Notification

×

Iklan

Iklan

Semangat Belajar dan Mengajar, Keteladanan Pada Ulama Terdahulu

06 Juni 2018 | 16.30 WIB Last Updated 2021-05-15T03:54:05Z

Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD  (Dosen Fakultas Kedokteran Unand, Padang. Ketua Program Pascasarjana Ilmu Kesmas & Manajemen RS)

Setiap tahunnya antara Mei dan Agustus, adalah masa berakhirnya tahun ajaran pendidikan dan dimulainya tahun ajaran baru. Diantara anak-anak kita ada yang tamat satu jenjang pendidikan dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi mereka yang menamatkan pendidikan menengah dengan penuh semangat bersaing untuk mendapatkan Pendidikan tinggi yang terbaik pda program yang diinginkan sesuai cita-cita mereka. Semangat keilmuan yang patut dipertahankan.  Tentunya, perlu ditanamkan sejak dini bahwa belajar kepada jenjang pendidikan yang lebih tinggi bukanlah sekedar mendapatkan gelar tapi untuk memberikan kemaslahatan di masa depan bagi keluarga dan masyarakatnya.
Pendidikan yang tinggi akan menghasilkan ilmu, keahlian, dan kompetensi yang lebih tinggi pula. Pada saat yang sama akan diiringi dengan pola fikir dan cara pendang terhadap hidup yang berbeda. Dengan keduanya itu, harapan orang tua adalah agar anak-anak mereka hidup dengan lebih baik.
Kewajiban Berilmu dalam Islam
Dalam Islam, menuntut ilmu yang terkait dengan tauhid atau aqidah, dan masalah syari’ah ibadah mahdah adalah wajib (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim.  Begutu juga halnya dengan ilmu yang terkait dengan kemaslahatan ummat, secara syar’i bisa jatuh kepada fardhu kifayah. Terutama tatkala ilmu itu sangat dibutuhkan dalam suatu masyarakat, dan akan muncul mudharat-nya jika ilmu itu tidak ada yang mempelajarinya dalam kelompok masyarakat teresebut (Sebagaimana QS At-Taubah [9]:122).
Semangat dan motivasi untuk menuntut ilmu sangat didorong dalam Islam karena dengan ilmu dan pendidikan lah manusia akan mampu menggali, memahami dan mengelola alam dengan lebih baik  (QS Ar-Rahman [55]:33 dan Al-Ankabut [29]:43). Sehingga orang-orang yang berilmu juga mendapat tempat atau kemuliaan yang lebih (QS Az-Zumar [39]:9 dan Al-Mujadalah [58]:11). Dalam hal ini, Buya HAMKA dalam bukunya Falsafah Hidup menerangkan bahwa kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim merupakan bukti bahwa Islam adalah agama yang memuliakan akal. Memuliakan akal adalah mengamalkan kewajiban seorang hamba agar manusia tidak jatuh kedalam kebinasaan.

