Notification

×

Iklan

Iklan

Dzikir Dan Ketenteraman Jiwa

01 Juli 2018 | 14.07 WIB Last Updated 2021-05-15T03:53:13Z

Oleh: dr. Hardisman, MHID, PhD
(Dosen Fakultas Kedokteran UNAND, Padang. Email: hardisman@fk.unand.ac.id)



Kehidupan dunia ini dalam pandangan mata akan terlihat indah dan memesona. Kalau kita ikuti, ia kan membuai dan menghanyutkan. Betapa tidak, semua yang menyenangkan nafsu nampak dengan nyata didepan mata. Jangankan kita aktif mencarinya, diampun keindahan dunia itu akan datang disuguhkan didepan mata kita.

Jika kita tidak berhati-hati, maka antara menikmati kesenangan dunia dengan memperturutkan hawa nafsu dengan melihat keindahan alam sebagai wadah mendekatkan diri terhadap-Nya amatlah tipis. Misalnya, ada orang yang mendaki puncak gunung pada malam tahun baru hanya dalam rangka berfoya-foya dan melakukan kemaksiatan. Tetapi ada yang mendaki gunung untuk melihat kebesaran Tuhan melalui keindahan dan kebesaran alam ini. Oleh karena itu, di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia ini lah, Allah SWT memperingatkan manusia agar jangan terperdaya kehidupan dunia (QS Luqman [31]:33 dan Faathir [35]:5).

Kehidupan dunia ini memang indah, cantik, menarik dan memesona, namun jika hati dan diri kita bergantung kepadanya tidaklah akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Keindahan dunia adalah sementara dan tidak kekal, dan tak ubahnya seperti sebuah permainan sandiwara yang berakhir begitu cepat (QS Al-kahfi [18]: 45 dan QS Al-Hadid [57]:20). Kadang kala apa yang disaksikan indah dan mempesona itu ternyata bukanlah wujud sebenarnya. Bahkan dalam rentang waktu yang dapat kita saksikan pun, keindahan kehidupan dunia ini sangatlah terbatas. Wajah yang cantik dan gagah ketika berumur 20-30an, semuanya hilang sepuluh atau dua puluh tahun kemudian. Makanan yang lezat, hanya terasa sedap dan Nikmat ketika melewati rongga mulut atau lidah dalam beberapa detik saja.

Dalam mendapatkaan kehidupan bahagia yang hakiki, seorang mukmin harus mengikuti pelajaran yang ada dalam Al-Quran. Orang yang lari dari petunjuk Allah (Al-Quran) tertipu dengan kehidupan dunia (QS Al-An’am [6]:70 dan 130, dan Al-A’raaf [7]:51). Bahkan lebih tegas, Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang menggantungkan hati dan fikirannya pada kehidupan dunia adalah orang-orang yang ingkar (QS Al-Insan [76]:27 dan Al-A’la [87]:18). Orang-orang yang terlampau mencintai dunia seperti disebut juga sebagai orang-orang yang telah melampaui batas, dan sungguh kelak akan mendapatkan azab Allah SWT (QS An-Nazi’at [79]:37-39).

Sebaliknya, orang-orang yang menjadikan dunia sebagai sebagai pelajaran bukan sebagai tempat bergantung, merekalah yang disebut sebagai ulul Albab. Mereka adalah orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah SWT dalam dirinya kapanpun dan dimana pun berada (QS Ali Imran [3]:190-191 dan Az-Zumar [39]:21-22). Hanya dengan selalu berdzikir, mengingat keberadaan dan kebesaran Allah dimanapun kita berada, bisa terlepas dari belenggu kehidupan dunia.

