Mentawai, pasbana - Hutan Sipora mulai kehilangan suaranya. Dulu, lolongan Simakobu jadi jam weker alami, Bilou menari di kanopi, dan Siteut sesekali turun ke pantai.
Kini, semua itu seperti suara dari masa lalu. Yang tersisa hanyalah sunyi.
Di balik sunyi itu, pohon-pohon besar yang jadi rumah para primata terus ditebang.
Penebangan legal lewat izin APL dan SIPUHH berjalan mulus, meninggalkan hutan yang makin terbuka.
Pemerintah bahkan memberi izin pemanfaatan hutan seluas 20.706 hektare kepada perusahaan.
Alasannya, untuk pengelolaan. Nyatanya, warga adat khawatir akan kehilangan hutan tempat mereka hidup.
Hilangnya hutan berarti hilangnya rumah bagi satwa endemik Mentawai. Primata tak lagi punya tempat mencari makan, lalu turun ke ladang, memakan hasil kebun, dan berakhir dianggap hama.
Lebih tragis, induk primata diburu hanya untuk mengambil anaknya. Konflik manusia-satwa pun tak terhindarkan.
Dampaknya tak berhenti di situ. Hutan yang gundul berarti tanah lebih mudah longsor, banjir datang lebih sering, udara makin panas.
Hutan Sipora bukan sekadar tempat pohon tumbuh, ia penyangga hidup seluruh pulau.
Kabar baiknya, belum terlambat.
Pemerintah daerah bisa memperkuat status hutan adat dan menetapkan koridor satwa.
Ekonomi bisa tumbuh tanpa harus menumbangkan pohon: lewat ekowisata, trekking hutan, dan observasi primata.
Jika dikelola serius, hutan bisa memberi manfaat jangka panjang tanpa harus jadi tumpukan kayu gelondongan.
Sipora mengajarkan kita satu hal: sunyi itu bukan tanda damai, tapi tanda bahaya.
Jika suara primata benar-benar hilang, maka yang hilang bukan hanya mereka, tapi juga harapan kita menjaga bumi tetap hidup. Makin tahu Indonesia. (*)