Notification

×

Iklan

Iklan

Menjinakkan Amarah: Seni Mengelola Emosi di Era Serba Cepat

14 Juli 2025 | 08:27 WIB Last Updated 2025-07-14T01:27:10Z


Pasbana - Kita hidup di zaman yang serba cepat. Semua serba instan: pesan datang dalam hitungan detik, komentar dilontarkan tanpa pikir panjang, dan emosi pun kerap tumpah tanpa rem. Tak heran jika marah menjadi bagian tak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari.

Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, "Apakah semua kemarahan itu perlu?"


Marah Itu Manusiawi, Tapi...


Marah adalah emosi dasar yang dimiliki semua manusia. Psikolog klinis, dr. Andri, SpKJ, menyebut bahwa marah adalah bentuk reaksi atas tekanan atau ancaman, baik yang nyata maupun tidak. 

Namun, saat emosi ini dibiarkan liar tanpa kendali, ia bisa berubah menjadi bara yang membakar hubungan, merusak reputasi, bahkan mengancam kesehatan fisik dan mental.

Menurut data dari American Psychological Association (APA), kemarahan yang tidak tersalurkan dengan baik bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, gangguan jantung, dan menurunnya kualitas tidur.


Rasulullah: Kuat Itu Bukan Soal Otot


Jauh sebelum ilmu psikologi berkembang, Rasulullah ﷺ sudah mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukanlah kemampuan untuk menjatuhkan lawan, tetapi kemampuan untuk menundukkan diri saat amarah datang.

“Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Kata-kata itu bukan sekadar pesan moral, melainkan panduan praktis yang relevan hingga hari ini. Ketika amarah muncul, Rasulullah ﷺ menyarankan langkah-langkah konkret: berwudu, duduk jika sedang berdiri, dan meninggalkan tempat yang memicu emosi.


Menahan Marah, Memaafkan, dan Menjadi Mulia


Menariknya, Islam tak hanya menyuruh menahan marah, tapi juga melanjutkan dengan memaafkan. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ menyandingkan keduanya dengan kasih sayang dan kebaikan:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(QS. Ali Imran: 134)

Artinya, proses pengendalian emosi bukan hanya soal meredam, tapi juga transformasi menuju kebaikan. Dalam psikologi modern, ini disebut emotional regulation—kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi secara sehat.

Tips Praktis Mengelola Amarah


Mengelola amarah bukan berarti menekan atau memendamnya. Justru, ia perlu disalurkan dengan cara yang sehat. Berikut beberapa tips sederhana namun ampuh:
  • Tarik napas dalam-dalam. Teknik pernapasan dalam bisa membantu menurunkan ketegangan.
  • Ambil jeda. Istirahat sejenak dari situasi pemicu marah bisa memberi ruang berpikir jernih.
  • Tulis perasaan. Menuangkan amarah lewat tulisan bisa jadi bentuk terapi sederhana.
  • Alihkan energi. Olahraga ringan seperti jalan kaki atau bersepeda bisa melepaskan hormon stres.
  • Berdoa dan refleksi. Sebuah doa sederhana, “Ya Allah, jinakkan hatiku,” bisa menjadi penyejuk batin yang luar biasa.

Ketika Ego Bicara, Akal Harus Menjawab


Salah satu penyebab utama amarah adalah ego yang merasa terusik. Kata orang bijak, “Harga diri itu penting, tapi jika harus merusak hubungan demi harga diri, mungkin yang perlu dikoreksi adalah caramu memahami harga diri.”

Sering kali, kita marah bukan karena orang lain benar-benar menyakiti kita, tapi karena kita merasa tidak dihargai, tidak dianggap, atau sekadar merasa kalah. Maka, sebelum meledak, coba tanyakan dalam hati: “Benarkah aku marah karena mereka, atau karena egoku terluka?”

Menjadi Pemenang Tanpa Perlu Menang


Di akhir hari, hidup bukan tentang siapa yang lebih galak, siapa yang paling bisa membalas. Hidup adalah tentang siapa yang paling bisa mengendalikan diri, memilih tenang di tengah badai, dan menyebarkan damai di tengah panasnya dunia.

Jadi, lain kali ketika amarah mulai mendidih, coba tarik napas, diam sejenak, dan tanyakan pada diri sendiri:
"Apa yang lebih penting—melampiaskan amarahku, atau menjaga hatiku tetap damai?"

Karena kadang, yang paling bijak adalah yang memilih tidak membalas. Dan yang paling kuat adalah yang memilih menahan diri.(Sani Tsaka)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update