Notification

×

Iklan

Iklan

Kama dan Kamanga, Wak Lai...?

02 Juli 2025 | 14:41 WIB Last Updated 2025-07-02T07:42:32Z

"Minangkabau Mencari Payung: Di Tengah Silaturrahmi Adat, Harapan akan Satu Suara Mulai Bergema"

Oleh: Mak Jamil
Penulis, Pendiri Sekolah Adat Padang Panjang, 
Pendiri Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Adat  Sumbar


Limo Kaum, Tanah Datar, PASBANA – Di tengah kokohnya Rumah Gadang Dt Bandaro Kuniang, suara gendang dan saluang mungkin tak terdengar, tapi pertemuan pada Minggu pagi itu memuat gelombang kegelisahan yang tak kalah nyaring. Hampir seluruh pemangku adat Minangkabau dari ranah dan rantau berkumpul dalam sebuah acara silaturrahmi bertajuk “Limbago Adat Se-Alam Minangkabau”, membicarakan satu perkara mendasar: di mana payung bersama kita hari ini?

Pertemuan akbar ini dihadiri lebih dari 90 persen tokoh adat dari berbagai penjuru: mulai dari Sumatera Barat, Kampar, Riau, Jambi, Bengkulu, hingga Deli Serdang. Mereka datang tidak hanya membawa nama suku dan gelar, tapi juga beban sejarah, kecintaan akan adat, dan keresahan akan masa depan budaya Minangkabau.

Mengapa Kita Bertemu, Tapi Masih Terpisah?

Silaturrahmi ini justru membuka kenyataan yang lebih dalam. Bahwa hingga kini, belum ada satu pun lembaga adat yang secara sah, kuat, dan menyatukan keseluruhan entitas adat Minangkabau. “Kami seperti kapal besar, tapi tak satu nakhoda,” celetuk salah seorang ninik mamak yang disambut anggukan kepala di ruang utama.

Menurut catatan yang dihimpun dari berbagai narasumber dan tokoh yang hadir, termasuk Dr. Wendra, Dr. Roberio, dan Dr. Efrizon Datuak, pertanyaan mendasar dari forum ini adalah: Apa hasil nyata dari silaturrahmi ini dan bagaimana kelanjutannya?”

Sayangnya, jawaban yang muncul lebih banyak berupa harapan, bukan solusi konkret. Dan di sinilah pangkal keresahan itu berpijak.

Banyak Lembaga, Banyak Nama, Tapi Satu Tujuan yang Belum Jelas
Berikut ini adalah peta keragaman lembaga adat Minangkabau saat ini:
  • LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau), didirikan tahun 1966, masih menjadi lembaga resmi tertua. Namun peran dan kewenangannya sering kali terhambat regulasi dan politik.
  • MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau), lahir tahun 1937, juga punya akar historis kuat. Tapi eksistensinya seperti tenggelam dalam percaturan baru adat dan birokrasi.
  • Limbago Tampuak Tangkai, dengan basis di Pariangan dan Padang Panjang, mengklaim keabsahan dari sisi tambo adat. Tapi belum mampu menyatukan elemen adat lainnya.
  • Pagaruyung, sebagai simbol kerajaan masa lalu, punya pengaruh historis hingga ke Malaysia, namun kekuatannya sudah tergerus zaman.
  • Bakor KAN (Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari), dibentuk lewat SK Menteri Hukum dan HAM tahun 2018.
  • LPAAM, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Adat Minangkabau, berdiri tahun 2022, masih sangat baru namun membawa misi pendidikan adat ke depan.
  • 22 Lembaga Adat Resmi lainnya, termasuk komunitas Bundo Kanduang, Parik Paga, Peradilan Adat, dan komunitas adat lain di seluruh Sumbar.
Dan ironi besar pun terungkap: banyak lembaga, namun belum satu pun jadi payung bersama.



Belajar dari Bali dan Riau: Ketika Adat Jadi Pilar Kehidupan


Minangkabau, sebagai etnis besar dan berakar kuat pada filosofi “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, justru hari ini tampak gamang.

Bandingkan dengan Bali, yang sejak dini telah menanamkan nilai adat melalui pendidikan. Anak-anak di sana diajarkan aksara Bali, bahasa Bali, dan bahkan berpakaian adat setiap hari tertentu. Setiap desa punya sekolah adat dan pecalang, polisi adat yang bertugas menegakkan norma adat.

Sementara di Riau, eksistensi LAM (Lembaga Adat Melayu) begitu kokoh. LAM menjadi representasi tunggal adat Melayu dan menjadi rujukan tunggal bagi seluruh masyarakat adat, dengan dukungan pemerintah dan perangkat hukum yang jelas.

Sumbar Hari Ini: Di Tengah Jalan yang Bercabang


Silaturrahmi ini seperti cermin, menampakkan betapa mendesaknya kebutuhan akan satu lembaga adat tunggal di Minangkabau. Peraturan Daerah (Perda) No. 7 tahun 2018 dan UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang pengakuan masyarakat adat, belum diikuti oleh kebijakan daerah yang lebih operasional di kabupaten dan kota.

Sementara itu, generasi muda Minangkabau hari ini semakin jauh dari nilai adat. Tidak ada kurikulum adat sistematis, guru adat langka, bahan ajar tidak tersedia, dan pemangku adat pun belum sepenuhnya siap sebagai pendidik.

Seperti bunyi pepatah:
“Dulu rabab nan batali, kini lagundi nan tajelo.
Dulu adat nan bacari, kini pitih nan bakuaso.”


Apa Solusinya? Mencari Gantiang Putuih


Dari diskusi hangat di rumah gadang hari itu, tiga hal utama muncul sebagai harapan konkret:
Satu lembaga tunggal adat Minangkabau, seperti halnya LAM di Riau atau MDA di Bali, yang diakui oleh seluruh elemen adat dan pemerintah.

Kesepakatan kolektif antar tokoh adat, cerdik pandai, dan pemimpin formal, tanpa saling mengunggulkan status dan sejarah. Duduk satu meja, bulatkan tekad.

Peran aktif pemerintah daerah dan pusat, bukan hanya menjadikan isu adat sebagai jargon politik, tapi benar-benar menjadikannya bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Penutup: PR Bersama untuk Masa Depan Minangkabau


Minangkabau tak kekurangan filosofi, tak kekurangan sejarah, dan tak kekurangan tokoh adat. Yang kurang hanyalah sinergi dan keberanian untuk menyatu. Di tengah perubahan zaman, adat bukan untuk dikenang saja, tapi harus dijalani dan diwariskan. 

Seperti kata pepatah:
“Jalan lah dialiah urang lalu, cupak lah dipapeh rang pangaleh.
Dulu adat nan bapakai, kini alah pitih jadi rajo.”

Mari kita kembalikan adat pada tahta tertingginya, bukan sekadar simbol, tapi sebagai ruh dan jiwa kehidupan Minangkabau masa kini dan masa depan.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update