Notification

×

Iklan

Iklan

Alternates in Tourism

08 Februari 2019 | 23.51 WIB Last Updated 2019-02-08T16:51:10Z

Ditulis oleh : A. Rudolf Smit, PhD, CTM (Praktisi Pariwisata)







Kecenderungan lembaga-lembaga (termasuk pemerintah) yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi masyarakat, diantaranya pariwisata adalah memunculkan angka-angka atau statistik untuk menunjukkan pada dunia, bahwa kegiatan mereka berbuah, menghasilkan, dengan membandingkan statistik kini dibandingkan dahulu.

Umumnya, angka-angka ini mengabaikan kondisi faktual di lapangan, kesejahteraan masyarakat. Kalaupun ada pertumbuhan, peningkatan, yang merasakan dampak positif perkembangan tersebut rata-rata hanya kalangan atas dan menengah jarang anggota masyarakat lapisan bawah.

Khususnya dalam bidang pariwisata kita suka membandingkan data statistik Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Cara ini juga tidak tepat karena Indonesia dengan wilayah yang begitu luas dan jumlah penduduk yang berperingkat nomor 5 dunia memiliki prioritas lain seperti pendidikan, penyediaan sandang-pangan-papan bagi ratusan juta penduduknya.

Tetapi ironisnya setiap tahun pariwisata digembargemborkan sebagai pemasok devisa yang besar. Menurut saya masalah pariwisata bukan masalah ada dananya atau tidak tetapi bagaimana dana yang ada dialokasikan.

Bila kita hanya mengandalkan APBN-APBD tanpa ada kontribusi signifikan dari pihak pelaku pariwisata sendiri, khususnya pemain-pemain besar, maka pariwisata Indonesia akan begitu-begitu saja. Setiap tahun hanya bicara berapa wisman yang masuk.

Bila pariwisata dianggap sebagai suatu industri yang menghasilkan suatu produk maka kontribusinya terhadap negara bisa dikatakan cukup signifikan. Statistik menunjukkan bahwa pendapatan negara dari sektor ini cukup besar. Indonesia adalah pengekspor pariwisata. Tetapi mengapa anggaran belanja negara untuk pariwisata tidak seberapa dibandingkan produk-produk ekspor lainnya seperti minyak, gas, produk-produk hasil bumi dan pertambangan? Padahal produk ekspor tersebut bersifat terbatas dan suatu saat akan habis. Sementara produk ekspor yang namanya pariwisata tidak akan pernah habis selama manusia ada di planet ini.

Mengapa pejabat-pejabat negara banyak bicara mengenai pentingnya pariwisata, termasuk yang di daerah, tetapi hanya asbun (asal bunyi) tanpa dukungan konkrit diantaranya dengan menyediakan anggaran yang memadai? Mengapa para pengusaha pariwisata hanya bisa mengkritik pemerintah saja perihal perannya dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata? Saya melihat selama tidak ada kesamaan visi dan komitmen pariwisata Indonesia akan jalan di tempat dan kita akan ketinggalan negara-negara ASEAN lainnya. Padahal potensi pariwisata Indonesia tidak ada duanya di dunia. Dalam hal potensi saya tidak asal bicara tetapi berdasarkan pengamatan pribadi saya selama melakukan perjalanan wisata ke berbagai benua.

Masalah utama pariwisata Indonesia adalah riset pasar dan pemasaran serta kualitas SDM pariwisata yang ada, termasuk mereka yang punya modal. Banyak pengusaha pariwisata yang sama sekali tidak mengerti pariwisata. Saya bisa buktikan itu dengan jelas. Lihat saja produk-produk wisata yang mereka pasarkan. Yang dipasarkan dan dijual yang itu-itu saja. Tidak ada inovasi, tidak kreatif karena tidak paham pasar. Kita masih mengandalkan wisata masal, volume yang dikejar bukan profit margin. Kita masih berpikir bahwa volume menghasilkan laba besar. 

Paradigma ini sudah ketinggalan zaman. Yang tidak disadari adalah bahwa wisatawan berkelompok besar akan menyebabkan biaya besar pula. Saya berikan contoh. Kalau biro perjalanan wisata mengandalkan wisnus, yang cenderung berwisata berkelompok (group tour) karena murah biaya per orangnya, untungnya sedikit. Tetapi kalau yang digarap adalah wisman, jumlahnya per kelompok kecil tetapi untungnya besar.

