Notification

×

Iklan

Iklan

Cara Berdagang (Sebagian) Urang Awak

12 September 2016 | 04.58 WIB Last Updated 2023-04-14T15:59:09Z

Pasbana - Menarik , ketika seorang Prof. Badrul Mustafa menuliskan tentang cara berdagang sebagian urang awak di medsos. Pasalnya beliau adalah seorang dosen ilmu eksakta di Universitas Andalas, dan bukan pengamat ekonomi . 

Ternyata hal ini  bermula dari Sahabat beliau H. Refrizal , anggota DPR RI yang mengeluhkan sebelumnya di medsos , perihal kena pakuak saat makan bersama di sebuah Rumah Makan Pagi Sore di wilayah Padang. Beliau harus membayar untuk makan rombongannya yang berjumlah 16 orang sebesar Rp. 1.600.000,- (satu juta enam ratus ribu rupiah). Artinya rata-rata perorang membayar 100.000 rupiah. Ini harga yang cukup mahal. Berikut status yang ditulis oleh Prof . Badrul Mustafa dalam medsos nya ;

Seorang rekan facebook saya, anggota DPR-RI mengeluhkan sebuah rumah makan di kota Padang. Keluhannya adalah: kemarin sore, untuk makan rombongannya yang berjumlah 16 orang ia kena Rp. 1.600.000,- (satu juta enam ratus ribu rupiah). Artinya rata-rata perorang membayar 100.000 rupiah.  Jangankan untuk ukuran di Padang, di Jakarta harga segitu masih tergolong mahal.

Kejadian seperti ini juga sering terjadi di beberapa tempat lain, serta juga untuk jenis dagangan lain di wilayah Sumatera Barat.  Bahkan ketika rombongan presiden SBY dulu mengunjungi kota Bukittinggi, dan makan di sebuah rumah makan, rombongan ini kena 20 juta rupiah. 

Ckckckckck......luar biasa mahal.  Tapi akibatnya rumah makan tersebut mendapat teguran dari pemerintah setelah sebelumnya beredar kecaman di media sosial terhadap pemilik rumah makan tsb.

Pemerintah kota Bukittinggi kemudian juga menertibkan para pedagang (pengusaha rumah makan dan sejenisnya) agar pengusaha/pedagang ini mencantumkan daftar harga di tempat usahanya, supaya konsumen tidak terkicuh.

Bicara tentang cara berdagang urang awak, khususnya yang berdagang di Sumbar, maka kita melihat kenyataan yang menyedihkan.  Sebagian pedagang menetapkan harga seenaknya.  Bahkan pedagang buah-buahan (durian, rambutan, dlsb.) juga begitu.  

Mereka nampaknya punya konsep penetapan harga jual tergantung kepada siapa pembelinya.  Kalau yang belanja orang kaya, berpakaian perlente, atau memakai kendaraan bagus, maka harga bisa melambung.  Dalam benak mereka, orang-orang seperti ini tidak masalah "dipangur".  Uangnya banyak.  Apalagi kalau ia yakin calon pembelinya orang dari Jakarta, yang menurut pedagang tersebut di sana harganya lebih tinggi dari di tempatnya, maka ia pikir tidak akan jadi masalah bagi si pembeli.  Begitu nampaknya konsep pedagang tersebut.

Sebaliknya, kalau yang belanja kelihatannya orang biasa-biasa saja, atau orang setempat, maka ia akan jual dengan harga normal.

Harusnya pedagang urang awak menetapkan harga tidak tergantung siapa yang membeli. Tidak tergantung pembelinya bisa bahasa minang atau tidak. Tidak tergantung apakah yang belanja seorang direktur atau seorang buruh. Kalau cara berdagang tergantung kepada siapa yang belanja, bukan tergantung kepada berapa modal dan berapa margin keuntungan yang akan diambil, maka yakinlah pedagang seperti ini akan rugi. Lambat laun pedagang seperti ini akan digulung oleh pedagang modern. Itulah sebabnya super market lebih disukai oleh golongan menengah atas daripada pasar tradisional.

Kita sering mendengar protes terhadap pedagang modern sejenis super market.  Tapi kita jangan asal menyalahkan pedagang atau pasar modern ini.  Kita pun harus introspeksi terhadap kelakuan sebagian pedagang urang awak ini.  Kalau sebagian pedagang urang awak yang merusak citra ini bisa menyadari bahwa konsepnya salah, dan mereka dapat meningkatkan pelayanan dengan baik, maka yakinlah urang awak akan tetap berbelanja kepada urang awak sendiri. 

Urang awak masih banyak yang punya tekad/prinsip/konsep untuk membantu sesama urang awak dengan berbelanja kepada pedagang urang awak sendiri.  Tapi, kalau pedagangnya tidak jujur, siapa yang mau?  Siapa pun tidak akan mau dikicuh, meskipun oleh urang awak sendiri.


Beragam komentar atas status yang ditulis oleh Prof. Badrul Mustafa ini, dan sebagian besar menyayangkan terhadap praktik berdagang yang tidak fair ini. Dan hal tersebut pada hakikatnya akan merugikan pihak pedagang itu sendiri di kemudian hari. Dan secara luas akan merusak citra dan iklim bisnis di Sumatera Barat.  Mengingat pasar bebas yang telah diberlakukan, praktik berdagang oleh sebagian pedagang urang awak ini dapat memunculkan image kurang baik di mata konsumen.

Image Dalam Bisnis Itu Penting
Menurut Buchari (2003:92) citra ( image) adalah merupakan impresi, perasaan atau konsepsi yang ada pada publik mengenai perusaaan, mengenai suatu object, orang atau mengenai lembaga.” 

Citra ini tidak dapat dicetak seperti mencetak barang di pabrik, tetapi citra ini adalah kesan yang diperoleh sesuai dengan pengetahuan pemahaman seseorang tentang sesuatu. Citra terbentuk dari bagaimana pedagang melaksanakan kegiatan operasionalnya, yang mempunyai landasan utama pada segi layanan.

Jadi image ini akan diperhatikan publik dari waktu ke waktu dan akhirnya akan membentuk suatu pandangan positif yang akan dikomunikasikan dari satu mulut ke mulut lain. Dalam kesibukan kita sehari-hari jangan melupakan keadaan fisik bisnis, penampilan, fasilitas, kantor, tempat jualan dan karyawan yang melayani publik harus selalu dalam garis dengan satu tujuan memuaskan konsumen.

Katakan pada mereka apa yang akan kita perbuat untuk menjaga agar mereka selalu puas, dan tanyakan lagi apa yang mereka inginkan agar dapat diperbaiki di masa yang akan datang. 



Semoga praktik " pangua" atau " pakuak harago" tidak terjadi lagi di kemudian hari. Karena hal ini tidak sejalan dengan keinginan untuk menjadikan Propinsi Sumatera Barat sebagai Destinasi Wisata Halal utama bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Diolah dari berbagai sumber:

- FB Prof. Dr. Badrul Mustafa
- pengertian.blogspot.com
- panduan Pariwisata

×
Kaba Nan Baru Update