Pasbana - Setiap kalender Islam tiba di bulan Rabi‘ul Awwal, ada satu tanggal yang selalu menggetarkan hati umat Muslim: 12 Rabi‘ul Awwal.
Tanggal ini bukan sekadar penanda waktu, melainkan saksi tiga peristiwa penting dalam sejarah Islam—kelahiran, hijrah, dan wafatnya Nabi Muhammad ﷺ.
Cahaya dari Makkah
Ia tumbuh tanpa kemewahan, namun kehadirannya membawa cahaya bagi dunia. Catatan sejarah menyebut, malam kelahirannya disertai tanda-tanda luar biasa.
Istana Kisra Persia retak, api pemuja Majusi padam. Sejarawan Islam seperti Ibnu Katsir menggambarkan momentum itu sebagai isyarat bahwa zaman baru telah dimulai—era yang kelak mengubah wajah peradaban.
Hijrah: Cinta Butuh Pengorbanan
Perjalanan hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan strategi penyelamatan Islam. Nabi meninggalkan tanah kelahirannya dengan linangan air mata.
Di Gua Tsur, beliau menenangkan Abu Bakar yang diliputi cemas dengan kalimat yang abadi: “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. At-Taubah: 40).
Sesampainya di Madinah, beliau disambut dengan gegap gempita. Syair “Tala‘al badru ‘alaina” menggema, menandai awal persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar.
Sejarawan Karen Armstrong menyebut peristiwa hijrah sebagai “fondasi masyarakat Islam yang inklusif dan egaliter.”
Air Mata Perpisahan
Namun, tanggal yang sama pula menjadi momen paling memilukan. Pada 12 Rabi‘ul Awwal tahun 11 Hijriah, Rasulullah ﷺ wafat di usia 63 tahun.
Umat Islam kala itu berduka mendalam. Umar bin Khattab bahkan tak kuasa menerima kenyataan. Hingga Abu Bakar menenangkan dengan firman Allah (QS. Ali Imran: 144): “Muhammad hanyalah seorang Rasul. Telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, kalian akan kembali ke belakang?”
Peristiwa itu menjadi titik balik: umat Islam belajar bahwa agama ini tidak bergantung pada satu sosok, tetapi pada ajaran yang beliau tinggalkan—Al-Qur’an dan sunnah.
Jejak yang Tak Pernah Pudar
Bagi umat Muslim, 12 Rabi‘ul Awwal bukan hanya tentang sejarah. Ia adalah pengingat akan cinta, pengorbanan, dan kerinduan kepada sosok yang selalu menyebut “ummati... ummati...” di akhir hayatnya.
Kini, pertanyaannya sederhana: bagaimana cara kita membalas cinta Nabi?
Jawabannya bukan sekadar dengan perayaan, tapi dengan meneladani akhlak beliau—menjadi pribadi jujur, adil, penuh kasih sayang, dan peduli sesama.
Seperti pesan ulama besar Syekh Yusuf al-Qardhawi: “Mencintai Rasulullah berarti menegakkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.”
Dan itulah warisan sejati dari air mata dan cinta 12 Rabi‘ul Awwal.(*)