Pasbana - Berbagai Kota dan Kabupaten di Indonesia akhir-akhir ini sedang berkejar untuk menjadi Smart City .Kota cerdas (smart city) tumbuh menjadi kecenderungan baru, bahkan sudah menjadi trend .
Banyak pejabat publik yang ingin kotanya tampak cerdas. Dengan ruang tertentu, yang peranti teknologinya mengintegrasikan beragam jenis aplikasi, sehingga kepala daerah dapat memantau apa yang terjadi di daerah yang dipimpinnya.
Dari mulai segala permasalahan sosial, mitigasi bencana, pertumbuhan ekonomi, hingga derajat kesehatan masyarakatnya. Yang kesemuanya dapat diperoleh datanya dengan cepat. Tinggal klik ! Sehingga respon pun bisa cepat dilakukan.
Melalui beragam aplikasi, ia dapat melihat situasi kotanya dan mengetahui keluhan warganya dari layar digital yang datanya tersaji secara cepat. Para pejabat publik terpesona oleh daya pikat platform kota cerdas yang berpotensi membuat pengelolaan kota jadi lebih efektif dan efisien. Pemakaian lampu jalan dapat dipantau dan dikendalikan dari ruang yang sejuk agar pemakaian energinya optimal.
Dengan anggapan bahwa semakin canggih aplikasi digital yang dimiliki dan berbagai peranti teknologi yang lengkap, maka target menjadi Kota Cerdas telah terpenuhi.
Berkejaran dengan kepemilikan teknologi tercanggih namun hakekat utama kehadiran teknologi itu sendiri terlupakan. Apa hakekat utamanya ? Benar , efisiensi dan efektivitas dengan adanya transformasi digital .
Kota cerdas memang dirancang untuk menjadikan pengelolaan wilayah kota jadi lebih efisien dan efektif. Sebagian urusan dapat dijalankan secara otomatis, tapi di dalamnya tetap diperlukan keputusan-keputusan. Data digital yang dihimpun dari berbagai peranti seperti media sosial, sensor-sensor, kamera pantau CCTV, dsb dapat diambil value-nya melalui aktivitas analitik.
Efisiensi dan efektivitas dapat dicapai bila pejabat publik cepat membuat keputusan dan mengerahkan sumber daya yang jadi wewenangnya untuk mengatasi masalah sebelum bertambah parah atau meluas.
Namun, efisiensi dan efektivitas bukanlah sesuatu yang otomatis dicapai dengan dipasangnya berbagai peranti dan aplikasi digital. Ini baru satu langkah, dan dibutuhkan langkah berikutnya: kemampuan membaca data (data scientist berperan di sini), membuat kesimpulan, mengambil keputusan, hingga mengerahkan sumber daya untuk mengatasi persoalan yang tiba-tiba terjadi.
Peranti dan aplikasi yang ada di dalam control room yang canggih dan sangat nyaman itu tidak akan banyak bermanfaat bila pejabat publik lamban memahami data dan informasi, gamang mengambil keputusan, dan tidak cukup cergas dalam mengerahkan sumber daya yang di bawah wewenangnya. Katakanlah kemacetan tiba-tiba begitu parah di suatu tempat; kondisinya terlihat jelas di ruang kendali, tapi jika cara mengatasinya terkendala birokrasi, kemacetan itu baru akan teratasi beberapa puluh menit kemudian.
Pada akhirnya, peranti dan aplikasi kota cerdas hanyalah sarana untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Memakai peranti digital yang canggih sekalipun belum bermakna telah melakukan transformasi digital. Transformasi harus dimulai dari mengubah cara berpikir dan memandang persoalan atau tantangan, bagaimana memutuskan dan menanganinya, dan bagaimana mengerahkan sumber daya untuk mengatasinya. Teknologi adalah sarana agar keputusan yang tepat dapat diambil dengan cepat, serta ditindaklanjuti dengan aksi yang cepat dan tepat.
Ada fenomena yang unik di sebuah kota, setiap tahun selalu ada pengadaan Aplikasi Digital. Namun karena setiap aplikasi bekerja secara parsial dan terputus dengan aplikasi lainnya. Tak ayal lagi, cara kerja manual pun masih mendominasi. Jadilah kota tersebut sebagai salah satu Kolektor Aplikasi Digital. Ujung-ujungnya layanan publik pun masih berjalan dengan manual.
Fenomena Smart City akhirnya hanya diambil " demam " dan Euforia nya . Kota cerdas hanya terkesan " trend " yang agar pengelolaan kotanya terlihat keren, namun prakteknya tidak berubah secara mendasar.
Sebenarnya implementasi kota cerdas tidak hanya berkutat pada aplikasi digital dan piranti teknologi yang modern. Namun tindak lanjut yang merupakan " penawar " dari demam Smart City jangan sampai terlupakan. Dan hal ini lebih urgen dibanding pengadaan teknologi nya.
Penawar itu bernama innovation disruption. Dalam kamus populer , Inovasi disruptif (disruptive innovation) adalah inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut. Inovasi disruptif mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara yang tak diduga pasar, umumnya dengan menciptakan jenis konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama.
Pakar manajemen Dr. Rhenald Kasali mewartakan fenomena 'Disruption' dalam sebuah buku sebagai upaya mendefinisikan perubahan. Ia menyebutnya revolusi, yang saat ini tengah terjadi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Kalau mau selamat, ya berubahlah. Itu pakem berulang yang beliau jadikan sebagai dagangan. Kata kuncinya: berubah atau mati digilas zaman.
Perubahan itu, menurut Rhenald, dimotori oleh perkembangan teknologi informasi. Ia menyebutkan bahwa kini masyarakat berada dalam gelombang ketiga perubahan yang dipengaruhi terutama oleh teknologi informasi.
Mengutip Alvin Toffler dalam buku The Third Wave, Rhenald menyebutkan, gelombang pertama revolusi tersebut terjadi sekitar tahun 1990-an. Gelombang tersebut dikenal dengan istilah connectivity, dalam periode ini internet baru saja lahir.
Kemudian pada awal abad 21, masyarakat memasuki gelombang selanjutnya, yakni ketika masyarakat mulai berpikir untuk mengisi keterhubungan tersebut. Ditandai dengan munculnya berbagai media sosial. Akhirnya, gelombang ketiga yang sedang terjadi saat ini: disruption.
"Sekarang kita masuk gelombang ketiga. Itu memindahkan dunia yang sebenarnya ke dalam dunia yang tidak kelihatan," jelas Rhenald .
Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai regulator, mau tidak mau harus menerapkan prinsip-prinsip disruptif. Jika tidak, maka seluruh regulasi yang ditetapkan akan selalu ketinggalan. Karena dunia saat ini bergerak secara deret ukur, sementara beberapa regulasi terbit secara deret hitung.
Fenomena kehadiran Uber, Go - Jek , dan Grab cukup menjadikan gejolak di masyarakat mengingat regulasi yang tidak bisa mengakomodir perkembangan dunia pasca Disruption economy mewabah.
Untuk itu, fenomena Kota Cerdas yang lebih menuruti kepada 'demam' nya , hendaknya juga diikuti dengan 'penawar' nya yaitu penerapan Disruptif Innovation dalam penerapan Program Smart City.
Tuntutan masyarakat akan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Hanya satu pilihan,
" Mau Berubah, atau Mati Tergilas "
[ Pojok Nan Pasbana ]