Pasbana - Bagi siapa pun yang pernah melancong ke negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia, mungkin akan sedikit terkejut ketika kembali ke Indonesia: harga rokok terasa jauh lebih murah, begitu juga dengan minuman beralkohol.
Tak heran jika Indonesia sering disebut sebagai “surga” bagi perokok dan penikmat minuman beralkohol, baik yang legal maupun ilegal.
Namun, apakah benar murahnya harga rokok dan alkohol di Indonesia lebih dipengaruhi oleh besaran cukai yang rendah? Atau justru ada faktor lain yang lebih menentukan?
Rokok Murah, Masalah Tak Pernah Selesai
Menurut data Kementerian Keuangan, tarif cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia tahun 2025 tidak mengalami kenaikan. Meski begitu, harga jual eceran (HJE) tetap disesuaikan.
Saat ini tarif cukai rokok di Indonesia sangat bervariasi:
Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I: Rp1.231 per batang
Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan I: Rp1.336 per batang
Sigaret Kretek Tangan (SKT): Mulai Rp122–Rp483 per batang
Rokok Elektrik: Mulai Rp3.074 per gram
Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I: Rp1.231 per batang
Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan I: Rp1.336 per batang
Sigaret Kretek Tangan (SKT): Mulai Rp122–Rp483 per batang
Rokok Elektrik: Mulai Rp3.074 per gram
Dengan struktur tarif seperti ini, harga rokok di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga. Di Singapura misalnya, harga sebungkus rokok bisa menembus Rp150 ribu–Rp200 ribu.
Di Malaysia, harga rata-rata satu bungkus rokok berkisar Rp50 ribu–Rp70 ribu, jauh di atas harga di Indonesia yang masih banyak dijual di kisaran Rp20 ribu–Rp30 ribu.
Menurut laporan WHO (2023), cukai rokok yang rendah berkontribusi pada tingginya prevalensi perokok di Indonesia. Bahkan, Indonesia termasuk salah satu dari sedikit negara di dunia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)—kesepakatan internasional untuk pengendalian tembakau.
Rokok Ilegal, Biang Kerok Sesungguhnya
Meski cukai Indonesia relatif rendah, industri rokok dalam negeri justru lebih sering mengeluhkan soal perdagangan rokok ilegal. Data Bea Cukai (2024) mencatat potensi kerugian negara akibat rokok ilegal bisa mencapai Rp8–10 triliun per tahun.
Rokok ilegal dijual jauh lebih murah karena tidak membayar cukai, dan inilah yang membuat persaingan tidak sehat dengan pabrikan resmi. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, bahkan pernah menegaskan bahwa “tantangan terbesar dalam penerimaan cukai bukan hanya tarif, melainkan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal.”
Dengan kata lain, murahnya rokok di Indonesia bukan semata soal tarif cukai rendah, melainkan lemahnya penegakan hukum terhadap produk ilegal.
Alkohol: Sama Murahnya, Sama Rumitnya
Tak hanya rokok, harga minuman beralkohol di Indonesia juga relatif lebih rendah dibanding negara tetangga—khususnya untuk produk lokal.
Tarif cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) tahun 2025 masih mengacu pada kebijakan sebelumnya:
Golongan A (≤ 5% alkohol): Rp16.500 per liter
Golongan B (5–20%): Rp42.500 (produk lokal) – Rp53.000 (impor) per liter
Golongan C (20–55%): Rp101.000 (lokal) – Rp152.000 (impor) per liter
Bandingkan dengan Singapura yang menerapkan tarif sekitar S$88 (Rp1 juta lebih) per liter alkohol murni. Artinya, sebotol vodka bisa dikenakan pajak hingga ratusan ribu rupiah hanya untuk cukainya. Tak heran jika di Singapura, minuman keras dianggap barang mewah.
Di Malaysia, pajak alkohol digabung dengan Sales and Service Tax (SST) yang membuat harga minuman keras menjadi dua sampai tiga kali lipat lebih mahal dibanding Indonesia.
Perbandingan Cukai: Indonesia Paling Longgar
Bila ditarik perbandingan, posisi Indonesia jelas berbeda:
Rokok → Indonesia paling murah, disusul Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura di posisi paling mahal.
Rokok → Indonesia paling murah, disusul Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura di posisi paling mahal.
Alkohol → Indonesia juga tergolong paling murah, bahkan lebih rendah dari Filipina dan Malaysia, sementara Thailand dan Singapura jauh lebih tinggi.
Kondisi ini membuat Indonesia menjadi pasar empuk bagi perokok dan konsumen alkohol, termasuk turis asing. Namun di sisi lain, potensi dampak kesehatan dan sosialnya juga lebih besar.
Apa Solusinya?
Sejumlah pakar kesehatan menilai bahwa cukai tembakau dan alkohol seharusnya terus dinaikkan untuk menekan konsumsi. WHO berulang kali menekankan bahwa kenaikan cukai 10% bisa menurunkan konsumsi rokok hingga 4–5% di negara berpenghasilan menengah.
Namun di Indonesia, persoalannya tidak sesederhana menaikkan tarif. Tanpa pengawasan ketat, kenaikan cukai justru akan memperbesar pasar rokok dan alkohol ilegal.
Beberapa solusi yang kerap disuarakan:
Perkuat penegakan hukum terhadap peredaran rokok dan alkohol ilegal, termasuk membentuk satgas lintas kementerian.
Naikkan cukai bertahap dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan dampak industri.
Perketat aturan distribusi dan kemasan, misalnya menetapkan minimal 20 batang per bungkus rokok untuk menekan perokok pemula.
Perluas kampanye kesehatan publik agar masyarakat sadar akan dampak konsumsi rokok dan alkohol, bukan sekadar karena harganya mahal.
Menimbang “Surga” yang Penuh Kontradiksi
Indonesia memang bisa dibilang “surga” bagi perokok dan penikmat minuman beralkohol. Tapi, surga ini datang dengan harga mahal: kerugian negara akibat barang ilegal, dampak kesehatan masyarakat, hingga beban sosial-ekonomi jangka panjang.
Murahnya harga rokok dan alkohol mungkin menyenangkan bagi sebagian orang. Namun bagi negara, ini adalah paradoks besar—antara menjaga penerimaan negara, melindungi kesehatan masyarakat, dan melawan peredaran ilegal yang merugikan.
Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana: apakah kita mau terus jadi surga bagi perokok, atau berubah menjadi negara yang lebih serius menjaga kesehatan warganya?
(*)