Notification

×

Iklan

Iklan

Menjilat Bulan: Konflik Kepentingan dan Dendam Tak Berakhir

19 Oktober 2017 | 11.02 WIB Last Updated 2023-01-30T03:50:40Z

Oleh: Sahrul N 

Pasbana.com - Konflik kepentingan dan dendam tak berakhir merupakan hal yang menjadi tema utama dalam kumpulan naskah lakon Menjilat Bulan karya Sulaiman Juned. Buku ini memuat empat naskah lakon yaitu “Jambo ‘Luka Tak Teraba’, “Jambo ‘Beranak Duri Dalam Daging’, “Jambo ‘Bunga Api-Bunga Hujan’, dan “Jambo ‘Inong Balee’. Karya yang keempat penulisannya dibantu oleh Wiko Antoni. 

Pada naskah pertama terlihat bagaimana kesenjangan sosial membuat manusia berperang dan tentu saja perang ini berdasarkan kepentingan. Ciri-ciri konflik dalam organisasi sosial yaitu;

 (1), Sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan konflik. 

(2), Konflik-konflik tersebut disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam struktur sosial masyarakat. 

(3), Kepentingan-kepentingan itu cenderung berpolarisasi dalam dua kelompok yang saling bertentangan. 

(4), Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mencerminkan deferensiasi distribusi kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang berkuasa dan dikuasai. 

(5), Penjelasan suatu konflik akan menimbulkan perangkat kepentingan baru yang saling bertentangan, yang dalam kondisi tertentu menimbulkan konflik. 

(6), Perubahan sosial merupakan akibat-akibat konflik yang tidak dapat dicegah pada berbagai tipe pola-pola yang telah melembaga. Hal ini bisa kita lihat pada kutipan berikut: 

BRAHIM: Awalnya memang begitu. Mereka protes terhadap kesenjangan sosial. Tetapi setelah pasukan upah masuk ke daerah ini, bukan saja kaum Ateuh yang diburu. Anak-anak negeri yang tak berdosapun terkena getahnya. Betapa banyak orang tua yang kehilangan anaknya, anak-anak menjadi yatim dan berpuluh kaum ibu menjadi janda. (SEDIH TERPEKUR) 

Sumber konflik adalah hubungan wewenang yang telah melembaga dalam asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara imperatif. Dengan kata lain sumber konflik adalah hubungan wewenang yang disahkan (legitimated authorities). Dalam kumpulan naskah ini terlihat bagaimana konflik merupakan pertentangan kepentingan antar dan dikalangan berbagai individu dan kelompok sosial, baik yang mungkin dapat terlihat secara gampang ataupun tidak, baik yang mungkin pecah menjadi pertentangan terbuka atau kekerasan fisik ataupun yang tidak. Misalnya, pertentangan kepentingan di antara para kapitalis dan pekerja yang ditunjukan oleh Karl Marx. 

Mencari keadilan adalah suatu strategi teoritis yang berusaha memahami gejala-gejala sosial sebagai akibat berbagai kepentingan dan tujuan berbagai individu dan kelompok sosial yang antagonistik. Seperti kutipan berikut: 

BRAHIM: Aku dan seluruh anak negeri ini, mencari keadilan dan kebebasan serta kemerdekaan dalam arti yang luas bukan seperti yang terjadi selama ini, kita diberikan keistimewaan, tetapi itu semua dibekap dalam ikatan kekuasaan yang bernama keadilan sosial bagi seluruh kaum. Kaum kita diperlakukan sesuka hati mereka. Diberlakukannya DOM yang membuat pasukan upah dapat melakukan kebrutalan degan dalih hukum dan keamanan. Mereka berenang di atas darah dan air mata kau kita. Barangkali sebentar lagi di tanah ini akan diberlakukan darurat perang. (KESAL). 

Konflik akan melahirkan dendam yang tidak berkesudahan. Sampai kapanpun keharmonisan tidak pernah bisa terwujud. Naskah ini diawali pada penolakan terhadap gagasan bahwa masyarakat cenderung kepada beberapa konsensus dasar atau harmoni, di mana struktur masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Para tokoh memandang konflik dan pertentangan sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial. Struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka. 

