “seni bercerita”. Bukan sekadar tentang data, tetapi tentang bagaimana manusia menafsirkan data itu.

Ingat kisah Bakrie Telecom (BTEL)?
Di awal 2000-an, saham ini dielu-elukan sebagai masa depan telekomunikasi murah di Indonesia. Narasinya kuat: “Teknologi CDMA akan mengalahkan GSM.” Investor berbondong-bondong membeli, percaya pada cerita besar itu. 

Namun, seiring waktu, cerita berubah. Teknologi bergeser, strategi tak berjalan, dan akhirnya BTEL menjadi catatan sejarah tentang bagaimana “cerita yang tampak benar” bisa kehilangan relevansinya.

Fenomena ini dalam teori keuangan perilaku disebut “retrospective coherence” — kecenderungan kita menganggap suatu peristiwa tampak masuk akal setelah terjadi. 

Kita sering berkata, “Ah, pantas saja saham itu turun,” padahal sebelumnya tak ada yang benar-benar tahu. 

Semua orang hidup dalam versinya masing-masing: ada yang percaya fundamental, ada yang mengandalkan grafik, ada yang hanya mengikuti “rasa pasar”.

Kenyataannya, pasar saham adalah arena keyakinan. Siapa yang ceritanya paling logis, paling meyakinkan, dan paling mampu membuat orang percaya—dialah yang untuk sementara waktu dianggap “benar”. Namun kebenaran di pasar sifatnya cair. Ia berubah seiring waktu, data, dan sentimen.

Maka, menjadi investor yang bijak bukan berarti harus paling jago membaca laporan keuangan atau paling cepat membaca pola chart. Tapi mampu menjaga jarak dari cerita yang sedang populer, tetap berpikir kritis, dan tahu kapan harus percaya—dan kapan harus ragu.

Pada akhirnya, investasi bukan soal menjadi paling pintar menghitung, tapi paling bijak menilai cerita tanpa ikut hanyut di dalamnya.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update