"Nan indah buluah di rimba, dipilih dek tukang palito; nan elok gadih di dunia, indak lupo asal-usul kato."
Pasbana - Di tengah-tengah kabut waktu dan liuk-liuk cerita turun-temurun yang diwariskan di ranah Minangkabau, ada satu hikayat yang tak hanya membuat kening berkerut, tapi juga bibir tersenyum geli: Hikayat Puti Balukih. Cerita ini, meski bukan asli dari alam Minang, telah menjadi bagian dari simpul narasi budaya yang menyisip dalam celah percakapan di surau-surau tua dan kedai kopi pagi.
Hikayat ini bukanlah kisah dari tambo (sejarah lisan) Minangkabau yang murni, melainkan benih cerita yang tumbuh subur dari perjumpaan budaya Minang dengan gelombang Islam yang datang dari Timur Tengah. Ia seumpama siriah pulang ka tampuaknya—datang dari jauh, tapi akrab seperti anak kemarin petang yang pulang kampung.
Asal-Usul: Anak Manusia, Darah Jin
Ceritanya begini. Di kerajaan Saba—yang barangkali lebih sering kita dengar dari kisah Ratu Balqis—ada seorang menteri yang jatuh cinta pada makhluk dari dunia lain: seorang jin perempuan. Dari perkawinan silang dua alam ini, lahirlah seorang putri yang bukan sembarang putri—Puti Balukih, si cantik yang pesonanya bisa membuat pepatah Minang keluar satu-satu: "batang pinang diateh batu, indak luruih dek angin lalu; paras Puti indak sadonyo gadih dapek lalu."
Puti Balukih, meski berdarah jin, memilih jalan hidup sebagai manusia. Ia menolak hidup sebagai makhluk halus, dan barangkali kalau diibaratkan sekarang, dia itu seperti anak hybrid yang galau mau ikut keluarga siapa. Tapi pilihannya jelas—ia ingin menjalani hidup di bawah langit manusia, di bumi yang nyata.
Pertemuan Takdir dengan Nabi Sulaiman
Keelokan dan keunikannya tak hanya terdengar di kampung-kampung, tapi juga sampai ke telinga Nabi Sulaiman, sosok legendaris dalam ajaran Islam yang bisa bicara dengan binatang dan jin. Nabi Sulaiman menemukan Puti Balukih dan, setelah ia memeluk Islam, menjadikan gadis separuh jin itu sebagai istrinya.
Nah, di sinilah letak tarik-menarik kisah ini dalam kancah kebudayaan Minang. Cerita ini, meski berakar dari luar, mengandung elemen penting yang sangat Minang: pilihan sadar terhadap nilai hidup yang lebih tinggi, memilih jalan tauhid, dan keberanian meninggalkan asal usul demi keyakinan. Nilai ini serupa dengan petuah Minang: "hidup indak dek asal, mati indak dek umur."
Dari Hikayat ke Hikmah: Filosofi yang Terselip
Cerita ini bukan semata dongeng cinta antara jin dan manusia. Ia menyiratkan pesan tentang penerimaan jati diri, keteguhan dalam memilih jalan hidup, dan yang paling dalam, keislaman sebagai jalan sadar, bukan warisan buta. Puti Balukih mengajarkan kita bahwa bukan darah atau keturunan yang menentukan nilai seseorang, tapi pilihan dan keyakinan dalam hidup.
Apakah ini relevan di masa kini? Sangat.
Di tengah zaman digital yang serba cepat, kita sering terjebak dalam label dan asal-usul. Si A anak siapa, si B keturunan mana. Tapi, seperti Puti Balukih, kita diajak melihat lebih dalam bahwa nilai seseorang tak ditentukan oleh ‘darah’, tapi oleh pilihannya menjalani hidup dengan nurani dan akal sehat.
Tradisi Cerita yang Masih Hidup, Tapi Berubah Wujud
Di Minangkabau, hikayat seperti ini dahulu dituturkan lewat randai, pantun kaba, dan cerita malam di tikar pandan. Kini, barangkali sudah jarang terdengar secara lisan. Namun semangatnya hidup dalam sastra digital, forum daring, dan konten kreatif berbasis budaya lokal.
Hikayat Puti Balukih bisa jadi bahan pertunjukan kontemporer, film pendek, atau cerita ilustrasi anak. Tapi untuk itu, perlu kemasan baru tanpa membuang inti sari yang mengandung makna.
"Lamak dek bumbu, indah dek susun; kisah nan tuo, indak salah dikemas baru."
Kisah Jin yang Membumi
Hikayat Puti Balukih mungkin bukan lahir dari rahim budaya Minang, tapi ia membumi di tanah ini karena membawa nilai-nilai yang sejalan: martabat diri, pilihan hidup, dan pencarian kebenaran. Dalam idiom Minang: "kok indak dapek ka tampek baselo, pandai-pandailah maminjam galang."
Ia bukan sekadar cerita dongeng, tapi cermin bahwa Minangkabau adalah tanah yang bersedia menampung segala hikmah dari mana pun datangnya—asal bisa memperkaya jiwa, bukan sekadar menghibur telinga.Makin tahu Indonesia. (*)