Meneladani Ulama dan Cendikia Muslim Terdahulu

Semangat dan akhlak dalam menggali ilmu telah dicontohkan oleh ulama dan cendikiawan muslim terdahulu, yang diabadikan dalam catatan sejarah. Dengan ilmu dan kepakarannya, para ulama dalam bidang Ilmu-ilmu Al-Quran dan Sunnah telah diabadikan dan tercatat sebagai ulama perintis. Karya-karya mereka tetap dijadikan rujukan hingga saat ini. Mereka diantaranya adalah Imam Hanafi (80H-148H/ 699-767M), Imam Malik (93-179H/ 714-800M), Imam Asy-Syafi’i (150-204H/ 767-819M), Imam Ahmad bin Hambal (164-241H/ 780-855M), para ulama hadits seperti Imam Al-Bukhari (194-256H /810-870M), Imam Muslim (202-261H/ 817-875M), Imam Ibnu Madjah, Imam At-Tirmidzi (209-279H/ 824-892M), Imam Abu Dwud, dan Imam An-Nasai, serta ulama-ulama yang datang sesdudahnya seperti Imam An-Nawawi (631-676H/ 1234–1277M), Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852/ 1372-1449 M) dan lainnya.
Semangat mereka dalam belajar dan menggali Ilmu patut dijadikan teladan. Mereka mendatagi negeri-negeri yang jauh untuk belajar dan mendapatkan ilmu dari para ahlinya, yang pada masa itu transportasi hanyalah berjalan kaki, kuda atau onta. Inilah yang pernah disampaikan oleh Imam Malik “Ilmu itu didatangi bukan mendatangi.”
Ilmu dan keahlian yang mereka dapatkan, dengan ketulusan dan semangat berbagi mereka juga mengarajarkan ilmunya kepada generasi selanjutnya. Terlebih penting lagi mereka menghasilkan puluhan hingga ratusan karya tulis atau buku yang bisa dijadikan rujukan. Bahkan, hingga sekarang karya-karya mereka masih menjadi acuan utama dalam berbagai bidang ilmu, diantaranya adalah Al-Muwatha’ oleh Imam Malik, Al-Umm dan Ar-Risalah oleh Imam Asy-Syafi’i. Inilah yang selayaknya menjadi contoh bagi para pendidik, terutama pengajar di perguruan tinggi adalah untuk mau menghasilkan karya yang dapat memberikan manfaat lebih banyak bagai para penuntut ilmu selanjutnya.
Lebih spesifik lagi, para ulama hadits mencari sumber hadits dengan mendatangi kota-kota dan wilayah yang jauh untuk mendapatka sumber-sumber ilmu yang berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya Imam Al-Bukhari telah melakukan perjalanan Ilmiah dari daerahnya Bukhara, kemudian mengumpulkan dan meniliti hadits-hadits selama 16 di Mekah, Madinah, Irak, Mesir dan Jazirah Arab lainnya. 
Para ulama hadits mengumpulkkannya dan menuliskan hadits-hadits menjadi sebuah kitab yang tersusun rapi sesuai dengan tema keilmuan dan permasalahan ibadah dan sosial lainnya. Sehingga generasi sesudahnya mudah mempelajari sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga telah menelaahnya dan menilai keotentikan (validitas) hadits-hadits yang mereka dapatkan. Bahkan jika dibandingkan dengan metode penelitian kualitatif saat ini dalam menilai trusworthness (validitas dan realibilitas) suatu data, apa yang dilakukan oleh para ulama hadits tersebut jauh melampaui prinsip-prinsip penelitian kualitatif tersebut. Validitas hadits tidak hanya dijamin dari adanya beberapa sumber yang menyampaikan (prinsip triangulasi), tapi juga melihat latar belakang orang-orang yang menyampaikannya yang meliputi tentang track record daya ingatnya, akhlaknya dan kejujurannya. Inilah yang diantaranya yang kita kenal saat ini dengan Kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud dan lainnya.
Begitu juga di Nusantara mulai dari Abad ke-15 hingga 20, kita kan temukan ulama-ulama di setiap wilayah yang karya dan ‘legacy’ nya masih terus bermanfaat dan dikembanhka hingga hari ini, seperti Ar-Raniri di Aceh, Syekh Abdus Shomad Al-Palembani, Syekh Nawawi Al-Bantani, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan lainnya.  Khususnya di abad ke-20, di Minangkabau kita mengenal Syekh Ahmad Khatib Al-Mingkabawi, Syekh Jamil jambek yang juga seorang ahli falak (astronomi), Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Ibrahim Musa Parabek, H Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Buya HAMKA dan lainnya.  Ulama-ulama itu telah meninggalkan karya-karya tulis serta karya keummatan yang bisa dimanfaatkan hingga hari ini.
