Pasbana - Setelah gema takbir berkumandang di Hari Raya Idul Adha, biasanya euforia umat Islam tak langsung mereda. Justru setelah itu, datanglah tiga hari yang tak kalah istimewa namun sering luput dari perhatian: Hari Tasyrik.
Apa itu Hari Tasyrik? Mengapa ia begitu penting, bahkan sampai dilarang berpuasa di dalamnya?
Mengenal Hari Tasyrik, Warisan Spiritual dan Budaya
Hari Tasyrik berlangsung pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dalam kalender Hijriah, atau tiga hari setelah Idul Adha.Dalam tradisi Islam, ketiga hari ini masuk ke dalam asyhurul hurum — yakni empat bulan suci yang dimuliakan dalam Islam. Selain Dzulhijjah, ada juga Rajab, Dzulqa’dah, dan Muharram.
Istilah tasyrik sendiri berasal dari kata Arab "syarraqa" yang berarti "menjemur di bawah sinar matahari". Konon, pada masa lalu, masyarakat Arab menjemur daging hewan kurban agar awet dan bisa dikonsumsi lebih lama.
Tradisi ini dikenal juga dengan sebutan dendeng atau mengeringkan daging. Aktivitas ini begitu ikonik sampai-sampai hari-hari tersebut dinamai “Hari Tasyrik”.
Dalam kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, ulama besar Imam Nawawi menjelaskan bahwa dinamakan hari tasyrik karena kaum Muslimin dahulu menghamparkan daging kurban di bawah terik matahari untuk dikeringkan. Sebuah kebiasaan yang bukan hanya praktis, tapi juga sarat makna kebersamaan dan keberkahan.
Hari Pesta Rohani: Dilarang Puasa, Diperbanyak Zikir
Meski terdengar ringan dan bersifat budaya, Hari Tasyrik justru memiliki muatan spiritual yang dalam. Nabi Muhammad SAW secara khusus melarang umat Islam berpuasa pada hari-hari ini, dan sebaliknya menganjurkan untuk memperbanyak zikir dan ibadah lainnya.“Hari-hari Tasyrik adalah hari makan, minum, dan berzikir kepada Allah,” sabda Nabi dalam hadis riwayat Imam Muslim, dari sahabat Nubaisyah Al-Hudzali.
Artinya, selama Hari Tasyrik, umat Islam diajak untuk merayakan nikmat Allah, menikmati hidangan — terutama daging kurban — dan menyemarakkan suasana dengan lantunan takbir dan zikir.
Sebuah bentuk syiar yang merekatkan antara spiritualitas dan rasa syukur.
Catatan dari Ulama: Larangan Puasa, Kecuali...
Menurut Imam As-Syafi’i, dalam qaul jadid (pendapat terbaru beliau), puasa di hari tasyrik dilarang secara umum. Namun dalam qaul qadim (pendapat lama), beliau memberi pengecualian: jamaah haji tamattu’ yang tidak memiliki hewan dam (denda haji) diperbolehkan untuk berpuasa pada hari tasyrik selama mereka masih berada di tanah suci. Pendapat ini banyak dirujuk dalam fikih haji.Adapun sabda Nabi yang populer, diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., berbunyi:
“Tidak ada amal saleh yang lebih dicintai Allah melebihi amal-amal yang dilakukan pada hari-hari ini,” (HR Bukhari).
Hadis ini memperkuat nilai spiritual Hari Tasyrik sebagai momen emas untuk memperbanyak amal, zikir, membaca Al-Qur’an, dan sedekah.
Lebih dari Sekadar Daging Kurban
Dalam budaya masyarakat Muslim — termasuk di Indonesia — Hari Tasyrik seringkali menjadi momen silaturahmi lanjutan usai Idul Adha. Masyarakat biasanya masih menikmati olahan daging kurban seperti rendang, sate, gulai, dan tentu saja dendeng — yang menjadi representasi langsung dari makna Tasyrik itu sendiri.Di beberapa daerah, seperti di Sumatera Barat, Aceh, dan sebagian wilayah di NTB, Hari Tasyrik juga dirayakan dengan kegiatan makan bersama atau berbagi makanan ke tetangga dan kaum dhuafa.
Tradisi ini menjadi simbol nyata dari semangat kebersamaan dalam Islam.
Jangan Lewatkan Momen Spiritual Ini
Hari Tasyrik bukan sekadar “sisa” dari Idul Adha, melainkan kelanjutan dari spirit kurban dan penghambaan diri kepada Allah SWT. Ia adalah saat di mana umat Islam diingatkan untuk bersyukur atas nikmat, menyambung tali persaudaraan, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, tanpa harus berpuasa atau mengasingkan diri.Jadi, saat daging kurban sudah diolah dan dihidangkan, jangan lupa bahwa tiga hari setelah Idul Adha bukan hanya tentang makan. Tapi juga tentang zikir, syukur, dan syiar keimanan yang tak boleh padam.(*)