Notification

×

Iklan

Iklan

Menjadi Pemimpin Sejati: Di Antara Zikir, Belajar, dan Kejujuran

30 Mei 2025 | 06:30 WIB Last Updated 2025-05-29T23:32:46Z
Foto Pelantikan Pengurus KAN Nagari Singgalang (dok.istimewa) 



Pasbana - “Semakin banyak kita membaca, berjalan di muka bumi, berdialog dengan sesama manusia, semakin kita tahu… bahwa kita ini makhluk yang lemah, pelupa, dan tak pernah berhenti belajar.”

Kalimat itu barangkali sederhana. Tapi di baliknya tersimpan satu pesan besar: kesadaran diri.

Bahwa di balik segala kecanggihan zaman, manusia tetaplah manusia—makhluk yang tak sempurna.

Namun, menariknya, setiap dari kita, tanpa terkecuali, adalah seorang pemimpin. Minimal pemimpin bagi diri sendiri. Dan bagi seorang pemimpin, kesadaran akan keterbatasan ini bukanlah kelemahan, tapi pintu masuk menuju kebijaksanaan.

Pemimpin Bukan Sekadar Jabatan

Banyak orang masih berpikir bahwa menjadi pemimpin itu hanya soal jabatan. Padahal dalam Islam, konsep kepemimpinan jauh lebih luas. Rasulullah SAW bersabda:
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks modern, kepemimpinan bisa bermula dari hal-hal kecil: mengelola waktu, menjaga ucapan, atau menyebar kebaikan lewat media sosial. Tapi tetap saja, fondasinya tak berubah: jujur, disiplin, sederhana, dan berakhlak mulia.

Sayangnya, kita terlalu sering menjumpai pemimpin “bambu”—mudah melengkung ke arah mana angin bertiup. Gampang tergoda oleh tekanan, uang, atau pujian. Padahal rakyat butuh pemimpin yang kokoh berdiri di atas prinsip, bukan sekadar ikut arus.

Kekuatan Doa dan Refleksi Diri

Di tengah hiruk pikuk dunia, kita butuh jeda. Shalat Tahajjud, zikir, dan doa menjadi ruang sunyi tempat manusia kembali menguatkan diri. Tidak heran, banyak pemimpin besar dunia Islam dari masa ke masa yang rutin bermunajat di sepertiga malam.

Bulan Zulhijjah, salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam, hadir seperti pintu langit yang terbuka. Hari Jumat pun datang sebagai “penghulu hari”. Menggabungkan keduanya, ini momentum sempurna untuk muhasabah—menghisab diri.

Belajar dari Langkah Para Ulama dan Pemikir

Tokoh-tokoh besar seperti Imam Al-Ghazali, Umar bin Khattab, hingga Buya Hamka, semuanya memulai perjalanan mereka dari satu titik: kesadaran akan kelemahan diri. Tapi justru dari sana mereka tumbuh menjadi pribadi tangguh dan bijaksana.
Buya Hamka misalnya, pernah berkata:
Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Tapi hidup yang bernilai adalah hidup yang penuh makna.”

Dan makna itu tak akan lahir kalau kita tidak mau bercermin. Tidak mau berdiskusi. Tidak mau bergaul. Tidak mau membaca. Tidak mau belajar. Semua proses itu adalah jalan menuju kesadaran—dan kesadaran adalah awal dari kepemimpinan sejati.

Yuk, Jadi Pemimpin yang Mampu Memimpin Diri Sendiri

Hari ini, mari kita mulai dari hal kecil. Bangun lebih pagi, shalat Tahajjud barang dua rakaat, lalu berdoa dengan hati yang tulus. Mari kita ulang kembali niat: ingin jadi pribadi yang lebih baik, lebih jujur, lebih disiplin, dan tetap rendah hati. Karena sejatinya, kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan tugas kita hanyalah berproses untuk terus mendekati-Nya.

Ini merupakan pengingat dan motivasi bagi kita semua, terutama di momentum bulan Zulhijjah dan hari Jumat yang penuh keberkahan. Kiranya menjadi refleksi spiritual sekaligus panduan moral untuk menata kembali hidup, menata kembali niat, dan—siapa tahu—menata kembali bangsa ini dari hati yang bersih.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update