Syekh Nawawi Al-Bantani (1230-1314H/ 1813-1897M) telah menulis dan meninggalkan karya tulisanya lebih dari 30 judul. Ia juga telah mengajar, mendidik dan membina generasi-generasi sedudahnya, yang juga menjadi salah seorang guru dari KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. KH Ahmad Dahlan (1868-1923M) telah berjasa dalam mengembangkan Pendidikan Islam dengan melakukan modernisasi sistim pengajaran, sehingga melahirkan ulama yang juga memahami kemajuan Ilmu Pengetahuan dan perkembangan dunia global. Ia juga berjasa dalam mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah, yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan rumah sakit. Hingga saat ini Muhammadiyah sebagai warisan KH Ahmad Dahlan terus berkembang menghidupkan Islam di tanah air.
KH Hasyim Asy’ari (1287-1366H/1871–1947M) telah berjasa dan meninggalkan warisan luhur dalam pengembangan Islam di Nusantara. Ia telah merintis dan meengembangkan pusat-pusat pendidikan agama dan Ia juga berhasil mendirikan organisasi Islam Nahdhatul Ulama (NU), yang saat ini menjadi ormas Islam terbesar di tanah air. Ia juga meninggalkan warisan keilmuan dengan berbagai kitab yang ditulisnya, yang saat ini masih menjadi rujukan diberbagai pesantren NU di tanag air, seperti Risalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah, An-Nuurul Mubin fi Mahabbati Sayyidi Al-Mursalin dan lainnya.
Ulama-ulama di Minangkabau juga meninggalkan warisan keilmuan yang sangat besar bagi Indonesia dan dunia Islam. Syekh Ibrahim Musa Parabek (Inyiak Parabek) (1882-1963M) merintis sistim pengajaran pendidikan agama modern dengan mendirikan sekolah Sumatera Thawalib Parabek. Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945M) mendirikan Sumatera Thawalib Padang Panjang.  Haji Abdullah Ahmad (1878-1933m) juga berperan mendidikan Sumatera Thawalib Bersama Abdul Karim Amrullah, dan kemudian juga merintis Sekolah Adabiah di Padang. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang) (1287-1390H/ 1871-1979M) merintis pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang, Agam. Ia juga mendirikan ormas Islam Tarbiyah Islamiyah, yang hari ini juga menjadi salah satu Ormas Islam besar di Indonesia. Syekh Ar-Rasuli juga meninggalkan 20an kitab dalam bidang kajian Islam, diantaranya Risalah Al-Aqwal Al-wasithah fi Dzikri Wa rabithah, Perdamaian Adar dan Syara’, dan lainnya.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal dengan HAMKA (1908-1981M) juga sangat layak dijadikan teladan dalam semangat belajar dan berkarya. Meskipun tidak menamatkan pendidikan formal, Ia banyak menghabiskan waktu dengan belajar langsung pada ulama di Minangkabau, Jawa, dan Tanah Suci Mekah. Hasil kerja kerasnya belajar dituangkan dalam lebih 70 karya bidang agama dan sastra. Ia juga aktif dalam kegiatan dakwah, organisasi Muhammadiyah, dan perintisan dan pengembangan perguruan tinggi Islam di tanah air. Kepakarannya mendapat pengakuan dari Universitas Al-Azhar dengan mendapatkan Doktor honoris causa. 
Para cendikian Islam dalam bidang ilmu sains untuk kemaslahatan ummat juga menorehkan sejarah kegemilangan. Mereka juga tercatat sebagai peletak dasar teoritis dan praktis ilmu pengetahuan moderen saat ini, seperti dalam bidang kedokteran, matematika, dan fisika dan kimia, diantaranya adalah adalah Al-Khawarizmi (780-850M), Ar-Razi (854-930M) , Ibnu Sina (980-1037), Ibn Zuhr (1094–1162M), dan Ibnu Rusyd (1126M-1198M). 




×
Kaba Nan Baru Update