Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD (Dosen
Fakultas Kedokteran Unand, Padang. Ketua Program Pascasarjana Ilmu Kesmas & Manajemen RS)
Setiap tahunnya
antara Mei dan Agustus, adalah masa berakhirnya tahun ajaran pendidikan dan
dimulainya tahun ajaran baru. Diantara anak-anak kita ada yang tamat satu
jenjang pendidikan dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi
mereka yang menamatkan pendidikan menengah dengan penuh semangat bersaing untuk
mendapatkan Pendidikan tinggi yang terbaik pda program yang diinginkan sesuai
cita-cita mereka. Semangat keilmuan yang patut dipertahankan. Tentunya, perlu ditanamkan sejak dini bahwa
belajar kepada jenjang pendidikan yang lebih tinggi bukanlah sekedar
mendapatkan gelar tapi untuk memberikan kemaslahatan di masa depan bagi
keluarga dan masyarakatnya.
Pendidikan yang
tinggi akan menghasilkan ilmu, keahlian, dan kompetensi yang lebih tinggi pula.
Pada saat yang sama akan diiringi dengan pola fikir dan cara pendang terhadap
hidup yang berbeda. Dengan keduanya itu, harapan orang tua adalah agar
anak-anak mereka hidup dengan lebih baik.
Kewajiban Berilmu dalam Islam
Dalam Islam, menuntut ilmu yang terkait dengan tauhid atau
aqidah, dan masalah syari’ah ibadah mahdah adalah wajib (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim.
Begutu juga halnya dengan ilmu yang terkait dengan kemaslahatan ummat,
secara syar’i bisa jatuh kepada fardhu
kifayah. Terutama tatkala ilmu itu sangat dibutuhkan dalam suatu
masyarakat, dan akan muncul mudharat-nya
jika ilmu itu tidak ada yang mempelajarinya dalam kelompok masyarakat teresebut
(Sebagaimana QS At-Taubah [9]:122).
Semangat dan motivasi untuk
menuntut ilmu sangat didorong dalam Islam karena dengan ilmu
dan pendidikan lah manusia akan mampu menggali, memahami dan mengelola alam
dengan lebih baik (QS Ar-Rahman [55]:33 dan Al-Ankabut [29]:43). Sehingga orang-orang
yang berilmu juga mendapat tempat atau kemuliaan yang lebih (QS Az-Zumar [39]:9
dan Al-Mujadalah [58]:11). Dalam hal ini, Buya HAMKA dalam bukunya Falsafah Hidup menerangkan bahwa
kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim merupakan bukti bahwa Islam adalah agama yang memuliakan akal. Memuliakan akal adalah
mengamalkan kewajiban seorang hamba agar manusia tidak jatuh kedalam kebinasaan.
Meneladani Ulama dan Cendikia Muslim Terdahulu
Semangat dan akhlak dalam menggali ilmu telah dicontohkan oleh ulama
dan cendikiawan muslim terdahulu, yang diabadikan dalam catatan sejarah. Dengan
ilmu dan kepakarannya, para ulama dalam bidang Ilmu-ilmu Al-Quran dan Sunnah
telah diabadikan dan tercatat sebagai ulama perintis. Karya-karya mereka tetap
dijadikan rujukan hingga saat ini. Mereka diantaranya adalah Imam Hanafi (80H-148H/
699-767M), Imam Malik (93-179H/ 714-800M),
Imam Asy-Syafi’i (150-204H/ 767-819M), Imam Ahmad bin Hambal (164-241H/ 780-855M), para ulama hadits seperti Imam Al-Bukhari (194-256H
/810-870M), Imam Muslim (202-261H/
817-875M), Imam Ibnu Madjah, Imam At-Tirmidzi
(209-279H/ 824-892M), Imam Abu Dwud, dan Imam An-Nasai, serta ulama-ulama yang datang
sesdudahnya seperti Imam An-Nawawi (631-676H/ 1234–1277M), Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852/ 1372-1449
M) dan lainnya.
