Pasbana - Mengapa kita begitu sibuk membanggakan kejayaan leluhur, tetapi kerap abai terhadap realita yang menggerus hari ini?
Orang Minangkabau dikenal sebagai pewaris peradaban besar yang melahirkan para cerdik pandai. Dari Tanah Datar hingga Agam, dari Bukittinggi ke Padang Panjang, cerita tentang keagungan adat dan kecemerlangan tokoh-tokohnya terdengar di mana-mana—baik dalam rapat adat, seminar kebudayaan, hingga status media sosial.
Namun, di balik gegap gempita itu, ada ironi yang mencubit perasaan: angka pekerja anak di Sumatra Barat masih tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sekitar 7 persen anak usia sekolah di provinsi ini masih harus bekerja demi menyokong ekonomi keluarga. Banyak di antaranya bahkan putus sekolah.
Tak hanya itu, angka kekerasan terhadap perempuan juga mengalami peningkatan. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sumbar mencatat lebih dari 300 kasus kekerasan sepanjang 2023, naik signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Sementara itu, lapangan kerja makin sempit. Banyak generasi muda Minang memilih merantau ke kota besar, bahkan ke luar negeri, bukan semata karena tradisi, tapi karena tidak ada pilihan.
"Pulang kampung kini bukan lagi untuk membangun, tapi sekadar menengok orang tua," ujar Riko (27), perantau asal Pariaman yang kini bekerja di Batam sebagai teknisi pabrik. Ia mengaku tak pernah benar-benar melihat peluang ekonomi di kampung halamannya.
Lalu, di mana posisi kebesaran masa lalu dalam situasi seperti ini?
Banyak yang masih terjebak dalam nostalgia. Kita memuja tokoh seperti Hatta, Agus Salim, Buya Hamka, dan sederet pemikir besar lainnya, tetapi lupa bertanya: bagaimana nasib anak-anak muda hari ini?
Sejarah yang besar tidak cukup jika hanya untuk dielu-elukan. Ia seharusnya menjadi bahan bakar untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Sosiolog dari Universitas Andalas, menyebut fenomena ini sebagai “romantisme kultural”. "Ada semacam glorifikasi terhadap masa lalu yang tidak diiringi kesadaran kritis terhadap realitas kekinian. Ini berbahaya, karena bisa membuat masyarakat lupa berinovasi," jelasnya.
Sayangnya, kebiasaan membanggakan asal-usul itu sering kali tidak dibarengi dengan tindakan nyata untuk mengubah keadaan. Kita sibuk berdebat soal siapa yang paling asli Minang, tetapi lupa memperjuangkan agar anak-anak Minang bisa sekolah tanpa harus bekerja.
Kita fasih mengutip pepatah adat, tetapi bisu melihat para perempuan yang jadi korban kekerasan domestik.
Kini saatnya bersikap jujur.
Kini saatnya bersikap jujur.
Apakah benar Minangkabau hari ini masih jadi pusat cerdik pandai, tempat bertanya dan pulang berberita, seperti dahulu?
Ataukah kita telah menjadi penonton dari panggung dunia yang terus bergerak, sementara kita tetap sibuk merapikan songket kenangan?
Sejarah bukan untuk disembah, melainkan dijadikan batu loncatan. Sebab kalau tidak, ia hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur—meninabobokan, bukan membangkitkan.
Waktu terus berjalan. Dunia terus berubah. Yang dibutuhkan generasi hari ini bukan sekadar cerita tentang kebesaran, tetapi kesempatan untuk menciptakan kebesaran baru: lewat pendidikan, keadilan sosial, dan pembangunan ekonomi yang nyata. (Redaksi)