Pasbana - Kita hidup di zaman yang serba cepat. Semua serba instan: pesan datang dalam hitungan detik, komentar dilontarkan tanpa pikir panjang, dan emosi pun kerap tumpah tanpa rem. Tak heran jika marah menjadi bagian tak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari.
Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, "Apakah semua kemarahan itu perlu?"
Marah Itu Manusiawi, Tapi...
Namun, saat emosi ini dibiarkan liar tanpa kendali, ia bisa berubah menjadi bara yang membakar hubungan, merusak reputasi, bahkan mengancam kesehatan fisik dan mental.
Menurut data dari American Psychological Association (APA), kemarahan yang tidak tersalurkan dengan baik bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, gangguan jantung, dan menurunnya kualitas tidur.
Rasulullah: Kuat Itu Bukan Soal Otot
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kata-kata itu bukan sekadar pesan moral, melainkan panduan praktis yang relevan hingga hari ini. Ketika amarah muncul, Rasulullah ﷺ menyarankan langkah-langkah konkret: berwudu, duduk jika sedang berdiri, dan meninggalkan tempat yang memicu emosi.
Menahan Marah, Memaafkan, dan Menjadi Mulia
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(QS. Ali Imran: 134)
Artinya, proses pengendalian emosi bukan hanya soal meredam, tapi juga transformasi menuju kebaikan. Dalam psikologi modern, ini disebut emotional regulation—kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi secara sehat.
Tips Praktis Mengelola Amarah
- Tarik napas dalam-dalam. Teknik pernapasan dalam bisa membantu menurunkan ketegangan.
- Ambil jeda. Istirahat sejenak dari situasi pemicu marah bisa memberi ruang berpikir jernih.
- Tulis perasaan. Menuangkan amarah lewat tulisan bisa jadi bentuk terapi sederhana.
- Alihkan energi. Olahraga ringan seperti jalan kaki atau bersepeda bisa melepaskan hormon stres.
- Berdoa dan refleksi. Sebuah doa sederhana, “Ya Allah, jinakkan hatiku,” bisa menjadi penyejuk batin yang luar biasa.
Ketika Ego Bicara, Akal Harus Menjawab
Sering kali, kita marah bukan karena orang lain benar-benar menyakiti kita, tapi karena kita merasa tidak dihargai, tidak dianggap, atau sekadar merasa kalah. Maka, sebelum meledak, coba tanyakan dalam hati: “Benarkah aku marah karena mereka, atau karena egoku terluka?”
Menjadi Pemenang Tanpa Perlu Menang
Jadi, lain kali ketika amarah mulai mendidih, coba tarik napas, diam sejenak, dan tanyakan pada diri sendiri:
"Apa yang lebih penting—melampiaskan amarahku, atau menjaga hatiku tetap damai?"
Karena kadang, yang paling bijak adalah yang memilih tidak membalas. Dan yang paling kuat adalah yang memilih menahan diri.(Sani Tsaka)