Semangat mereka dalam belajar dan menggali Ilmu patut
dijadikan teladan. Mereka mendatagi negeri-negeri yang jauh untuk belajar dan
mendapatkan ilmu dari para ahlinya, yang pada masa itu transportasi hanyalah
berjalan kaki, kuda atau onta. Inilah yang pernah disampaikan oleh Imam Malik
“Ilmu itu didatangi bukan mendatangi.”
Ilmu dan keahlian yang mereka dapatkan, dengan ketulusan
dan semangat berbagi mereka juga mengarajarkan ilmunya kepada generasi
selanjutnya. Terlebih penting lagi mereka menghasilkan puluhan hingga ratusan
karya tulis atau buku yang bisa dijadikan rujukan. Bahkan, hingga sekarang
karya-karya mereka masih menjadi acuan utama dalam berbagai bidang ilmu,
diantaranya adalah Al-Muwatha’ oleh
Imam Malik, Al-Umm dan Ar-Risalah
oleh Imam Asy-Syafi’i. Inilah yang selayaknya menjadi contoh bagi para
pendidik, terutama pengajar di perguruan tinggi adalah untuk mau menghasilkan
karya yang dapat memberikan manfaat lebih banyak bagai para penuntut ilmu
selanjutnya.
Lebih spesifik lagi, para ulama hadits mencari sumber hadits
dengan mendatangi kota-kota dan wilayah yang jauh untuk mendapatka
sumber-sumber ilmu yang berasal dari Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam. Misalnya Imam Al-Bukhari telah melakukan perjalanan
Ilmiah dari daerahnya Bukhara, kemudian mengumpulkan dan meniliti hadits-hadits
selama 16 di Mekah, Madinah, Irak, Mesir dan Jazirah Arab lainnya.
Para ulama hadits mengumpulkkannya dan menuliskan
hadits-hadits menjadi sebuah kitab yang tersusun rapi sesuai dengan tema
keilmuan dan permasalahan ibadah dan sosial lainnya. Sehingga generasi
sesudahnya mudah mempelajari sunnah Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam. Mereka juga telah menelaahnya dan menilai keotentikan
(validitas) hadits-hadits yang mereka dapatkan. Bahkan jika dibandingkan dengan
metode penelitian kualitatif saat ini dalam menilai trusworthness (validitas dan realibilitas) suatu data, apa yang
dilakukan oleh para ulama hadits tersebut jauh melampaui prinsip-prinsip
penelitian kualitatif tersebut. Validitas hadits tidak hanya dijamin dari
adanya beberapa sumber yang menyampaikan (prinsip triangulasi), tapi juga
melihat latar belakang orang-orang yang menyampaikannya yang meliputi tentang track record daya ingatnya, akhlaknya
dan kejujurannya. Inilah yang diantaranya yang kita kenal saat ini dengan Kitab
Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud dan
lainnya.
Begitu juga di Nusantara mulai dari Abad ke-15 hingga 20, kita kan
temukan ulama-ulama di setiap wilayah yang karya dan ‘legacy’ nya masih terus
bermanfaat dan dikembanhka hingga hari ini, seperti Ar-Raniri di Aceh, Syekh
Abdus Shomad Al-Palembani, Syekh Nawawi Al-Bantani, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim
Asy’ari, dan lainnya. Khususnya di abad
ke-20, di Minangkabau kita mengenal Syekh Ahmad Khatib Al-Mingkabawi, Syekh
Jamil jambek yang juga seorang ahli falak (astronomi), Syekh Sulaiman
Ar-Rasuli, Syekh Ibrahim Musa Parabek, H Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah
Ahmad, Buya HAMKA dan lainnya.
Ulama-ulama itu telah meninggalkan karya-karya tulis serta karya
keummatan yang bisa dimanfaatkan hingga hari ini.
Syekh Nawawi Al-Bantani (1230-1314H/ 1813-1897M) telah menulis dan
meninggalkan karya tulisanya lebih dari 30 judul. Ia juga telah mengajar,
mendidik dan membina generasi-generasi sedudahnya, yang juga menjadi salah
seorang guru dari KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. KH Ahmad Dahlan
(1868-1923M) telah berjasa dalam mengembangkan Pendidikan Islam dengan
melakukan modernisasi sistim pengajaran, sehingga melahirkan ulama yang juga
memahami kemajuan Ilmu Pengetahuan dan perkembangan dunia global. Ia juga
berjasa dalam mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah, yang bergerak dalam
bidang pendidikan, dakwah, dan rumah sakit. Hingga saat ini Muhammadiyah
sebagai warisan KH Ahmad Dahlan terus berkembang menghidupkan Islam di tanah
air.
