Solok, pasbana– Di sebuah pagi yang cerah di Kota Solok, bunyi talempong bersahut-sahutan, menyambut iring-iringan keluarga yang datang dengan pakaian adat nan megah. Warga menepi, anak-anak berlarian, dan senyum-senyum malu-malu menghiasi wajah-wajah para tamu.
Inilah momen yang disebut Bararak Bako, sebuah tradisi Minangkabau yang tidak hanya meriah, tetapi juga sarat makna.
Bararak Bako, secara harfiah berarti "arak-arakan keluarga bako" — yakni keluarga dari pihak ayah — dalam sebuah pesta pernikahan. Namun di balik keramaian dan meriahnya prosesi itu, tersimpan simbol penghargaan, kehangatan kekeluargaan, dan transformasi nilai-nilai dalam budaya Minang yang kental dengan sistem kekerabatan matrilineal.
Tradisi yang Tak Sekadar Seremonial
Mereka datang membawa persembahan, semacam tanda kasih dan restu kepada anak pisang — sebutan bagi anak perempuan dari saudara perempuan mereka.
“Kalau keluarga bako tidak ikut bararak, akan dianggap tidak peduli, bahkan bisa menyinggung perasaan keluarga pisang,” ungkap Yusnidar, seorang niniak mamak dari Solok Selatan.
Iring-iringan ini biasanya berlangsung dari rumah keluarga bako menuju lokasi pesta, lengkap dengan hantaran, musik tradisional, dan kadang bahkan diiringi silat atau tari. Penuh warna dan sukacita. Tradisi ini bukan sekadar pamer, tapi wujud tanggung jawab sosial dan budaya.
Jejak Matrilineal yang Tetap Menyala
Sebagaimana dikenal luas, Minangkabau merupakan salah satu dari sedikit budaya dunia yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Artinya, garis keturunan dihitung dari pihak ibu, dan perempuan menjadi pewaris utama harta pusaka dan nama keluarga.Namun uniknya, dalam Bararak Bako, posisi pihak ayah — yang biasanya berada di luar garis kekerabatan inti — justru mendapat panggung terhormat.
Di sinilah letak keindahan harmoni dalam adat Minang: meski matrilineal, tetap memberi ruang pada pihak laki-laki untuk mengekspresikan kasih sayang dan keterlibatan mereka.
Menurut antropolog Universitas Andalas, Dr. Fitri Nurbaya, tradisi Bararak Bako menunjukkan bahwa “budaya Minangkabau bukan eksklusif perempuan, tapi inklusif dan seimbang.”
Ia menyebut tradisi ini sebagai bentuk transformasi kultural yang dinamis, menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman tanpa meninggalkan akar nilai.
Modernisasi Tanpa Melupakan Akar
Salah satunya adalah Rina (25), warga Solok yang baru saja melangsungkan pernikahan bulan lalu. “Awalnya saya pikir ini cuma bagian dari protokol adat. Tapi setelah dijelaskan oleh mamak saya, saya jadi merasa bahwa kehadiran keluarga ayah dalam pernikahan saya adalah bentuk cinta yang tulus,” ujarnya sambil tersenyum.
Tak sedikit pula generasi muda yang justru bangga mempopulerkan kembali tradisi ini lewat media sosial. Foto-foto bararak yang estetik, penuh warna, dan penuh pesan kekeluargaan kini ramai menghiasi Instagram dan TikTok, dengan tagar seperti #BararakBako #AdatMinang dan #AlekSolok.
Lebih dari Sekadar Budaya
Dalam sebuah jurnal berjudul "Kearifan Lokal Minangkabau dalam Menjaga Harmoni Sosial", peneliti budaya Zainal Arifin menyebut bahwa Bararak Bako adalah bentuk simbolis dari “rekonsiliasi dua kutub budaya — matrilineal dan patrilineal — yang justru menguatkan tatanan sosial.”
Dengan terus dilestarikan, Bararak Bako bukan hanya menjaga warisan budaya, tapi juga mempererat jalinan emosional antargenerasi. Ia mengajarkan bahwa cinta dan hormat bisa datang dari semua arah — bukan hanya dari satu garis keturunan.
Jika dirawat dengan penuh cinta, tradisi seperti Bararak Bako bukan hanya akan bertahan, tapi tumbuh menjadi identitas yang membanggakan generasi masa depan. Makin tahu Indonesia. (budi)