Notification

×

Iklan

Iklan

Hubungan Faktor Pola Makan Dengan Resiko Terjadinya Kanker Kolorektal

01 April 2019 | 17.38 WIB Last Updated 2019-04-02T16:39:14Z

Ditulis oleh: Aulia Putri, Dosen pengajar STIKES Yarsi Bukittinggi, Sumbar




Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal atau tumbuh di dalam struktur saluran usus besar (kolon) atau rektum yang merupakan bagian dari sistem pencernaan. Ada dua faktor resiko yang dapat mengakibatkan kanker kolorektal yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin dan riwayat keluarga) dan faktor yang dapat dimodifikasi (merokok, pola makan dan aktivitas fisik).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor yang dapat dimodifikasi (pola makan) dengan terjadinya kanker kolorektal. Jenis penelitian yang digunakan adalah Survey Analitik dengan pendekatan Retrospektif. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita kanker kolorektal di Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Sampel diambil menggunakan rumus Slovin dengan jumlah sampel 200 orang. Instrument yang digunakan adalah kuesioner pola makan. Hasil penelitian menunjukkan dari analisa bivariate ada hubungan yang bermakna antara  faktor pola makan dengan terjadinya kanker kolorektal (p 0.031). Penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu upaya dalam pencegahan dan menekan angka kejadian kanker kolorektal salah satunya dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Kanker Kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal atau tumbuh di dalam struktur saluran usus besar (kolon) atau rektum yang merupakan bagian dari sistem pencernaan (American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal termasuk dalam tiga jenis keganasan terbanyak di dunia dan merupakan penyebab kematian keempat terbanyak pada saat ini (Yusra, 2014). 

Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai angka kejadian kanker kolorektal pada tahun 2015 mencapai 5.1% dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 5,8%. Kanker kolorektal menempati peringkat keempat tertinggi di antara jenis kanker lainnya (Dona, 2016). Di Indonesia, insiden kanker kolorektal adalah 12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker (Kemenkes RI, 2012).

Beberapa penelitian menekankan bahwa pemahaman masyarakat sejauh ini  adalah terjadinya  kanker seringkali tidak dapat kita kendalikan, terutama jika ada riwayat dalam keluarga padahal secara teori sebenanrnya ada banyak faktor juga  yang dapat kita kendalikan dan kita modifikasi seperti pola makan, aktifitas fisik, merokok atau tidak merokok, dan seterusnya. Hal inilah yang menjadi alasan peneliti tertarik untuk melihat apakah faktor-faktor ini memang memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan terjadinya kanker kolorektal karena harapannya dengan diketahui hubungan tersebut akan menjadi dasar teori yang kuat bahwasanya angka kejadian kanker kolorektal dapat ditekan dengan mengendalikan faktor-faktor yang masih dapat kita modifikasi sehinga perubahan pola hidup masyarakat kearah yang lebih baik dapat dicapai.

Hasil uji statistic Chi-Square di peroleh hasil p value = 0.031 (p ≤ 0.05) artinya terdapat hubungan yang signifikan antara faktor pola makan dengan kanker kolorektal di Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukitinggi. Hasil penelitian menekankan bahwa sebagian besar responden mengkonsumi daging merah (sapi, kambing) lebih dari 3 kali dalam seminggu dalam 3 tahun terakhir, sebagian besar responden jarang/sedikit mengkonsumsi buah/sayur dan air putih yang cukup, sebagian besar responden suka mengkonsumsi daging asap/olahan/kalengan serta konsumsi junk food yang masih sulit dikontrol.

Menurut Durko & Melecka (2014) mengatakan mengkonsumsi daging merah dan lemak jenuh berlebihan merupakan salah satu faktor resiko kanker kolorektal. Hal ini dikarenakan daging merah mengandung heme. Kandungan heme pada daging merah 10 kali lebih banyak dari pada kandungan heme pada daging putih (ayam, ikan). Heme mengandung zat besi yang membuat daging berwarna merah. Bakteri dalam usus mengubah heme menjadi hidrogen sulfida. 

Hidrogen sulfida adalah bahan kimia yang menghasilkan bau seperti telur busuk dan dapat merusak sel-sel yang melapisi usus. Untuk setiap kerusakan yang terjadi tubuh akan berupaya memperbaiki dengan meningkatkan pertumbuhan sel-sel kembali dengan cepat. Namun, pertumbuhan tersebut menciptakan risiko yang lebih besar terbentuknya tumor atau kanker. Diet yang berasal dari sumber hewani akan lebih meningkatkan risiko terjadinya kanker kolorektal karena memiliki kandungan serat yang rendah dan kadar lemak yang tinggi. Diet tinggi lemak dan rendah serat terlibat dalam perkembangan kanker kolorektal. Lemak diduga merupakan bahan toksik untuk mukosa kolon. Secara khusus, orang-orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewan tak jenuh dan lemak jenuh pada minyak nabati (missal jagung) memiliki resiko lebih tinggi mengalami kanker kolorektal (Potter, 2004). 