KH Hasyim Asy’ari (1287-1366H/1871–1947M) telah berjasa dan
meninggalkan warisan luhur dalam pengembangan Islam di Nusantara. Ia telah
merintis dan meengembangkan pusat-pusat pendidikan agama dan Ia juga berhasil
mendirikan organisasi Islam Nahdhatul
Ulama (NU), yang saat ini menjadi ormas Islam terbesar di tanah air. Ia
juga meninggalkan warisan keilmuan dengan berbagai kitab yang ditulisnya, yang
saat ini masih menjadi rujukan diberbagai pesantren NU di tanag air, seperti Risalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah, An-Nuurul Mubin fi Mahabbati Sayyidi
Al-Mursalin dan lainnya.
Ulama-ulama di Minangkabau juga meninggalkan warisan keilmuan yang
sangat besar bagi Indonesia dan dunia Islam. Syekh Ibrahim Musa Parabek (Inyiak Parabek) (1882-1963M) merintis
sistim pengajaran pendidikan agama modern dengan mendirikan sekolah Sumatera Thawalib Parabek. Haji Abdul
Karim Amrullah (1879-1945M) mendirikan Sumatera
Thawalib Padang Panjang. Haji
Abdullah Ahmad (1878-1933m) juga berperan mendidikan Sumatera Thawalib Bersama Abdul Karim Amrullah, dan kemudian juga
merintis Sekolah Adabiah di Padang. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang) (1287-1390H/
1871-1979M) merintis pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang,
Agam. Ia juga mendirikan ormas Islam Tarbiyah Islamiyah, yang hari ini juga
menjadi salah satu Ormas Islam besar di Indonesia. Syekh Ar-Rasuli juga
meninggalkan 20an kitab dalam bidang kajian Islam, diantaranya Risalah Al-Aqwal Al-wasithah fi Dzikri Wa
rabithah, Perdamaian Adar dan Syara’, dan lainnya.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal dengan HAMKA
(1908-1981M) juga sangat layak dijadikan teladan dalam semangat belajar dan
berkarya. Meskipun tidak menamatkan pendidikan formal, Ia banyak menghabiskan
waktu dengan belajar langsung pada ulama di Minangkabau, Jawa, dan Tanah Suci
Mekah. Hasil kerja kerasnya belajar dituangkan dalam lebih 70 karya bidang
agama dan sastra. Ia juga aktif dalam kegiatan dakwah, organisasi Muhammadiyah,
dan perintisan dan pengembangan perguruan tinggi Islam di tanah air. Kepakarannya
mendapat pengakuan dari Universitas Al-Azhar dengan mendapatkan Doktor honoris causa.
Para cendikian Islam dalam bidang ilmu sains untuk kemaslahatan ummat juga menorehkan sejarah kegemilangan. Mereka juga tercatat sebagai peletak dasar teoritis dan praktis ilmu pengetahuan moderen saat ini, seperti dalam bidang kedokteran, matematika, dan fisika dan kimia, diantaranya adalah adalah Al-Khawarizmi (780-850M), Ar-Razi (854-930M) , Ibnu Sina (980-1037), Ibn Zuhr (1094–1162M), dan Ibnu Rusyd (1126M-1198M).
Para cendikian Islam dalam bidang ilmu sains untuk kemaslahatan ummat juga menorehkan sejarah kegemilangan. Mereka juga tercatat sebagai peletak dasar teoritis dan praktis ilmu pengetahuan moderen saat ini, seperti dalam bidang kedokteran, matematika, dan fisika dan kimia, diantaranya adalah adalah Al-Khawarizmi (780-850M), Ar-Razi (854-930M) , Ibnu Sina (980-1037), Ibn Zuhr (1094–1162M), dan Ibnu Rusyd (1126M-1198M).