Berdasarkan pengamatan saya membawa 10 wisman tour 7 hari di Sumatera Barat menghasilkan laba yang sama dibandingkan membawa 40 wisnus. Bayangkan ruwetnya dan capeknya kita mengatur 40 orang ketimbang 10. Contoh kedua adalah menangani wisatawan kelas atas, dengan jumlah sedikit, jauh lebih menguntungkan daripada menangani wisatawan kelas menengah meskipun jumlahnya banyak.

Banyak alternatif dalam mensasar pasar. Ada istilah segmen dalam ilmu pemasaran. Segmen dulu didasarkan pada statistik demografis – jender, usia, tempat tinggal, pendidikan, kebangsaan, golongan ekonomi, penghasilan, profesi. Sekarang ada segmen yang diklasifikasi berdasarkan data psikografis.

Tujuan berwisata, warna kesukaan, makanan kesukaan, disain kesukaan. Pilihan pribadi menjadi dasar penggolongan. Istilah diganti untuk kelompok ini, bukan lagi segmen tetapi ceruk (niche) karena bersifat lebih spesifik pilihan jiwa. Segmen bisa dirinci lagi menjadi ceruk. Alasan psikis anggota pasar memilih sesuatu produk atau jasa dijadikan pertimbangan.

Dalam pariwisata segmen pasar juga bisa lebih dirinci. Alasan perjalanan harus sudah mulai diteliti walau belum semua segmentasi dipertimbangkan. Misalnya, golongan usia pensiunan (di budaya Barat disebut senior citizens) jarang sekali dijadikan sasaran. Kecenderungan pelaku wisata Indonesia adalah menilai segmentasi budaya lain dengan kacamata budaya sendiri. Inilah kekeliruan terbesar dalam menggarap pasar wisman.

Di negara-negera maju (umumnya di belahan barat bumi) para pensiunan berada dalam kondisi ekonomi mantap. Mereka telah menabung bertahun-tahun supaya pada masa pensiun mereka dapat menikmati keindahan, eksotisitas, budaya dan lingkungan alam di luar negeri mereka sendiri.

Mereka yang cacat fisik di Amerika Serikat dan Eropa adalah segmen pasar lain yang jarang dijadikan sasaran pemasaran pariwisata Indonesia. Di Amerika Serikat para penyandang cacat dilindungi undang-undang. Ada pemberhentian bis khusus, penyeberangan khusus bagi pengguna kursi roda.

Mereka tidak bisa didiskriminasi karena kecacatan fisik mereka. Mereka juga mantap secara ekonomi dan ingin berwisata. Segmen ini malah sama sekali tidak dilirik.

Memang fasilitas akomodasi (hotel) perlu juga disesuaikan dengan kondisi fisik mereka. Misalnya, pintu harus dibuat pintu geser dan lebarnya pintu dibuat lebih supaya wisatawan dengan kursi roda bisa membuka pintu sendiri dan masuk.

Bahkan kamar mandi dan bath tubnya pun harus dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan penyandang cacat mandi secara mandiri. Lift, tangga, tingginya tempat tidur, sampai ke tempat parkir khusus untuk penyandang cacat harus disediakan.

Alternatif lain adalah para ilmuwan sosial negara-negara maju yang ingin menjadi wisatawan tetapi sekaligus mempelajari budaya suatu tempat. Umumnya segmen ini tinggal lebih lama di suatu lokasi dan cenderung tinggal di akomodasi yang lebih sederhana daripada wisatawan elite, semakin lama tinggal mereka berarti lebih banyak pemasukan bagi pelaku wisata.

Kaum perempuan mandiri dari negara-negara yang maju juga adalah segmen pasar lain yang dapat dijadikan sasaran. Mereka umumnya berasal dari kalangan eksekutif, para pemasar, dan profesi-profesi yang mengharuskan mereka untuk sering bepergian.

Bila kita mulai mentargetkan segmen-segmen pasar yang lebih spesifik maka ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan. Saya sudah menyebutkan kebutuhan pasar penyandang cacat. Pasar pensiunan juga membutuhkan fasilitas dan jasa yang sesuai dengan usia mereka. Jasa medis misalnya perlu di siap-siagakan.

Bagi segmen perempuan karir mandiri yang dibutuhkan adalah fasilitas kamar yang biasanya dibutuhkan wanita seperti pengering rambut (hair dryer), cermin memanjang ke bawah supaya mereka bisa melihat apakah busana yang dipakai sudah pas.
×
Kaba Nan Baru Update