Konsumsi daging sebenarnya tidak menjadi masalah jika diikuti dengna konsumsi sayuran, buah-buahan dan air putih yang cukup juga akan tetapi berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata responden menjawab kurang/tidak mengkonsumsi sayur/buah lebih dari 3 kali dalam seminggu dalam 3 tahun terkahir sebelum didiagnosa kanker begitupun air putih masih dalam jumlah yang sangat sedikit. Kandungan selenium, dithiationes, tioter dan keratenoid yang terdapat di dalam sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan diduga bekerja sebagai antikarsinogen dengan mengurangi radikal bebas oksigen pada permukaan mukosa kolon sehingga bersifat melindungi mukosa kolon dari berkembangnya sel-sel kanker. 

Hasil penelitian ini juga didukung studi yang dilakukan oleh Haggar et al (2014) yang menjelaskan diet sangat mempengaruhi risiko kanker kolorektal, dan perubahan dalam kebiasaan makan dapat mengurangi beban kanker ini sebanyak 70%.
Lebih lanjut dijelaskan faktor utama yang menyebabkan lamanya feses berada di saluran usus adalah kurangnya mengkonsumsi serat. Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen. Faktor pola makan (kebiasaan makan) yang saat ini paling banyak mendapat perhatian adalah rendahnya kandungan serat sayuran yang tidak dapat diserap dan tingginya kandungan lemak dari daging. 

Konsumsi serat harian rata-rata penduduk Indonesia baru sekitar 10 gram/hari, ini masih jauh dari kebutuhan serat yang dianjurkan dari WHO yaitu 25-30 gram/hari. Pola makanan secara bermakna menurunkan insiden terjadinya kanker kolorektal menurut Robbins (2013); Depkes RI (2013); Joseph (2013) dan Peters (2013).
Selanjutnya, dengan konsumsi daging yang diasap, diolah dalam bentuk kalengan dan sebagainya. Menurut WHO (2012) daging olahan baik diasapi/diawetkan dan sebagainya akan mengubah daging menjadi kandungan tertentu yang sangat karsinogenik. 

Sama halnya dengan mengkonsumsi makanan siap saji atau junk food. Berdasarkan beberapa penelitian dibuktikan bahwa junk food mengandung lemak alam jumlah yang sangat besar, serat yang rendah, kandungan garam, gula, zat aditif dan kalori yang tinggi tetapi sangat rendah nutrisi, rendah vitamin, dan rendah mineral. Zat aditif adalah zat untuk menstabilkan makanan agar mutu makanan, warna makanan, bau dan rasa makanan teap terjaga. Zat tersebut antara lain penyedap rasa (MSG/monosodium glutamate), pengawet seperti BHA, K-nitrit, anti kempal, pemutih, pematang tepung (Aseton peroksida) dan sebagainya. Zat yang sangat sering digunakan pada makanan siap saji ini santgat berbahaya dan bersifat karsinogenik. Berdasarakan penelitian didapatkan sebagian besar responden menjawab konsumsi junk food lebih dari 3 kali dalam seminggu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berada pada rentang beresiko dalam hal pola makan terkait resiko terjadinya kanker  kolorektal. Sebagian besar pasien yang terdiagnosis kanker kolorektal memang terbukti memiliki pola makan yang kurang baik dalam kehidupannya seharu-hari sebelum didiagnosis kanker kolorektal.  Penelitian menyarankan kepada masyarakat untuk mengubah pola pikir bahwa kanker kolorektal tidak hanya disebabkan oleh riwayat keluarga (faktor yang tidak dapat dimodifikasi). Ada dua penyebab yang bisa menyebabkan kanker kolorektal yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Untuk masyarakat diharapkan agar dapat menjaga pola makan yaitu mnegurangi konsumsi daging merah, sering mengkonsumsi sayur, buah-buahan serta air putih, mengurangi konsumsi daging olahan/asapan/kalengan dan sbagainya serta kurangi/hindari konsumis junk food.

Hasil Penelitian: Aulia Putri, Dosen pengajar STIKES Yarsi Bukittinggi, Sumbar dan Dewi Sumarni, Mahasiswa STIKES Yarsi Bukittinggi, Sumbar.
×
Kaba Nan Baru Update