Tokoh melihat masyarakat menusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Ia mengantisipasi bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi hasil akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan. Seperti kutipan berikut: 

ALI: Abua aku sudah tak tahan terkurung dalam konflik ini, kaum kita dianggap seperti kerikil. Padahal, disaat negeri pasukan upah sedang miskin kaum ateuhlah yang menyumbangkan pesawat. Ketika negeri pasukan upah beranjak dewasa, kaum ateuh pemasok devisa paling besar melalui sumber daya alamnya. Situasi ini lebih didominasi politik survivalitas sehingga kaum ateuh dianggap bukan prioritas utama. 

Naskah ini juga memperlihatkan bagaimana struktural mula-mula tumbuh dari cara melihat masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis, suatu pendekatan yang sering kali dikenal sebagai organismic approach. Naskah ini membandingkan tiga kelas sosial, yaitu penguasa, militer, dan kaum Ateuh, masing-masing dengan daya pikir, perasaan, semangat, dan nafsu. Perwujudan yang paling penting dari pendekatan tersebut tergambar di dalam usaha untuk menerangkan hubungan antara konsep struktur dan fungsi. 

Karya ini melihat perubahan sosial dan budaya dalam suatu etnis sangat ditentukan oleh perkembangan fungsi-fungsi struktur yang ada di dalam masyarakat.  Karya ini berpraanggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat tempat unsur itu ada. Dengan kata lain, pandangan terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Fungsi suatu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Seperti kutipan berikut: 

AZIZAH: Hidup ini adalah rangkaian keniscayaan. Siapa yang dapat menebak nasibnya. Siapa yang tahu kemalangan akan menimpa. Aku tak pernah menduga suamiku direnggut nyawanya oleh pasukan upah. Padahal saat kejadian ia pergi menjual hasil kebun, diperjalanan kaum Ateuh meminta mengantar dagangan ke pinggir hutan. Saat kembali ia disekap dipaksa mengaku kemudian dipukuli. (MENANGIS) Sejak itu, ia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Memang, tetangga iri padanya, orang itu ingin membeli hasil kebun kami dengan harga murah, tapi suamiku menjualnya kepada orang lain. Orang itu melaporkan suamiku pada upah. Sudah sering upah menanyakan persembunyian kaum Ateuh padanya, ia memang tidak tahu apa yang harus ia jelaskan. (MARAH) Pasukan upah itu seolah-olah Tuhan, apa yang diperintahkan harus diikuti, apa yang ditanyakan harus dijawab. Aku harus membalas mereka, harus! 

Konflik dan dendam selalu melahirkan ketidakharmonisan. Ketidakharomisan tersebut bisa berakibat fatal. Seperti yang ada dalam naskah ini bahwa Komandan Upah merupakan orang yang merasa sangat berdosa karena membunuh ayah dan pamannya sendiri. Seperti dalam kutipan berikut: 

KOMANDAN UPAH: Ya. Aku adalah anak yang hilang itu, anakmu yang hilang empat puluh tahun yang lalu. Sekarang aku baru sadar, bahwasanya aku dibesarkan oleh komandan pasukan upah sebagai bapak angkatku. Tetapi orang tuaku yang sebenarnya adalah Brahim dan ibu. Ini kuketahui setelah aku kembali ke pulau seberang dan orang tua angkatku meninggal, ia berpesan keluargaku sebenarnya adalah Brahim dan Ibu Minanh serta Pang Ali adalah adik kandungku. (TERMENUNG) Aku merasa bersalah dan sedih sekaligus merasa berdosa telah membunuh Abuaku sendiri. (MENANGIS TERSEDU DI KAKI MINAH). 

Ini merupakan ungkapan yang bernilai konflik kejiwaaan dari seorang tokoh. Masing-masing wakil dari pendukung kepentingan tertentu memiliki kebenarannya masing-masing. Tidak saja benturan atau konflik itu terjadi dalam naskah lakon, namun juga terjadi di dalam realitas yang sebenarnya. Dalam naskah beberapa kepentingan saling terlibat konflik, seperti konflik politik, ekonomi, agama, sejarah, adat dan budaya. Dari multi-konflik ini cerita dihidupkan oleh pengarang dengan argumentasi-argumentasi yang kompleks. (***)


×
Kaba Nan Baru Update