Oleh karenanya, Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang yakin akan kebenaran-Nya untuk selalu berdzikir kepadanya dalam jumlah dan waktu yang tak terhingga. Hanya dengan demikian itulah Allah SWT akan memberikan cahaya dalam kehidupan (QS Al-Ahzab [33]:41-43). Bentuk dari perwujudan dzikir ini adalah dalam bentuk shalat sebagai ibadah utama, mengingat dan menyebut nama Allah dalam diri serta terlihat dalam amal perbuatan yang terpuji (QS Thahaa [20]:14, Al-Jum’ah [62]:9-10, Al-A’raaf [7]:205 dan Al-Muzammil [73]:1-20).

Rasulullah SAW. bersabda bahwa dzikir kepada Allah SWT lebih utama dari menginfakkan emas dan perak, lebih baik dari berjihad dalam menghadapi musuh (Hadits dari ari Abu Darda’HR At-Tirmidzi (hadits no. 3377) juga HR Ahmad). Rasulullah SAW juga memberikan perumpamaan perbandingan antara orang yang berdzikir dan yang tidak adalah ibarat orang yang hidup dan mati (HR Bukhari (no.6407).  Lalu, bagi hamba yang beriki maka Allah SWT akan senantiasa memberikan Rahmat-Nya, sebagaimana Firman-Nya “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS Al-Baqarah [2]:152). Ayat ini berarti, Dia senantiasa memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada  hamba-hamba-Nya yang berdzikir kepada-Nya. Hal ini juga disabdakan oleh Rasulullah SAW, dari Abu Hurairah RA “Allah ta’ala berfirman ‘Aku kuasa untuk memperlakukan hambaku seperti prasangkanya kepada Ku, jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, Aku menyebutnya dalam diri-Ku, jika ia menyebut-Ku dalam suatu golongan maka aku menyebutnya dalam suatu golongan yang lebih baik” (HR Bukhari (no.7536) dan Muslim (2675).

Balasan Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam ayat dan hadits tersebut, lebih lanjut dijelaskan oleh Rasulullah dalam ungkapan metafora: “Jika seorang hamba mendekat kepada Rabnya sejengkal, maka Ia akan mendekat sehasta maka Rab akan mendekat kepadanya sedepa, jika haamba datang kepada Rabnya dalam keadaan berjalan maka Rabnya akan datang kepadanya dengan berlari” (HR Bukhari (hadits no.6436, 7537, dan 7405).

Orang-orang yang berdzikir kepada Allah SWT  dengan hadirnya rahmat Allah kepadanya, maka qalbu (jiwa)nya menjadi tenram dan bahagia sebagaimana  Firman-Nya surah Ar-Ra’d [13]:28. Tentunya hal ini dapat kita fahami bahwa dengan hadirnya rahmat dan perlindungan Allah SWT maka akan hadir ketenangan, ketentraman dan kebahagian.

Allah SWT sering kali memperingatkan dalam Firman-Nya bahwa orang-orang qalbu atau jiwanya tidak berdzikir adalah orang yang semakin jauh dari hidayah-Nya dan kebenaran. Jiwa-jiwa yang tidak berdzikir atau lupa kepada Allah SWT adalah “Orang yang lupa kepada dirinya sendiri, fasik, selalu dalam kuasa syaithan, dalam kesesatan, semakin terpedaya dunia dan mendapatkan kehidupan yang sempit” (QS Al-Hasyr [59]:19, Az-Zumar [39]:22, Az-Zukruf [43]:36-37, Al-Munafiqun [63]:9, Thaha [20]:124). Oleh karenanya, setiap mukmin senantiasa qalbunya berdzikir tanpa putus, yang terlihat lisannya dalam kalimat tayyibah dan tasbihnya serta tutur kata yang terpelihara, dengan ibadah sebagai perwujudannya (dzikir af’al) yang tercermin pula pada akhlak dan perilakunya.

Disarikan dari buku penulis “Berdzikir dalam Tauhid: Menghadirkan Ketenteraman Jiwa dan Pencegahan Penyakit Psikosomatik” (Penerbit Gosyen Publishing Yogyakarta, 2017).

×
Kaba Nan Baru Update